Breaking

Kamis, 04 Oktober 2018

Edisi ke 10 : Santri, Jiwa Qur’ani dan Perjuangan Umat


 Sumber gambar www.google.com

Orang besar adalah dia yang mau berjuang di daerah-daerah terpencil walau hanya mengajar ngaji di surau-surau kecil”.
Kurang lebih demikianlah pesan kyai Gontor dalam menggambarkan orang besar menurut beliau. Santri harus tahan banting, mempunyai mental yang kuat disertai dengan keikhlasan yang tinggi. Selain itu juga dilengkapi dengan life skill yang mumpuni sehingga kreatif di setiap tempat dimana ia tinggal. 

Ia harus mampu bertahan di segala kondisi dan kreatif dalam ketahanan hidup. Karena semua itu akan ia butuhkan dalam perjuangannya. Orientasinya hanyalah ridho Allah subhanahu wata’ala bukan materi dunawi. 

Seperti yang disampaikan NabiNuh a.s kepada kaumnya, dalam surat Hud ayat 29, diceritakan ketika Nabi Nuh menjawab bahwa ia mendakwahkan risalahnya tanpa memiliki kepentingan apapun, beliau hanya menjalankan perintah Allah dan balasan dari Allah lah yang  beliau harapkan. Komitmen inilah yang harus juga dipahami oleh para santri. Karena yang demikian itulah orang-orang yang senantiasa diberi petunjuk oleh Allah, yaitu mereka yang senantiasa beramal sholeh tanpa mengharapkan balasan (Q. S Yasin: 21). 

Bila tidak demikian, seorang santri tidak akan siap berjuang sesuai dengan wasiat sang kyai, selain itu ia juga tidak akan kuat ketika potensinya diperebutkan banyak orang demi kepentingan masing-masing. Sikap yang disebutkan di atas adalah modal awal perjuangan.
Santri harus berjuang dengan segala bekal yang telah ia dapatkan selama menempuh studinya sebagai santri. Kenapa ia harus berjuang? Karena itulah sejatinya seorang santri. Ia harus selalu bergerak. Bergerak dalam kebaikan, bergerak demi menegakkan agama Allah. Bergerak mengamalkan amar ma’ruf dan nahi munkar. 

Sebagai contoh dan tauladan serta pemberi peringatan bagi umat dalam ketaqwaan. Di sinilah letak barokah, sebagai inti dari setiap pahala yang ia dapat. Tanpanya, harta dan kedudukan tidak akan menjadi baik baginya. 

Oleh sebab itulah santri adalah pejuang keberkahan demi dirinya dan umat. Boleh jadi para sarjanawan ataupun ilmuwan dan cendekiawan yang lebih bisa mengemban risalah dakwah ini, akan tetapi belum tentu memahami keberkahan sebagai orientasi perjuangan. Maka menjadi santri yang ilmuwan, cendekiwawan, dan sarjanawan adalah pilihan terbaik. Menjadi ulama yang intelek bukan intelek yang sekedar paham agama.

 Perjuangan demi umat sebagai amalan terhadap ayat dari surat Al Baqarah: 143. Yaitu menjadi manusia yang mampu menerjemahkan Islam melalui dirinya kepada sekalian alam semesta. Keilmuannya bukan untuk merubah dunia, bukan pula untuk menyatakan dirinya paling berilmu, namun cukup menyampaikan kebenaran dan risalah Islam sesuai dengan apa yang telah ia pelajari. Karena sesungguhnya ia tidak akan mampu merubah kondisi kecuali bila dengan izin Allah.
Seorang santri hanya cukup berjuang menyebarkan risalah Islam dan menjadikan itu sebagai profesi, sebagai guru yang mendidik dengan metode hikmah dan tauladan yang baik. Sedangkan diterima atau ditolaknya seruan yang ia sampaikan adalah urusan Allah yang mengatur. 

Oleh sebab itu, kepercayaannya kepada Allah harus kuat.Dan kepercayaan itu terlihat dari keikhlasan dan konsistensinya dalam dakwah. Santri harus berfikir bahwa materi hanyalah sarana, akan tetapi tujuannya tetap manusia. Manusia haruslah dihargai selayaknya manusia, bukan seperti barang yang diberi bandrol harga-harga berukuran uang. Bukan pula jabatan yang diperebutkan dengan mengorbankan jiwa raga, melainkan ketaqwaanlah yang diperjuangkan. Saksinya hanya Allah bukan manusia. 

Oleh sebab itulah santri harus ikhlas dan sederhana, karena bila tidak demikian, tidak akan ada yang mau berjuang di daerah-daerah terpencil di mana tanggung jawab ke-Islamannya di tangan mereka. Dengan ilmunya, santri dituntut untuk bisa menguasai berbagai masalah. Pesan Pak Kyai adalah, orang besar bukanlah besar gelar akademiknya, bukan pula besar harta ataukedudukannya, akan tetapi mereka yang dengan kemampuan kecil mampu menyelesaikan masalah-masalah besar. Itu ukuran kedewasaannya. 

Oleh sebab itu, seorang santri tidak boleh kecewa terhadap kondisinya, bahkan ia tidak boleh mengecewakan atau dikecewekan. Karena bila demikian, umat yang menunggunya untuk dibimbingakan kehilangan sosok pendamping. Diceritakan dalam Al Qur’an surat Al Anbiya’ ayat 87, disampaikan bahwa Allah menegur Nabi Yunus apakah beliau mengira bahwa perjuangannya akan berjalan lancar tanpa kesulitan sedikitpun. Lalu meninggalkan kaumnya tanpa seizin Allah. 

Maka dalam surat Ash Shaffat ayat 141 disebutkan bahwa hal tersebut terhitung dosa. Karena mengabaikan perintah Allah. Nabi Yunus pun meminta ampunan kepada Allah atas kekeliruannya, dan kembali kepada kaumnya meneruskan perjuangan dakwahnya. Kisah tadi mengajarkan bahwa dakwah tidak boleh setengah-setengah, tetapi harus kaffah. Oleh sebab itu, santri harus terus berjuang hingga batas akhir kemampuannya.

Ilmu yang telah ia dapat adalah anugerah Allah yang diamanatkan untuk kepentingan dakwah. Oleh sebab itu, ia harus istiqomah dengan akhlak baiknya. Karena ilmu tanpa akhlaq bagaikan racun yang membahayakan. Menumbuhkan kesombongan, seperti Iblis yang merasa lebih hebat dari Adam a. s. Seharusnya iamenyadari bahwa ilmu hanyalah ujian ketaqwaannya. 

Seperti yang dicontohkan seorang hamba Allah ketika mampu memindahkan singgasana ratu Bilqis keistana Nabi Sulaiman a. s, dengan begitu ia mengalahkan Jin terkuat sekalipun. Al Qur’an menceritakan jawabannya atas pujian untuknya dengan mengatakan, “ini adalah kemuliaan yang datang dari Allah untuk mengujiku apakah aku akan bersyukur atau malah kufur dengan sombong”.
Ketaqwaan dan keikhlasan itu adalah gambaran dari keimanannya yang kuat. Keimanan yang mampu mengenali segala bentuk kesyirikan. Perbedaan antara iman dan syirik harus terlihat jelas di mata santri. Penjajahan ideology maupun fisik adalah salah satunya. Santri harus anti penjajahan. Begitulah pesan Pak Kyai. Sayyid Quthb pernah menyampaikan bahwa ketundukan kepada sesama makhluk adalah bentuk kesyirikan yang berarti juga penjajahan. Inilah yang harus selalu diperangi. 

Maka dengan perjuangannya membebaskan umat dari segala bentuk kesyirikan adalah perjuangan menuju kemerdekaan yang hakiki. Cita-cita murni inilah yang dahulu kala dipegang teguh para ulama dalam mengusir penjajah. Bukan hanya berjuang sendirian, melainkan menggerakkan masyarkat untuk bersama berjuang. Maka santri juga harus bisa menjadi penggerak yang menggerak. Ia harus memahami bahwa dalam pergerakan ada barokah. Sekali lagi barokah dari ketaqwaan yang dituju, bukan popularitas.
Begitulah santri dalam perjuangannya. Selalu berusaha menjadi mata air yang jernih lagi menyegarkan. Yang selalu mengalir dan menghidupi sekitarnya. Bukan hanya hidup tapi juga menghidupi. Jangan mencari penghidupan dengan cara mengemis. Mengemis pada mereka yang berkedudukan. Karena hanya Allah yang menjadi sandaran. Surat Al-Ikhlash harus selalu dalam sanubari agar tidak terjerumus pada kekufuran. 

Merealisasikan cita-cita surat An Nashr agar manusia memahami dan berbondong-bondong menuju ridho-Nya. Semoga santri tetap pada jati dirinya. Menjadi matahari (sun) umat sebagai penerus cahaya ilmu dari Allah, tumbuh menjadi pohon (tree) yang kuat akarnya,  serta menghidupi sesama makhluk dengan kesegaran buahnya. Wallahua’lam bi ash showab

Oleh : Fuad Muhammad Zein
(Anggota Tim Ahli IKPM Solo Raya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar