Sumber gambar www.google.com
“Administrasi yang baik dan rapi wajib dan mutlak untuk menjaga kepercayaan”.
Begitulah pesan Kyai Haji Imam Zarkasyi, salah satu pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor. Pesan itu beliau sampaikan untuk segenap santri pondok agar selalu jujur dalam segla hal. Intinya adalah kejujuran.
Akan tetapi kejujuran bukan berarti tanpa bentuk, karena praduga dari orang lain akan selalu muncul, dan seringkali salah. Bisa jadi seseorang sangat jujur, namun karena administrasinya kurang baik, akhirnya dicurigai curang. Hal inilah yang tidak diinginkan dari pesan tadi. Bahwa kejujuran harus dijaga, salah satunya adalah dengan pencatatan administrasi yang baik.
Bahkan di dalam Al Qur’an juga disebutkan perhatian terhadap administrasi. Dalam surat Al Baqarah ayat 282 Allah menjelaskan dengan sangat rinci bagaimana seharusnya sebuah praktik administrasi. Dengan ayatnya yang panjang, seakan akan Allah memberikan porsi penjelasan akan hal ini sangat serius. Sehingga penjelasannya begitu gamblang dan tanpa menggunakan kalimat kiasan.
Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan bagaimana praktik berhutang itu dilaksanakan. Hal-hal seperti saksi, pencatatan hutang kemudian tanggung jawab merupakan inti yang harus ada dalam proses tersebut. Bukan hanya sekedar formalitas proses, melainkan gambaran dari pertanggung jawaban yang sewaktu-waktu bisa dibuktikan.
Imam Bukhori dalam tasirnya menerangkan bahwa ayat tersebut menjelaskan bagaimana proses administrasi yang sehat dilakukan. Kata dain atau hutang digunakan untuk menyimbolkan segala bentuk mu’amalah yang bersifat transaksional.
Dalam ayat tersebut, setiap mu’amalah yang berbentuk transaksi harus memiliki pencatatannya sehingga bisa menjadi bukti kepercayaan dan sebagai sarana dalam menghindari kecurangan dan maksiat. Dengan demikian kejujuran tetap terjaga dan hal tersebut juga dianggap sebagai cerminan dari ketaqwaan seseorang.
Pencatatan dari sebuah proses transaksi ternyata merupakan bentuk sederhana dari apa yang sering disebut dengan akuntansi. Penjelasan Al Qur’an tentang pencatatan tadi juga merupakan perhatian besar Islam terhadap akuntansi.
Akuntasi sebagai proses record keeping menjadi alat pertanggung jawaban dari sebuah proses yang berjalan dalam sebuah organisasi. Hal ini penting karena keutuhan sebuah organisasi bergantung pada transparansi atau keterbukaan pada setiap proses yang berjalan di dalamnya.
Sehingga semua informasi bisa diketahui oleh setiap individu dalam organisasi tersebut. Apalagi masalah keuangan, tentu sangat vital. Karena bisa jadi muncul pertikaian karena masalah ini. Oleh sebab itu, pencatatan harus dilakukan agar tidak menimbulkan kecurigaan yang berujung pada pertikaian.
Karena begitu buruknya akibat yang timbul dari ketidak jujuran akan sebuah proses transaksional, Al Qur’an kembali mencela bagi mereka yang berbuat curang. Dalam surat Al Muthoffifin ayat 1 sampai 3 disebutkan dengan jelas bahwa kecelakaan bagi mereka yang mengurangi timbangan karena itu merupakan praktik curang dalam perniagaan.
Kecurangan sangat dilarang dalam setiap proses transaksi karena bila itu terjadi pada perusahan, akan berakibat pada kebangkrutan perusahaan. Seperti sudah menjadi hukum alam bahwa kecurangan akan berakibat pada kecelakaan. Bahaya seperti inilah yang ingin diantisipasi oleh Al Qur’an.
Bukan hanya pada hal yang berurusan dengan ekonomi, kecurangan juga akan menimbulkan bencana social yang lebih buruk. Bisa dilihat beberapa waktu lalu di Italia muncul skandal kecurangan pada sepak bola yang akhirnya berdampak pada menurunnya kualitas sepak bola di Negara itu.
Selain itu, praktik korupsi juga salah satu bentuk kecurangan dalam pelaksanaan kekuasaan. Seperti api yang menjalar, efek kecurangan tersebut tidak hanya berdampak pada buruknya kualitas pemerintahan, namun juga kesejahteraan rakyat menjadi korban. Benar memang bila sebuah kalimat bijak dalam bahasa Arab mengatakan bahwa pangkal dari segala dosa adalah kebohongan, kecurangan termasuk di dalamnya.
Sebuah kecurangan akan menimbulkan kecurangan-kecurangan yang lain. Oleh sebab itu, agar bencana tersebut tidak terjadi, kecurangan harus serius untuk diantisipasi, dan salah satunya dengan pencatatan yang baik. Pencatatan akan menjadi bukti dan data valid untuk bisa dilihat dalam proses check and recheck.
Dalam beragama ternyata juga mengakui adanya proses pencatatan tersebut. Bila kita renungkan ayat-ayat Al Qur’an yang berisi kalimat tentang kitab maka akan kita temui proses pencatatan itu dilakukan.
Misalnya dalam surat Al Haaqqah ayat 7 dan 10 yang berisi tentang penunjukan catatan-catatan perbuatan manusia dalam bentuk buku. Allah berfirman dalam surat Qomar ayat 52 sampai 53 bahwa, “Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan (yang ada di tangan Malaikat). Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis”.
Tidak ada yang luput dari catatan malaikat pencatat amal manusia. Mereka tidak mungkin salah dalam mencatat atau menambah kurangi catatan.Tujuan dari pencatatan ini adalah sebagai bukti pertanggung jawaban di hari pengadilan kelak. Dengan pencatatan ini pula semua perbuatan manusia terekam sempurna.
Pencatatan amal perbuatan ini dilaksanakan oleh dua malaikat yang selalu mengikuti manusia ke mana pun mereka pergi. Tidak peduli siang atau malam semua perbuatan itu terekam sempurna. Seperti dalam sebuah film berjudul eagle aye, setiap manusia selalu diawasi.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallama pernah menyampaikan, dari hadits riwayat Imam Thabrani, bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya malaikat yang berada di sebelah kiri, akan mengangkat penanya selama enam jam, dari mencatat amal seorang hamba yang berbuat dosa. Jika dia menyesal dan memohon ampun kepada Allah atas dosa itu, maka malaikat itu tidak akan mencatatnya. Jika tidak, maka dosa itu akan dicatat sebagai satu dosa”.
Tidak hanya perbuatan buruk yang dicatat, melainkan perbuatan baik pun demikian. Dengan begitu maka akan terbentuk sebuah klasifikasi yang akan menentukan balasan dari setiap manusia. Bila baik masuk surga, dan bila buruk silahkan merasakan neraka. Belum lagi tingkatan surga dan neraka. Semua isiannya tergantung pada catatan amal dari setiap manusia.
Dalam hadits qudsi Rasulullah pernah meriwayatkan, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang beliau riwayatkan dari rabbnya (hadis qudsi) azza wa jalla berfirman, yang beliau sabdakan: "Allah menulis kebaikan dan kejahatan," selanjutnya beliau jelaskan: "Siapa yang berniat kebaikan lantas tidak jadi ia amalkan, Allah mencatat satu kebaikan di sisi-Nya secara sempurna, dan jika ia berniat lantas ia amalkan, Allah mencatatnya sepuluh kebaikan, bahkan hingga dilipat-gandakan tujuh ratus kali, bahkan lipat-ganda yang tidak terbatas, sebaliknya barangsiapa yang berniat melakukan kejahatan kemudian tidak jadi ia amalkan, Allah menulis satu kebaikan disisi-Nya secara sempurna, dan jika ia berniat kejahatan dan jadi ia lakukan, Allah menulisnya sebagai satu kejahatan saja."
Demikianlah proses tersebut berjalan sepanjang kehidupan seseorang. Jadi tidak ada tempat sembunyi, dan pada hakikatnya tidak ada perbuatan maksiat manusia yang betul betul tidak diketahui. Semuanya tercatat lengkap bagai sebuah daftar historis kehidupan manusia. Dan itu akan ditampakkan di hari akhir kelak.
Semua itu demi kebaikan manusia agar manusia berhati-hati dalam setiap lakunya. Selain itu, pencatatan itu juga akan menjadi bukti pertanggung jawaban yang tidak bisa dibantah oleh manusia pada waktu pengadilan kelak.
Demikianlah Allah mendidik kejujuran bagi seluruh hamba-Nya. Jelas bahwa pencatatan akan menjadi bukti kongkrit dari sebuah perkara yang tidak akan bisa dibantah. Dengannya kejujuran akan tercipa dan terjaga, maka kesejahteraan dan keadilan pun terwujudkan.
Karena begitu pentingnya peran pencatatan dalam kehidupan, maka barangsiapa yang berlaku curang dalam pencatatan akan jatuh pada perbuatan fitnah. Sedangkan fitnah lebih kejam dari pembunuhan, dan pembunuhan termasuk dosa besar. Maka sebab itu fitnah pun termasuk dosa besar.
Perbuatan seperti manipulasi catatan keuangan, rekayasan foto, dan juga video adalah termasuk pada perbuatan curang dalam proses akuntabilitas atau pertanggung jawab, karena akan menghadirkan data bukti yang salah dan sangat merugikan banyak orang.
Maka perbuatan tersebut pun masuk dalam kategori fitnah, dan sesungguhnya tidak akan masuk surge orang-orang yang suka menyebar fitah, hadits riwayat Imam Bukhori dan Imam Muslim. Wallahu a’lam bi ash showab
Oleh: William Rahaditama, M. A
(Pembimbing IKPM Solo Raya)
Oleh: William Rahaditama, M. A
(Pembimbing IKPM Solo Raya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar