Breaking

Kamis, 04 Oktober 2018

Edisi ke 6 : Hubungan Pemimpin dan Ulama

                                         Sumber gambar : www.google.com

Diskusi mengenai kepemimpinan memang selalu menarik untuk dibicarakan. Bukan hanya karena gambaran jabatan yang terdapat di dalamnya, melainkan juga karena keberadaannya di dalam kehidupan manusia tidak akan pernah bisa dihilangkan. Artinya, kepemimpinan merupakan suatu hal yang niscaya bagi manusia. 

Tanpa kepemimpinan, manusia tidak akan bisa membuat suatu komunitas sosial. Dalam penjelasannya, Arisototle telah menggambarkan bentuk awal dari suatu masyarakat dengan mengatakan bahwa masyarakat terbentuk karena sifat alami manusia sebagai makhluk sosial yang kemudian mendorong mereka berkerja sama demi tercapainya suatu tujuan bersama, dan untuk menjamin keberhasilan upaya tersebut mereka memiliki seseorang yang dianggap paling pantas diantara mereka untuk menjadi pemimpin mereka. Fakta inilah yang menjadikan kepemimpinan sebagai suatu hal yang pasti dan penting bagi manusia.

Masih dalam karyanya, Aristotle kemudian membagi bentuk kekuasaan menjadi tiga bentuk yang ideal. Ketiga bentuk tersebut dilihat dari jumlah pemegang kekuasaan. Dari ketiga bentuk tersebut ia meyatakan bahwa bentuk yang paling ideal adalah monarki, yaitu kekuasaan yang hanya dipegang oleh satu orang yang sangat istimewa dan yang paling memiliki kesempurnaan untuk pantas menjadi pemimpin. Hanya saja sayangnya, Aristotle meragukan keberadaan orang yang memiliki kualifikasi tersebut sehingga ia tidak berani untuk merekomendasikan bentuk tersebut. Ia lalu menurunkan standard kepemimpinan hingga pada tahap demokrasi.  

Pendapat ini juga diakui oleh J. J. Rousseau, seorang filosof politik asal Prancis, yang menyatakan bahwa kepemimpinan tunggal adalah yang terbaik, lebih lagi bila Negara yang menjadi kekuasaannya adalah sebuah Negara yang besar. Namun sekali lagi ia pun meragukan adanya pemimpin semacam itu, hanya saja uniknya, Rousseau dalam bukunya menuliskan apresiasinya terhadap kepemimpinan Rasulullah SAW yang membuktikan akan keberhasilan kepemimpinan tunggal tersebut.

Jauh sebelum Rousseau, ulama Islam sudah lebih dahulu merevisi pendapat para filosof Yunani tersebut dengan menyatakan bahwa kepemimpinan tunggal itu nyata. Beliaulah Abu Nashr al Farabi yang telah menuliskan dalam karyanya al Madinah al Fadhilah mengenai hal tersebut. 

Al Farabi menyatakan bahwa memang selayaknya kepemimpinan sebuah Negara atau pemerintahan adalah tunggal, dan itu yang paling ideal. Hal tersebut dikarenakan seseorang yang paling excellent pastilah hanya satu orang. Keistimewaan tersebut dilihat dari kecakapannya dalam ilmu, kewibawaan dan juga sisi religiusitasnya yang sempurna. Dari karakteristik itulah al Farabi kemudian mengarahkan keberadaan pemimpin tersebut kepada nabi dan rasul. 

Beliau menjelaskan bahwa hanya nabi dan rasul lah yang bisa mewujudkan kepemimpinan tunggal tersebut, dan hal tersebut pun telah terbukti pada sosok Nabi Muhammad SAW. Dalam sosok beliau kepemimpinan tunggal terbukti berhasil menjadikan sebuah Negara yang ideal. Tidak hanya dalam segi pemerintahan sosial, namun agama pun tegak hingga menjadi dasar Negara. Dalam kapasitasnya Rasulullah SAW adalah pemimpin Negara sekaligus pemimpin agama. 

Inilah kepemimpinan tunggal yang memegang kekuasaan dalam dua hal yang terlebur menjadi satu. Agama sebagai basis etik dan norma masyarakat yang akan memunculkan hukum dan undang-undang, dan pemerintahan sosial sebagai alat untuk menyelenggarakan kehidupan sosial yang harmonis demi mewujudkan cita-cita sosial.

Hanya saja pada zaman ini, untuk menemukan sosok yang serupa dengan Rasulullah SAW memang sulit, atau bahkan mustahil. Namun bukan berarti alasan tersebut menjadikan gambaran kepemimpinan Rasulullah terabaikan. Masih dalam karyanya, al Farabi menjelaskan bahwa bila sosok pemimpin tunggal ini sulit untuk ditemukan, maka kepemimpinan dengan beberapa orang boleh dilakukan, hanya dengan catatan adanya seorang filosof, atau seorang ulama, di antara majlis kepemipimpinan tersebut. 

Penjelasan al Farabi ini menekankan pentingnya seorang ulama dalam pemerintahan. Bukan demi sebuah jabatan, namun sebagai penasehat dan juga pengingat bagi pemimpin dalam hal etik dan norma kepemimpinan ketika ia lupa atau lengah. Hal ini juga diingatkan oleh Imam al Ghazali dalam karyanya at Tibru al Masbuk fi Nasihati al Mulk dengan menjelaskan hubungan penguasa dengan ulama. 

Beliau menulis bahwa penguasa harus selalu berkonsultasi dengan ulama karena ulama-lah yang memahami fiqh, di mana fiqh menjadi acuan dalam aturan kepemimpinan. Oleh sebab itu, bila pemimpin tidak lagi mau berhubungan dengan ulama, maka ia akan kehilangan pegangan dan juga penasehat utama yang akan menyebabkan kepemimpinannya tidak berjalan dengan baik.

Harmonisasi hubungan politik dan agama

Secara logis, hubungan penguasa dengan ulama bisa digambarkan dengan relasi antara ilmu dan permasalahan. Bila ilmu merupakan solusi yang dipakai untuk memecahkan suatu masalah, dan ulama sebagai pemilik ilmu tersebut, maka peran ulama dalam masyarakat sangat penting guna memberikan masukan tentang solusi dari permasalah dalam masyarakat. 

Sedangkan pemimpin sebagai pengatur system masyarakat yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan dengna system yang dibangun atas dasar hukum sosial, maka, pemimpin memerlukan solusi agar ia bisa membagun hukum dan peraturan untuk dapat menyelesaikan permasalahan. 

Di tambah bila agama dianggap sebagai solusi hidup masyarakat sepanjang masa, maka sudah semestinya agama dan politik bersatu untuk menjaga keharmoniasan kehidupan manusia. Inilah logika hubungan anatara politik dan agama, atau hubungan antara penguasa dan ulama.

Selain itu, ilmu juga akan memberikan sumbangsih peradaban bagi sebuah bangsa. Tidak ada peradaban yang tidak dibangun berdasarkan ilmu. Sehingga ilmu adalah suatu hal yang wajib diperhatikan seorang penguasa agar bangasanya bisa berkembang menjadi bangasa yang besar dan berperadaban hebat. 

Inilah yang juga dijelasan oleh al Farabi dalam karyanya al Madinah al Fadhilah dan juga Ibnu Kholdun dalam Muqoddimah-nya. Pemimpin bertugas untuk mendidik rakyatnya agar menjadi rakyat yang ideal dengan ciri memiliki peradaban yang tinggi. Tugas ini tidak akan bisa diwujudkan bila penguasa bersilang arah dengan ulama, maka sekali lagi, ulama dan penguasa harus berjalan berdampingan dan memiliki hubungan yang harmonis. 

Keharmonisan hubungan ini sudah banyak diperlihatkan oleh para penguasa-penguasa Islam terdahulu. Dr. Ahmad Rifa’i dalam karyanya mengenai biografi al Ma’mun menuliskan bahwa gerakan intelektual yang digerakkan oleh al Ma’mun meberikan dampak yang luar biasa bagi Arab dan Islam khususnya. 

Bahkan ia menyebutkan bahwa al Ma’mun layak disandingkan dengan beberapa penguasa imperium ternama seperti Anusyirwana penguasa kharismatik Persia yang memberikan sumbangsih besar dalam kemanusiaan dan peradaban. Bahkan ia pun menambahkan bahwa peristiwa Renaisance yang terjadi di Eropa memiliki akar sejarah dari gerakan ilmu pengetahuan yang diprakarsai oleh al Ma’mun. 

Kisah yang lainnya, pada zaman Imam al Ghazali, penghargaan penguasa terhadap ulama begitu luar biasa. Bagaimana tidak, karya seorang ulama akan diberikan hadiah emas seberat buku atau karya yang dihasilkan oleh ulama tersebut. Inilah yang mendorong terjadinya aktivitas akademik yang luar biasa di masyarakat sehingga muncullah para intelektual dan cendekiawan yang mencurahkan potensi intelektualnya demi memberikan sumbangan ilmu bagi bangasanya. Terbukti pada zaman ini, peradaban Islam begitu luar biasa hingga mampu menyinari peradaban-peradaban bangsa lainnya.

Selain itu, penaklukan konstantinopel yang terjadi saat era Sulthan Muhammad al Fatih pun tidak lepas dari peran ulama. Muhammad al Fatih yang ketika itu putus asa karena sudah empat puluh hari mengepung konstantinopel namun tidak juga mampu menembus pertahanan Romawi yang menguasainya. Ketika itulah seorang ulama bernama Syeikh Aaq Syamsuddin al Wali datang menasehati al Fatih dengan menceritakan kisah Abu Ayyub al Anshori tentang keikutsertaannya dalam penaklukan konstantinopel meski pada usia yang tidak lagi muda. Maka setelah nasehat itu, al Fatih kembali bersemangat dan berhasil menaklukkan Konstantinopel, dan kemudian mengganti namanya menjadi Istanbul.

Inilah  beberapa fakta sejarah yang menjadi bukti keharmonisan hubungan antara ulama dan penguasa. Hubungan erat yang sudah semestinya tidak boleh dipisahkan atau dibedakan dengan tujuan mendiskriminasi salah satunya. Ulama sebagai penjaga syari’at yang menjadi asas kehidupan, dan penguasa sebagai eksekutor kebijakan yang membuat kebijakan berjalannya syari’at tersebut. Ulama sebagai guru yang mendidik rakyat demi mempersiapkan generasi penerus sehingga mereka nantinya menjadi agen-agen penerus bangsa yang baik, dan penguasa sebagai hasil dari pendidikan tersebut menjaga sistemnya berjalan dengan baik pula. 

Akan tetapi perlu diingat, bahwa tidak semua ulama bisa dijadikan penasehat penguasa. Imam al Ghazali mengingatkan bahwa ada dua macam ulama. Pertama adalah ulama suu’ atau ulama yang jahat, yaitu ulama yang selalu menyanjung penguasa dan tidak berani mengkritiknya karena takut jabatannya sebagai penasehat penguasa dicopot, atau dalam istilah lain adalah penjilat penguasa. Untuk ulama jenis ini, penguasa harus berhati-hati.  Kedua adalah ulama khoir atau ulama yang baik, yaitu ulama yang orientasinya bukanlah materi seperti ulama jahat, namun selalu berusaha menjaga jalannya pemerintahan tetap berjalan baik, dan tidak takut memberikan kritik kepada penguasa bila memang diperlukan. Poin inilah yang juga harus diperhatikan oleh para penguasa.

Penguasa dan ulama di Indonesia 

Di Indonesia, peran ulama tidak bisa dilepaskan dari sejarah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Gambaran perjuangan mengusir penjajah hingga terbentuknya dasar Negara yang menjadi awal proklamasi kemerdekaan adalah bukti peran ulama terhadap Negara ini. Di awal masa penyebaran Islam, para ulama klasik pun sudah memberikan sumbangan besar bagi peningkatan kesejahteraan rakyat di Nusantara, seperti Sunan Maulana Malik Ibrahim. 

Dalam kitab Babad Tanah Jawi (versi Meinsma), di kerajaan Majapahit, Sunan Maulana Malik Ibrahim berhasil mengambil hati raja dan rakyatnya dengan keluhuran akhlaq serta keluasan pengetahuannya. Ketika beliau bertolak dari Campa menuju Majapahit dan kemudian berdiam di sana, beliau membantu masyarakat sekitar yang ketika itu sedang dilanda bencana krisis ekonomi serta perang saudara. 

Keahliannya dalam bercocok tanam beliau tularkan kepada masyarakat sekitar, khususnya pada kasta sudra (kasta terendah dalam masyarakat Hindu) hingga mereka bisa mandiri dalam memenuhi hajat ekonominya. Kemudian beliau juga membuka pengobatan gratis bagi masyarakat, bahkan keahlian beliau sebagai seorang tabib pernah dipercaya sebagai dokter kerajaan Majapahit. Dengan keahlian itulah beliau berhasil memikat hati masyarakat sebelum disampaikan kepada mereka perihal ajaran Islam. 

Pada masa kemerdekaan, pahlawan nasional banyak yang berlatar belakang ulama. Seperti Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, K. H Mas Mansyur dan lainnya. Bahkan ketika perumusan Pancasila sebagai dasar Negara pun sosok seperti K. H Wahid Hasyim ikut serta dalam panitia Sembilan bentukan presiden Soekarno. Merekalah yang menyelamatkan bangsa ini dari perpecahan pasca kemerdekaan yang hanya disebabkan beberapa kata dalam Pancasila sila pertama yang bagi sebagian golongan dianggap sebagai bentuk diskriminasi. 

Tidak berhenti saja di saat itu, dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan pun Resolusi Jihad K. H Hasyim Asy’ari menggelorakan semangat juang rakyat hingga semboyan “Merdeka atau Mati… Allahu Akbar” keluar dari mulut Bung Tomo yang ketika itu menggerakkan perjuangan rakyat Surabaya. Muhammad Nasir, seorang politisi tangguh juga merupakan seorang ulama hebat. Masih banyak lagi contoh dari hubungan antara ulam dan penguasa yang membuahkan satu kemajuan yang hebat bagi sebuah bangsa dan Negara. 

Inilah yang seharusnya menjadi perhatian bagi para penguasa Negara sekarang ini. Menjauhnya posisi ulama dari penguasa akan menghilangkan pegangan bagi penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Akhirnya ia sangat bisa terombang-ambing oleh ombak pendapat yang tidak seluruhnya benar. Selain itu, politik tidak lagi berorientasi pada memajukan bangsa, melainkan bertujuan demi kekuasaan. 

Pendidikan sangat jauh dari yang diharapkan karena pendidikan secular lebih mementingkan pada kuantitas dari pada kualitas akhlak peserta didiknya. Akhirnya ilmu pun lesu tak bertenaga, rakyat lebih suka pesta pora dan hiburan. Dan bila kondisinya sudah demikian, maka tidak korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan pun tidak disadari, rakyat menjadi apatis dan tidak lagi peduli dengan Negara dan pemerintahan bahkan selalu curiga terhadap penguasanya. Maka, sebelum itu semua terjadi, seyogyanyalah penguasa rakyat kembali ke ulama, dan menjadikan mereka sebagai mitra dalam pemerintahan. Wallahu a’lam bi ash showab

Oleh: Shofwan Havied Musthofa, M. Pd. I
(Pembimbing IKPM cab. Solo Raya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar