Breaking

Kamis, 04 Oktober 2018

Edisi ke 9 : Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah; Doktrin dan Ilmunya di Era Sosial Media

Sumber gambar : www.google.com

Saat ini kita berada di era media sosial dimana informasi dengan sangat cepat dan mudah didapat dan disebar. Media sosial kini telah menyerang semua kalangan dan semua lapisan masyarakat, sehingga informasi apapun dengan sekali hentakan jari dapat tersebar dan diterima oleh siapapun itu. 
Seseorang bisa kapan saja membuat pernyataan apapun dan dengan mudah diterima oleh siapapun dan dengan mudahnya orang lain akan menyebarkan berita itu. Fenomena ini tentu bisa menjadi sesuatu yang mempunyai manfaat dan mudhorat. Yang menjadi masalah adalah ketika berita yang didapat dan dishare kepada orang lain itu adalah merupakan kebohongan, fitnah, ujaran kebencian dan berita hoax. 
Jika kita ikuti berita di media akhir-akhir ini, telah banyak oknum yang diamankan pihak berwajib hanya gara-gara menyebarkan berita bohong (hoax) tersebut. Tak jarang berita yang disebarkan itu mengatasnamakan Islam. Maka sebenarnya justru Islamlah yang menjadi dampak dari oknum-oknum itu. 

Secara historis, dalam tradisi keilmuan Islam telah dikenal dengan tradisi sanad Ilmu. Sanad ini meliputi semua cabang keilmuan di dalam Islam, baik Ilmu Al-Qur’an, Hadis, Fiqh, Tasawuf, dan lain sebagainya. Dalam Ilmu Al-Qur’an misalnya, seseorang pengahafal Al-Qur’an akan mendapatkan ijazah dari gurunya yang mengajarnya. 
Selain itu, di dalam Ilmu Al-Qur’an juga dikenal dengan ilmu Qira’at, yang di dalamnya dibahas perbedaan-perbedaan di kalangan ulama klasik dalam melafalkan suatu ayat. Maka dalam hal ini perlu seseorang mendapatkan sanadnya. Sanad yang dimaksud di sini adalah transmisi keilmuan, yang melalui serangkaian tahapan dalam proses mendapatkan pengetahuan, mulai dari pertemuan guru murid, melacak kualitas seseorang yang menyampaikan pengetahuan tersebut. Begitu juga dalam tradisi periwayatan hadis. 
Salah satu syarat diterimanya sebuah hadis adalah kebenaran sanadnya. Mulai dari kemungkinan pernah bertemunya guru yang menyampaikan pengetahuan kepada muridnya, kualitas seseorang yang menyampaikan dan serangkaian tahapan lainnya. Tradisi ini juga diikuti oleh keilmuan Islam lainnya seperti tasawuf yang melahirkan gerakan Tarekat, yang di dalamnya juga terdapat proses pertemuan dan ijazah guru murid. 

Semangat tradisi transmisi keilmuan ini yang nampaknya akhir-akhir ini semakin memudar. Meski di dalam tradisi akademik hal ini menjadi sesuatu yang mutlak adanya. Namun nampaknya hanya terbatas pada tradisi keilmuan saja. Masyarakat kita hampir sudah tidak memperdulikan lagi rentetan proses sampainya pengetahuan itu, dari mana, untuk siapa dan tujuannya apa. 
Era ini juga telah memunculkan generasi-generasi instant, dimana semuanya didapatkan dengan mudah dan dalam waktu sekejap. Akibatnya, muncul kemalasan berfikir mendalam tentang segala sesuatu, tak terkecuali dalam hal agama. Semua persoalan nampaknya bisa dengan mudah diselesaikan dengan bertanya dengan syekh google. Oleh karena itu, perlu kiranya memahami terminologi back to Qur’an and Sunnah secara komprehensif.

Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah ?

Bagi masyarakat Muslim, Al-Qur’an dan Sunnah Nabi menjadi sumber primer ajarannya. Tidak hanya menjadi sumber ajaran (doktrin), keduanya juga menjadi sumber ilmu dan pengetahuan. Hadis yang cukup terkenal dan tersebar di kalangan umat Islam yang menyebutkan tentang pentingnya kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah di antaranya adalah yang berbunyi:
Aku telah meninggalkan dua perkara, dimana bagi siapa saja yang berpegang pada keduanya maka tidak akan tersesat selamanya”.

Dalam dari pada itu, sejarah Islam mencatat bahwa Al-Qur’an dan Sunnah (Hadis) yang sampai kepada kita saat ini melalui serangkaian proses panjang. Tidak ada yang instant dalam proses penulisan dan pengumpulannya. Umat Islam harus menyadari dinamika ini, dimana baik Al-Qur’an atau pun sunnah muncul berbarengan dengan konteks pada masa itu yang meniscayakan adanya kontak dengan budaya lokal. 
Sehingga baik ayat maupun hadis yang sampai pada kita saat ini harus dipahami sedemikian rupa agar tidak salah tafsir dan salah guna. Ini yang kemudian memunculkan seperangkat disiplin ilmu untuk mempelajarinya.

Mungkin kita tau bahwa Al-Qur’an sendiri baru berhasil dikumpulkan menjadi satu mushaf utuh di Era Khalifah Usman, meskipun telah diinisiasi oleh Khalifah Abu Bakar dan Umar yang memiliki rentan waktu jauh sebelumnya. Ketatnya proses pengumpulan menjadi salah satu faktor penyebab lamanya pengumpulannya, karena para tim pengumpulan Al-Qur’an harus memverifikasi penghafal Al-Qur’an, riwayat (siapa yang menyampaikan), bacaan (qiraat) yang mutawattir dan sebagainya. 
Sehingga tak heran jika hingga saat ini muncul beragam perbedaan qiraat (bacaan) Al-Qur’an. Jika ini tidak dipahami oleh umat, maka yang terjadi adalah saling menyalahkan dan mencap dengan tuduhan-tuduhan yang tidak mendasar. Dalam hal ini tidak semudah menggerakkan jari di layar handphone. 

Proses panjang juga terjadi pada upaya pengumpulan dan penulisan hadis Nabi yang baru secara resmi dimulai pengumpulannya pada masa Umar bin Abdul Aziz menjelang abad ke-2 Hijriyah. Pengumpulan Hadis yang begitu jauh dari masa Nabi itu disebabkan oleh banyak faktor, selain pada masa Nabi muncul larangan menulis ucapan Nabi selain Al-Qur’an. 
Meskipun ada riwayat yang mengatakan bahwa Nabi kemudian memperbolehkan menuliskan setelah fathu Makkah yang itupun hanya menulis untuk konsumsi pribadi bagi seseorang yang pandai menulis dan tidak mempunyai kemampuan menghafal yang kuat. Larangan ini nampaknya untuk mengantisipasi tercampurnya perkataan Nabi dengan ayat Al-Qur’an (kalamullah). 
Tradisi tidak menyebarkan Hadis lewat tulisan ini berlanjut hingga masa Sahabat, khususnya masa Abu Bakar dan Umar yang disibukkan dengan proses pengumpulan Al-Qur’an. Bahkan Abu Bakar sempat membakar beberapa tulisannya tentang hadis, begitu pula dengan Umar yang tidak mau mengumpulkan hadis pada masanya. 

Rentan waktu yang cukup panjang hingga sampai pada masa pengumpulan hadis ini tentu berbarengan dan bergesekan dengan situasi masyarakat Islam pada waktu itu. Sehingga hadis yang sampai kepada saat ini juga telah memuculkan disiplin ilmu untuk mempelajarinya. Sebagaimana kita ketahui bahwa hadis yang sampai pada kita saat ini terdiri dari dua hal yakni matan dan juga isnad (rentetan periwayatnya).
Munculnya terma itu juga setelah berhasilnya dikumpulkan hadis itu yang lalu menjadi ilmu formal pada abad ke- 2 H. Dalam terminology ilmu hadis, sanad dan matan ini adalah hal penting dalam menentukan apakah hadis itu dikatakan benar bersumber dari Nabi atau bukan. 
Dalam meneliti sanad, ada ilmu jarh wa ta’dil, ada proses melihat ketersambungan sanad dengan meniliti kemungkinan bertemu antara satu periwayat dengan periwayat lainnya, dan sebagainya. Ini dilakukan oleh para ulama’ dengan penuh kehati-hatian dalam menyeleksi berita yang disampaikan. 
Proses inilah yang saat ini nampaknya tengah dilupakan oleh masyarakat muslim, khususnya masyarakat milenial kita yang sedang dihinggapi hiruk pikuk media sosial. 
Slogan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah nampaknya hanya terbatas pada teks yang sampai kepada mereka tanpa berusaha memahami rentetan sejarah kenapa teks itu muncul, apalagi meniliti siapa yang meriwayatkan. Umat kini terjebak pada cara berfikir instant, tak terkecuali dalam wilayah cara beragama karena malas berfikir panjang. 
Oleh karenanya, semangat kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah harus dibarengi dengan semangat mempelajari ilmunya, semangat melihat teks dan konteks. Al-Qur’an dan Sunnah beserta ilmunya seharusnya tidak hanya diposisikan sebagai doktrin ajaran, namun juga dijadikan sebagai cara berfikir.

Ilmu Al-Qur’an dan Sunnah sebagai Cara Berfikir

Dalam terminology Ilmu Al-Qur’an, umat Muslim harus percaya dan yakin bahwa kitab suci yang sampai kepada kita itu otentik dan telah final yang bersumber dari Allah melalui Nabi Muhammad. Sehingga yang harus dilakukan selanjutnya adalah memahami kandungannya untuk dijadikan panutan hidup. Oleh karena itu, muncul banyak sekali ragam tafsir yang telah dilakukan oleh para ulama’ dari masa klasik hingga saat ini.
Pertanyaannya, apakah saat ini kita juga boleh memahaminya dan berbeda dengan ulama’ dahulu?. Jawabannya tentu boleh saja, asal mengikuti sejumlah aturan yang telah dirumuskan dan disepakati oleh para ulama’ tentang kaidah-kaidah memahami Al-Qur’an. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak mempelajari ilmu Al-Qur’an (kaidah-kaidah memahami Al-Qur’an)?. 
Mungkin pertanyaan ini bisa dijawab dengan anjuran untuk mengikuti pendapat para ulama’ yang telah menulis sejumlah kitab tafsir. Namun kiranya sebagai seorang Muslim, kita perlu bertanya mengapa pendapat itu muncul, lalu dalam konteks apa ayat itu dimunculkan begitu pula dengan ayat-ayat yang ada di dalam Al-Qur’an. 
Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang kemudian dapat memicu seseorang mempelajari Al-Qur’an. Sebab, seharusnya mempelajari Al-Qur’an tidak cukup selesai dengan mempelajari cara membacanya, namun hendaknya mempelajari bagaimana memahaminya. Nah, dengan semangat inilah orang kemudian sadar bahwa dalam beragama tidak instan.

Mempelajari Al-Qur’an, secara tidak langsung juga mempelajari konteks turunnya ayat kepada Nabi waktu itu. Sebab Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus kepada Nabi, melainkan bertahap atau berangsur-angsur.  Di antara hikmahnya adalah respon, teguran, aturan, dan petunjuk kepada Nabi dalam menjalankan misi kenabiannya. Selain itu, Al-Qur’an juga tidak diturunkan di ruang hampa budaya. Artinya, Al-Qur’an juga bersentuhan dan merespon masyarakat Arab waktu itu. 
Untuk itu, maka Al-Qur’an juga harus dipahami dalam konteks tempat dan zaman yang sama sekali berbeda dengan saat Al-Qur’an diturunkan. Dengan begitu, maka orang akan melihat segala substansi dibalik setiap peristiwa. 
Jika cara berfikir itu diaplikasikan dalam bermedia sosial, atau dalam proses memperoleh pengetahuan, apalagi cara beragama, maka budaya berfikir kritis dan berfikir panjang yang akan muncul. Orang kemudian mempunyai kecakapan untuk melihat sesuatu di balik setiap peristiwa. 
Sehingga budaya penyebaran berita bohong, ujaran kebencian sedikit demi sedikit terkikis oleh cara berfikir substantif ini, sebab seseorang tidak lagi terpaku pada apa yang muncul di permukaan, namun telah masuk jauh dibalik apa yang tampak.

Demikian halnya dengan cara berfikir ilmu hadis, sebagaimana telah disinggung di muka. Bahwa rangkaian proses penilaian kuailias hadis melalui serangkaian proses yang panjang. Periwayat hadis harus memastikan dari siapa kabar itu datang, apakah dia orang yang dapat dipercaya, jujur, cerdas, kuat ingatannya, baik perilakunya, dan lain sebagainya. Isi yang disampaikannya juga dipastikan apakah bertentangan dengan akal sehat, sesuai fakta, sesuai nilai ajaran utama (Al-Qur’an). 
Jika syarat ini tidak dipenuhi, maka kualitas informasi yang datang tidak dilanjutkan dan merupakan kabar yang tertolak. Sehingga tidak perlu dilanjutkan kepada orang lain. Tentu saja, kabar yang tertolak itupun tidak bisa menjadi sumber hukum. Jika cara berfikir ini dilaksanakan, maka yakinlah bahwa umat ini akan terbebas dari berita hoax dan ujaran kebencian yang tidak sesuai sama sekali dengan spirit Al-Qur’an sebagai kitab rahmah dan berkeadilan. Wallahu a’alam.

Oleh : Nurrohman, S. Ud, M. Hum
(Anggota Tim Ahli IKPM Solo Raya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar