Breaking

Kamis, 04 Oktober 2018

Edisi ke 13 : Menggugah Nilai-nilai Ilahiyah Yang Hampir Pudar Pada Karakteristik Ekonomi Keluarga Muslim


 Sumber gambar www.google.com

Fenomena modernisasi lifestyle masyarakat Indonesia diawali dengan sejarah globalisasi dan kapitalisme ekonomi yang ditandai dengan hegemonisasi food (makanan), fun (hiburan), fashion (mode), dan thought (pemikiran). 

Hegemonisasi tersebut seperti menjamurnya pusat perbelanjaan modern, industri waktu luang, industri fashion, industri kecantikan, industri gosip, real estate, gencarnya iklan barang-barang mewah, kegandrungan terhadap merk asing, fast food, handphone dan tidak ketinggalan serbuan gaya hidup melalui industri iklan dan tayangan televisi. 

Era tersebut berusaha mendefinisikan mengenai sikap, nilai-nilai kekayaan, serta posisi sosial individu di masyarakatbahkan menjadi sebuah doktrin, produk paten, tantangan dan lebih parahnya lagi ancaman bagi keluarga muslim.
 
Modernisasi lifestyle juga merupakan era terjadinya perubahan-perubahan nilai pada masyarakat yang dipengaruhi oleh budaya barat, sehingga menyebabkan benturan-benturan antara ideologi tersebut dengan ideologi agama. 

Budaya individualisme, konsumerisme, hedonisme dan materialisme telah menjadi bagian dari ideologi barat untuk menggeser karakter pada ekonomi keluarga muslim yang dilandasi dengan hidup mewah dan congkak, gengsi, konsumsi pamer dan profit oriented yang bertujuan mendapatkan kepuasan semata serta kurang mempertimbangkan dari aspek maslahah sekaligus manfaatnya.

Karakter pada ekonomi keluarga muslim yang baik sebenarnya tak cukup untuk mengatasi dampak dari modernisasi lifestyle saat ini. Perlu adanya internalisasi doktrin ilahiyah ke dalam karakter ekonomi keluarga muslim itu sendiri. 

Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Syahatah, bahwa ekonomi keluarga muslim adalah kaidah atau aturan ekonomi dalam lingkup keluarga yang digali dari Al-Quran, Hadits, ijtihad Ulama dan studi-studi Islam tentang perekonomian dalam mewujudkan maqashid syariah dan terpenuhinya kebutuhan spiritual dan material secara proporsional dalam keluarga. 

Nilai iman terefleksikan dari pemaknaan harta itu sendiri. Keluarga muslim menyakini bahwa harta adalah titipan, cobaan, sarana ibadah dan alat untuk berdakwah. Titipan sendiri memiliki arti bahwa harta hanya bersifat sementara di dunia ini dan tidak akan dibawa ke akhirat. Kemudian cobaan adalah cara menyikapi harta tersebut yang mana akan menjadikan keluarga muslim menjadi baik atau menjadi buruk. 

Harta dapat bermanfaat bagi orang lain tidak hanya bagi diri sendiri dan keluarga merupakan bentuk dari sarana ibadah dan alat untuk berdakwah. Dengan melimpahnya harta semestinya keluarga muslim semakin tinggi tingkat imannya, maksudnya keluarga muslim dapat menjaga hati, menjaga diri, mematangkan sikap, meningkatkan ibadah dan sedekahnya. 

Sebagaimana Firman Allah Surat An-Nahl: 71 dan Hadits Nabi SAW. yang artinya “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan lepas (dari titian) pada hari kiamat sebelum dia ditanya mengenai empat hal, diantaranya tentang harta: dari mana dia peroleh dan untuk apa dia nafkahkan” .
 
Nilai akhlaq menjadikan perekonomian keluarga muslim menjadi sempurna. Dengan adanya akhlaq maka akan terciptanya harmonisasai dalam keluarga muslim itu sendiri, karyawan, konsumen, supplier, investor dan masyarakat luas. 

Keluarga muslim mengungkapkan bahwa akhlaq yang harus dimiliki meliputi kejujuran, saling menghargai, bekerja profesional, saling bermanfaat, amanah, displin, menghargai waktu, sopan, trust, ukhuwah, akad kerjasama, silaturahim dan qana’ah.Sebagaimana firman Allah Surat At-Taubah: 119 dan An-Nisa: 58.
 
Halal dan thayyib menjadi bagian penting dalam perekonomian keluarga muslim, karena halal dan thayyib merupakan hal yang mutlak dan wajib yang harus ditaati setiap keluarga muslim. Tujuannya adalah menggapai sebuah kebarakahan hidup semata, barakah berarti tenang dan selamat dunia dan akhirat. 

Gapaian barakah juga tidak hanya untuk individu semata, namun dapat bermanfaat bagi keluarga karyawan, konsumen, supplier, masyarakat sekitar dan semuanya yang berkaitan. Halal sendiri sangat berdampak luar biasa terhadap seluruh aspek kehidupan seperti kerharmonisan keluarga, harta yang berkah, keturunan dan masyarakat luas. 

Halal juga tidak diukur dari seberapa besar keluarga muslim mendapatkan atau menghasilkan sebuah harta, melainkan lebih kepada kualitasnya maksudnya seberapa besar harta tersebut dihasilkan dengan cara yang halal dan dapat memberikan manfaat bagi banyak orang.Sebagaimana firman Allah Surat An-Nahl: 114, Al-Baqarah: 172-173 dan Al-Maidah: 90.

Prioritas belanja menjadi suatu hal yang penting dalam me-manage ekonomi keluarga muslim itu sendiri. Skala prioritas dibagi menjadi tiga bagian penting yaitu dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat. Keluarga muslim mendahulukan kebutuhan dharuriyat terlebih dahulu sebelum yang lainnya, karena memenuhi kebutuhan tersebut sangat memengaruhi eksistensi kehidupannya. Pemenuhan kebutuhan tersebut juga didasarkan atas needs bukan wants. 

Keluarga muslim pertama kali memenuhi kebutuhan dharuiryat-nya seperti sandang, papan dan pangan, nafkah ke istri dan anak, nafkah kepada orang tua, zakat dan sedekah, gaji karyawan kemudian biaya sekolah serta kebutuhan-kebutuhan bulanan lainnya. 

Setelah kebutuhan dharuriyat terpenuhi, maka boleh memenuhi kebutuhan yang lainnya seperti jalan-jalan bersama keluarga, belikan mainan, belikan hadiah istri, beli alat elektronik dan sebagainya. Tingkat prioritas kebutuhan tersebut relatif, maksudnya masing-masing keluarga muslim memiliki kebijakannya, namun secara umum yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal tersebut terjadi disebabkan karena setiap keluarga memiliki level ekonomi yang berbeda-beda dan pemenuhan kebutuhan terpenuhi secara bertahap.

Seimbang dan pertengahan lebih kepada keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran serta tidak berlebihan, tidak pelit dan kikir dan hemat. Keseimbangan sendiri keluarga muslim berusaha untuk membeli sesuatu yang konsumtif tidak melalui utang, tetapi berusaha untuk menabung. Hal tersebut tercermin bahwa keluarga muslim bisa hemat. Hemat juga mengeluarkan sesuai dengan kebutuhan bukan keinginan. 

Kemudian tidak berlebihan juga berarti membeli sesuatu sesuai kebutuhan, sifatnya yang berbentuk keinginan diperbolehkan asalkan tidak terlalu sering karena jika sering lebih ke arah foya-foya dan mubadzir. Tidak berlebih-lebihan berarti juga sesuai dengan kondisi dan situasi seperti seseorang yang memiliki size yang lebih batas normal untuk membeli pakaian harus branded (terkesan mahal) namun tetap sesuai kebutuhan.
 
Tanggung jawab laki-laki sebagai suami salah satunya adalah mencari nafkah, mencari nafkah sendiri adalah suatu bentuk ikhtiar suami untuk menafkahi keluarganya dari istri, anak dan orang tuanya, dari situ bekerja sendiri adalah bentuk ibadah juga. Harta yang didapatkan oleh suami terdapat hak bagi istri, anak dan orang tuanya, maka setiap bulan suami wajib memberikan nafkah bagi mereka. Begitu juga dengan warisan, jika suami mendapatkan warisan di dalamnya terdapat hak bagi istri dan anak. 

Kalau pun istri bekerja, maka harta yang didapatkannya mutlak milik istri begitu juga warisan, suami tidak boleh mengambilnya. Harta tersebut boleh digabung dengan cara-cara yang baik seperti contoh dalam pembelian aset (rumah, mobil, motor dan lainnya) dan adanya komunikasi di antara suami dan istri. Hal seperti itulah bentuk penghormatan kepemilikan harta istri dalam Islam. Setiap suami dan istri memiliki hak masing-masing.Sebagaimana firman Allah Surat An-Nisa 32 dan 34. Wallahu A’lam

Oleh: Faris Shalahuddin Zakiy, SE., ME
(Anggota Tim Ahli IKPM Solo Raya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar