Breaking

Kamis, 04 Oktober 2018

Edisi ke 16 : Akhlaq Mukmin dan Tekad Perjuangan


 Sumber gambar www.google.com

Sebuah permata akan tetap menjadi permata meski ia masih dalam tanah. Seperti halnya mutiara yang tetap berharga walau ia jatuh di atas jalan. Antara keduanya diketahui harganya bagi mereka yang mengetahui. 

Begitu pula seorang muslim yang baik. Ia akan tetap selalu menjadi baik meski ia dalam kondisi buruk. Bahkan justru karena kondisi tersebut, bisa jadi seseorang yang baik tadi lebih terlihat kebaikannya, bagaikanmutiara di antarabebatuan.

Demikianlah gambaran seorang muslim. Garis tanggung jawab yang dianugerahkan kepada setiap individu dari umat ini adalah menjadi syuhada’ ‘alan nas, atau bukti nyata akan kemuliaan Islam. bertugas untuk menyeru kepada kebaikan dan memberikan peringatan kepada segenap manusia agar tidak terjerumus pada lubang kejahatan. 

Bila tanpa personalia yang unggul, maka tugas itu akan sangat berat dipikul, karena tanggung jawab moral dan sosial akan selalu membayangi dirinya ketika akan menasehati seseorang.

Itulah sebabnya Allah telah mengutus seorang Nabi yang sangat luar biasa untuk bisa dijadikan tauladan. Seorang manusia mulia yang pernah ada di kolong langit ini, sampai seorang Napoleon Bonaparte dengan jujur mengutarakan kegagumannya pada sosok beliau dengan menyatakan bahwa apa yang telah dilakukan Nabi Muhammad selama 23 tahun atau kurang dari satu generasi itu baru bisa dilakukan bangsa Perancis dalam jangka waktu 8 generasi atau 200 tahun.

Di awal kehidupannya, Nabi Muhammad, adalah seorang anak kecil yang memiliki sifat-sifat luhur. Menyenangkan bagi orang lain. Sopan dan pintar, dan lebih mengagumkannya lagi adalah kejujurannya. Karena sifat-sifat itulah, masyarakat Makkah suka sekali dengan dia, tiap kali bertemu mereka sering menyanjungnya. Sehingga Muhammad kecil banyak kawan meski beliau adalah seorang anak yatim piatu.

Fakta kebaikan itu tidak bisa dibantah oleh semua penduduk Makkah meski ketika dewasa Nabi Muhammad banyak mendapatkan permusuhan dari mereka. Tidak main-main, karena yang memusuhi beliau bukan hanya masyarakat biasa, melainkan para pemuka Makkah. Permusuhan itu tidak lain disebabkan karena ajakan Nabi Muhammad untuk menyembah Allah dan mentauhidkan-Nya, serta melarang mereka untuk kembali menyembah berhala.

Sontak cacian datang bertubi-tubi. Amarah para pemuka itu sampai pada tahap siksa badan. Tapi yang menarik adalah, dari mereka menyadari bahwa apa yang dilakukan para pemuka Makkah ini sangat aneh, karena setiap tuduhan yang dilayangkan kepada Nabi Muhammad sangat jauh dari fakta.

Adalah Nadhr Ibn Al Harits salah seorang pemuka Makkah waktu itu mengomentari tentang apa yang telah dilakukan rekan-rekannya terhadap Nabi Muhammad. Ia berkata, “Wahai penduduk Quraisy, telah datang pada kalian semua sebuah perkara yang mendatangkan kesulitan bagi kalian nanti.

Dulu kala kita dapati Muhammad adalah seorang anak kecil yang baik. Kalian ridho terhadap akhlaqnya, percaya terhadap setiap perkataannya, dan juga paling amanah diantara kalian. Tapi ketika ia telah dewasa, dan datang pada kalian dengan berita yang telah sampai pada kalian, kalian pun menuduhnya penyihir. 

Tidak dan demi Allah dia bukanlah penyihir. Telah kita ketahui sihir dan mantranya. Kemudian kalian tuduh ia seorang peramal, tidak dan demi Allah ia bukan peramal, kita tahu bagaimana peramal kerasukan dan membaca mantra. Kalian katakan ia seorang penyair. Tidak dan demi Allah ia bukanlah seorang penyair. 

Kita telah mengetahui segala jenis syair, dan apa yang dikatakannya itu adalah lebih indah dari apa yang pernah kita dengar. Lalu kalian katakan ia seorang yang gila. Tidak dan demi Allah ia tidak gila. Kita mengetahui orang gila dan ciri-ciri orang gila. Dan apa yang kita dapatkan pada Muhammad bukanlah ciri-ciri orang gila. Maka wahai penduduk Quraisy, perhatikanlah persoalan ini baik-baik, sesungguhnya persoalan ini bukanlah persoalan  yang  remeh”.

Tidak hanya itu. Bahkan seorang pembesar kerajaan adidaya waktu itu, yaitu Raja Heraklius pun mampu menyimpulkan kesalehan akhlaq Rasul. Kesimpulan itu ia dapatkan setelah berdiskusi dengan  Abu Sufyan karena surat dakwah yang dikirimkan Rasulullah ketika masa-masa perjanjian Hudaibiyah. 

Dari percakapan itu Heraklius menilai bahwa Muhammad bukanlah seseorang dengan motif kekuasaan dalam ajakannya. Karena Muhammad bukanlah keturunan bangsawan sebagaimana pemberontakan-pemberontakan yang ada dalam sejarah politik.

Begitulah seharusnya akhlaq seorang muslim. Akhlaq yang diakui kesalehannya oleh setiap orang meski bukan muslim. Hal ini karena Islam adalah rahmat bagi sekalian alam. Sebuah petunjuk bagi setiap manusia. Sehingga siapa pun yang menyadari kebenaran Islam akan dengan sendirinya mau memeluk Islam. Bukan karena paksaan.
 
Setiap muslim harus mampu menyatakan Islam dalam perbuatannya. Tugasnya sebagai penyeru dalam kebaikan dan pemberi peringatan akan sebuah kejahatan harus dilaksanakan dengan metode yang baik. Ketauladanan adalah hal yang paling penting bagi kondisi sosial. Tidak hanya member contoh melainkan juga menjadi contoh. 

Bagaimana bisa seorang muslim mengajak orang lain kepada kebaikan, ketika suatu waktu ada orang lain yang melihatnya dalam kemungkaran. Prinsip keimanannya tidak akan menggoyahkan keyakinannya akan sebuah kebenaran yang dibimbing oleh wahyu Ilahi. Seperti ketika Rasulullah ditawari segala gemerlap duniawi untuk meninggalkan misi kenabiannya.

Waktu itu Rasulullah yang masih tinggal dengan pamannya Abu Tholib didatangi para pembesar Quraisy. Mereka menawarkan segala hal dari kedudukan, harta, bahkan wanita kepada Nabi agar beliau mencukupkan aktivitas dakwahnya. Akan tetapi jawaban beliau tetap tidak. 

Sabdanya waktu itu dan disampaikan oleh pamannya kepada para pembesar Quraisy, “Wahai paman, meski pun mereka meletakkan matahari di kananku dan bulan di kiriku agar aku berhenti dari dakwah ini, pastilah tidak akan kulakukan. Hingga nanti Allah SWT menangkan dakwah ini atau aku mati bersamanya”.
 
Jawaban Rasulullah ini adalah jawaban yang menjadi cerminan ketulusan hati dan niat dari sebuah perjuangan demi agama Allah. 

Seperti jawaban-jawaban para Nabi sebelumnya dalam perjuangan dakwah. Nabi Luth pernah menyampaikan kepada para orang kafir dari kaumnya. Bahwa beliau tidaklah mengharapkan imbalan dari mereka, namun imbalan dari Allah lah yang menjadi tujuannya. 

Jawaban seperi ini tidak mungkin keluar dari mulut seseorang yang hatinya masih diselimuti kemunafikan. Karena kemunafikan hanyaakan memunculkan keraguan bila kesulitan datang mendera. Hatinya tidak yakin akan pertolongan Allah dan balasan kebaikan dari-Nya. 

Namun hati yang telah dihiasi oleh iman yang kuat akan mengokohkan niat dan pendiriannya. Ketika kemudahan dating sebagai buaian ia tidak akan terlena dengan gemerlap perhiasan. Ia akan tetap santun dan menjaga perilakunya karena dia tahu bahwa suatu waktu akan ada masa dimana ia akan terjerumus pada kehancuran bila ia hilang dari keimanannya. Seperti sebuah perahu yang besar yang akan hancur karena seekor rayap yang melubangi kapal sedikit-demi sedikit.

Santun dan ramah bukanlah berarti pasrah dan pasif. Selalu memendam emosi meski harga diri dihina. Islam tidak membenarkan sikap menyiksa diri. Berpuasa berhari-hari tanpa makan dan minum. Menyendiri dan menutup diri dari lingkungan. Kesabaran mutlak dan tidak boleh marah bila dihina. Apalagi bila Allah dan Nabi-Nya yang dihina. 

Ini bukan berari sebuah bentuk sikap kasar dan arogan. Melainkan loyalitas akan sebuah keimanan. Bukan juga berarti Allah membutuhkan pembelaan. Allah memang tidak membutuhkan pembelaan dari kita, akan tetapi sebagai umat-Nya ada kewajiban dalam menjaga kehormatan Rabbnya.
 
Demikianlah bagaimana seharusnya seorang muslim. Akhlaq mulia berdasarkan wahyu Allah adalah perhiasan bagi setiap manusia. Menjadi penenang dalam perjuangan dan kabar gembira bagi setiap insan yang mengabdikan dirinya di jalan Allah. 

Seperti wasiat Pangeran Diponegoro dalam perjuangan dakwah: “Hidup dan mati ada dalam genggaman Illahi. Takdir adalah kepastian, tapi hidup harus tetap berjalan. Proses kehidupan adalah hakikat, sementara hasil akhir hanyalah syariat. Gusti Allah akan menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya. Kalaupun harus menjumpai kematian, itu artinya mati syahid di jalan Tuhan”. 
Wallahua’lam bi ash showab 

Oleh: Fuad Muhammad Zein
(Anggota Tim Ahli IKPM Solo Raya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar