Breaking

Kamis, 18 Oktober 2018

Edisi ke 18 : Beberapa Kesalahan Kebanyakan Orang Dalam Memandang Politik Dalam Islam



sumber gambar www.google.com

Oleh: Farkhan Ageng, M. Pd. I
(Alumni PMDG, dan senior IKPM Surakarta asal Sragen)
Politik memang masih menjadi bahan diskusi yang menarik bagi sebagian banyak orang. Apalagi saat ini, dimana suhu politik nasional lagi gencar-gencarnya, setiap orang seakan menjadi ‘pakar’ dalam politik. 

Sebagai Negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia, Indonesia juga diwarnai oleh ragam pendapat dalam diskusi terkait dengan politik dan hubungannya dengan Islam. Sayangnya banyak yang tidak benar-benar memahami bagaimana politik Islam itu sendiri. 

Tuduhan bahwa politik Islam adalah bentuk tirani kekuasaan dengan pemaksaan dalam penerapan syari’ah, kemudian politik represif yang memaksa rakyat untuk tunduk pada satu bentuk kekuasaan dan menuntut ketaatan mutlak, hingga tuduhan akan adanya diskriminasi minoritas bila Indonesia menjadi Negara Islam seakan memperburuk citra Islam dalam politik nasional.

Mengutip nasihat dari Dr. Yusuf Qordhowi dalam bukunya Fiqhu ad Daulah, beliau menyampaikan bahwa setiap hukum adalah hasil dari proses penelaahan seseorang tentang ragam hal yang berkaitan dengan sebuah kasus. 

Jadi bila penetapan hukum atau tuduhan tidak berdasarkan pemahaman yang menyeluruh tentang sebuah kasus tersebut, maka akan terjadi kesalahan pendapat, bahkan hingga berujung pada fitnah.
Berikut beberapa hal yang perlu diketahui tentang beberapa kesalahan pendapat kebanyakan orang tentang politik Islam :

Pertama, yang paling banyak didapati adalah anggapan bahwa politik Islam yang sering diistilahkan dengan sistem khilafah tidak selaras dengan semangat demokrasi. Dari pemahaman tersebut, kemudian sistem parlementer yang khas dengan demokrasi pun hilang dan diganti dengan sistem monarki. 

Pandangan seperti ini muncul karena hanya merujuk pada bentuk Negara Arab Saudi dan menganggap itu sebagai representasi dari bentuk politik Islam. Sebenarnya, pertama yang harus dipahami bahwa politik dalam Islam masuk dalam kategori pembahasan fiqh, sehingga sifatnya ijtihad. 

Maka bentuknya bisa apa saja, yang perlu ditekankan adalah posisi syari’ah sebagai sumber konstitusi. Artinya bahwa apapun bentuk negaranya, pemerintah berkewajiban unutk tidak hanya memberlakukan hukum syari’at, namun juga menjadikannya sebagai dasar hukum yang menjiwai seluruh aktifitas politik maupun perundang-undangan.

Kedua, adanya ketakutan bila syari’ah diterapkan sebagai dasar perundang-undangan di Indonesia,maka akan bertentangan dengan perikemanusiaan, karena adanya hukum qisas. Sebenarnya bila mau tau dan bersedia untuk mempelajari Islam lebih dalam, akan memahami bahwa syari’ah tidak hanya sekedar qisas. 

Bahkan qisas seperti hukuman potong tangan bagi pencuri pun masih ada banyak ketentuan untuk bisa dilaksanakan. Selain itu, justru dengan syari’ah hak asasi manusia akan sangat terlindungi. Karena memang itulah tujuan syari’ah. Bukti dari fakta itu adalah adanya ajaran tentang maqashidu syari’ah atau tujuan diberlakukannya hukum syari’ah.

Syari’ah adalah sebuah ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala. Tujuannya adalah agar makhluk termasuk manusia menggunakan hukum tersebut dalam usahanya mencapai tujuan kehidupan. Jaminannya adalah kebahagiaan, dan tidak mungkin gagal dalam mencapai bila menggunakan hukum tersebut. 

Karena sebagai makhluk manusia tidak memahami betul ragam ketentuan yang memang telah diciptakan Allah sebagai pencipta. Sederhananya adalah manusia sebagai makhluk terikat dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Penciptanya.

Yang ketiga, banyak yang menangganggap bahwa konsep politik Islam dengan khilafah-nya akan melahirkan absolutisme dengan munculnya bentuk pemerintahan teokratis. Pemerintahan teokratis menekankan hak istimewa bagi para pemuka agama dalam memonopoli hukum dan perundang-undangan. Mereka tidak bisa disalahkan karena merupakan wakil Tuhan di dunia dan hanya mereka yang berhak menafsirkan hukum Tuhan. 

Pendapat ini adalah pendapat yang sangat keliru. Adanya sistem syuro dalam politik Islam menekankan proses saling tukar pendapat dan juga peran evaluasi aktif dari segenap masyarkat. Namun tentunya disertai dengan ilmu dan kepakaran dalam bidang-bidang tertentu. 

Seseorang bisa saja menyalahkan ulama bila memang pendapat ulama itu salah karena dinilai tidak sesuai dengan syari’ah dan ketentuan dalam suatu bidang tertentu. Seorang ulama fiqh memerlukan pakar teknologi untuk bisa menentukan fatwa dalam suatu terobosan teknologi. Tidak akan sah bila ia tidak berkolaborasi dengan pakar teknologi. 

Sebagaimana juga sebaliknya. Adanya aktifitas dua arah ini akan selain merupakan bentuk penghargaan atas hak politik tiap warganegara, juga mengembangkan keilmuan mereka karena tuntutan proses politik untuk selalu mengawasi jalannya perpolitikan.

Yang keempat adalah tuduhan politik Islam yang berbentuk kerajaan dengan raja sebagai pemimpinnya. Pengertian raja diidentikkan dengan kemewahan dan selir-selir yang akan lupa pada kesejahteraan rakyat kecil. Anggapan inilah yang pernah dikritik oleh Muhammad Natsir dalam Capita Selectanya bahwa pengertian seperti itu disebabkan karena memahami politik Islam warisan Penjajah yang memang dibentuk sedemikian rupa untuk memperburuk citra Islam. 

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bentuk Negara dalam politik Islam bisa apa saja dan pemimpinnya boleh siapa saja. Hanya saja memang harus paham tentang pentingnya Negara dan juga syari’ah sebagai sebuah sarana dari Allah untuk membawa manusia pada kesejahteraan yang hakiki.

Suksesi pemerintahan juga boleh dengan mekanisme yang beragam. Hanya saja persyaratan untuk menjadi penguasa harus detil dan terutama dalam aspek akhlaq dan keilmuannya. Logikanya adalah, bila menjadi guru SMP saja minimal harus S1, masak untuk jadi presiden boleh lulusan SMA. Memang pendidikan tidak menjadi jaminan keilmuan seseorang, namun secara positifistik, tingkat pendidikan adalah indikator utama untuk melihat keilmuan seseorang.
Kelima adalah adanya ketakutan tindak diskriminatif terhadap mereka yang non-muslim. Tuduhan ini hanyalah tuduhan dari para aktifis yang memang sengaja tidak menyukai Islam atau mengalami Islamopobhia atau semacam ketakutan terhadap Islam. Penggambaran Islam sebagai ajaran yang membolehkan tidak anarkis dan terorisme dijadikan fakta untuk mendukung tuduhan tersebut. 

Namun tuduhan itu salah dan tidak bisa dipercaya keakuratannya. Karena tidak semua tindak teroris adalah umat muslim, selain juga Islam tidak mengajarkan terorisme. Karena Nabi pernah menyampaikan dalam haditsnya bahwa barang siapa yang menyakiti seorang dzimmi atau non muslim yang hidup dalam pemerintahan Islam maka yang menyakiti tersebut adalah musuh nabi meski dia seorang muslim. 

Jadi tidak ada dan tidak akan pernah ada diskriminasi tersebut. Nyatanya sekian puluh tahun sejak Indonesia merdeka semua rakyat tenang dan damai melaksanakan rutinitasnya. Hanya beberapa waktu belakangan ini yang diresahkan karena banyaknya berita bohong, dan korban dari berita itu sehingga banyak yang dirugikan.

Inilah beberapa fakta kesalahan tentang politik Islam yang banyak menyebar di masyarkat. Namun dengan ini bisa menjadi tambahan wawasan masyarakat, dan menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan sikap terkait dengan hubungan Islam dengan politik. Wallahu a’lam bi ash showab


Tidak ada komentar:

Posting Komentar