Oleh: Fuad Muhammad Zein
Puasa Ramadhan yang disyari’atkan setahun sekali harus dipahami sebagai momentum evaluasi diri tahunan. Di bulan ini seseorang diarahkan untuk melihat lagi jauh ke dalam dirinya, mengevaluasi dirinya, menemukan segala kekhilafan yang telah ia perbuat sepanjang tahun untuk kemudian mengoptimalkan kesempatan bulan Ramadhan, agar terbakar kesalahan dan dosa itu semua dengan rahmat dan ampunan Allah subhanahu wa ta’ala.
Dengan demikian, tujuan puasa membentuk kepribadian manusia yang luhur tercapai. Kepribadian yang dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa orang yang menjalankan puasa dengan penuh keimanan dan pengharapan akan ridho Allah, akan diampuni segala dosanya dan dijadikannya bagaikan bayi yang baru lahir. (Hambal 1416/1995, 307)
Urgensi puasa Ramadhan sebagai momentum evaluasi diri memang selayaknya dilakukan. Terumata di zaman modern saat ini, yang dalam penjelasan Daniel Bell (seorang sosiolog Amerika), semakin membawa masyarakat pada situasi krisis spiritualitas. (Putro 2000, 54)
Gaya hidup masyarakat modern yang sangat materialistis mengikis kesadaran spiritual mereka dan melupakan system nilai yang justru menjadi pedoman dasar dalam kehidupan. Bila boleh diilustrasikan sejak awal era pencerahan, jargon “aku berfikir maka aku ada” telah bertransformasi berkali-kali sesuai dengan tren social yang sedang berlangsung di setiap zaman.
Jargon Descartes tadi telah berubah menjadi “aku berproduksi maka aku ada” bagi masyarakat industrialis, kemudian berubah lagi “aku berbelanja maka aku ada” bagi masyarakat konsumtif, dan mungkin saat ini berubah lagi menjadi “aku viral maka aku ada” bagi generasi sosmed.
Model masyarakat seperti ini dipandang sebagai masyarakat “robotic”. Mereka bisa melakukan banyak hal, pintar, canggih, namun tetap mesin yang tidak memiliki dimensi ruhani.
Mereka terpacu dengan gaya hidup yang serba cepat, dan didukung dengan canggihnya teknologi informasi, gaya hidup yang semakin tinggi, budaya konsumtif yang hampir tidak ada batasnya, dan akhirnya terbentuklah masyarakat yang hedonis, materialistis, dan seperti yang diistilahkan oleh Hodgson sebagai masyarakat mekanik yang tercipta oleh zaman teknik (technical age). (Hodgson 2000, 118)
Semuanya serba matematis, sehingga aspek spiritual manusia seringkali dilanda kemarau dan dahaga.
Kemarau spiritualitas ini kemudian menepikan peran Tuhan, dan sosok manusia mulai menjelma sebagai penentu kehidupan mereka sendiri.
Walhasil, relatifitas nilai terbentuk, dan karenanya segala bentuk kerusakan terjadi, disebabkan karena pertikaian nilai yang tiada henti. Kemanusiaan kehilangan orientasi, karena masing-masing mengartikannya secara individualis.
Maka sekiranya masyarakat mulai merenungkan kembali dirinya untuk menemukan fitrahnya sebagai manusia agar kemanusiaan yang telah tercipta sejak awal kejadiannya kembali menemukan bentuk aslinya.
Puasa sebagai Proses Penempaan Diri
Bisa dikatakan bahwa puasa adalah sunnah thobi’iyyah atau suatu amalan yang hampir semua makhluk melakukan, tidak hanya manusia. Ulat menjalani puasa dalam bentuk kempompong selama 12 hari agar bisa menjadi kupu-kupu.
Demi menetaskan telurnya, ayam betina berpuasa selama 13 hari agar tubuhnya tetap hangat sehingga suhu telurnya bisa terjaga. Bahkan pohon jati berpuasa dengan merontokkan daunnya agar mendapatkan struktur fisik yang lebih baik dari lebat dan hijaunya daun, dan itu sangat berguna untuk menghadapi musim berikutnya.
Hewan dan tumbuhan tersebut secara alami melakukan puasa sebagai satu tahap proses kehidupan yang harus dijalani demi menuju kesempurnaan diri.
Dalam novelnya yang berjudul “The Brother Karamazov”, seorang novelis Rusia bernama Fyodor Dostoevsky menyindir religiousitas masyarakat modern bahwa, kehidupan religious yang telah diremehkan banyak masyarakat, justru mendatangkan kemerdekaan dan kebahagiaan sejati. Kemerdekaan dan kebahagiaan itu didapat ketika hubungan makhluk dan Tuhannya terjalin dengan baik melalui ibadah yang ia lakukan. (Dostoevsky 1996, 351).
Fyodor memotret kehidupan masyarakat modern yang penuh dengan tekanan akan tuntutan-tuntutan palasu modernitas hingga hilang kemanusiaannya dan kemerdekaannya. Sampai ia melihat pada kehidupan biarawan yang justru damai dan merdeka.
Keintiman hubungan antara hamba dengan Allah pun terjadi di dalam puasa. Dalam hadits qudsi yang diriwayatkan Imam Bukhori bahwa kedudukan puasa di sisi Allah sangat special karena merupakan ibadah yang langsung berhubungan dengan-Nya. (Bukhory 1422, 3/26, hadits no. 1904)
Pengkhususan puasa ini, menurut Ibn Hajar, dikarenakan dua hal. Pertama karena ibadah puasa sangat mungkin tidak tercampur riya’, dan yang kedua adalah bahwa besaran pahala dalam puasa hanya Allah yang tau.
Berbeda dengan ibadah yang lain, di mana hampir semua ibadah bersifat social dan terlihat. Pahalanya pun diriwayatkan antara 10 sampai 700. Namun berbeda dengan puasa, di mana segala halnya secara khusus langsung Allah yang menilai.
Makna puasa yang berarti menahan mengandung pengertian bahwa esensi dari ibadah ini adalah menahan segala keinginan diri dari yang halal sampai yang haram. Karena yang halal pun bisa berpotensi menjadi haram bila ia berlebihan.
Tentang masalah ini, Imam Fakhruddin Ar Razi menjelaskan bahwa puasa berfungsi mematahkan dua syahwat sekaligus, yaitu syahwat perut dan syahwat kemaluan. (Razi 1426/2005, 68)
Pengendalian itu sekali lagi dalam rangka membersihkan diri dari hal-hal yang tidak diperlukan, dari hal-hal buruk yang bisa disebabkan oleh syahwat, sehingga diri bisa bersih dan suci kembali.
Hakikat Ketaqwaan bagi Kemanusiaan yang Beradab
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa tujuan puasa adalah terbentuknya sosok manusia yang bertaqwa. Ketaqwaan memiliki pengertian khasyyah atau rasa takut. Takut akan dosa, dan karena itu ia menjaga diri dan memelihara diri dari segala larangan bahkan segala hal yang berpotensi membawa dirinya menuju keharaman.
Artinya, bahwa ketaqwaan tidak berarti kebebasan tanpa batas. Kebebasan dalam ketaqwaan memiliki pondasi keimanan pada Allah. Selama tidak menyalahi perintah Allah seseorang bebas dalam berperilaku,
Pengertian ini tidak akan tercapai kecuali ada kesadaran bahwa ia adalah hamba yang memilki Tuhan dan ia terikat oleh ketentuan-Nya. Rasa takut ini sangat penting karena dengannya seseorang akan memuliakan kedudukan-Nya, selalu waspada akan dirinya dari dosa, dan yang lebih penting adalah sarana untuk menumbuhkan cinta kepada-Nya.
Pengakuan akan keberadaan Allah akan membentuk sebuah system nilai yang mengikat seseorang dalam berperilaku dan ia pun secara sukarela akan patuh. Tidak hanya nilai yang berdimensi duniawi, namun sampai ukhrowi.
Setiap akibat dari perilaku sampai pada pikiran tidak hanya berdampak di dunia, namun sampai pada kehidupannya di akhirat. Dengan begitu ia akan sangat berhati-hati agar perilaku, pikran dan perkataannya tidak membawa akibat yang buruk baginya di akhirat kelak.
Keimanan yang menjadi dasar ketaqwaan akan memunculkan rasa damai dalam hidup seseorang. Keimanan berpengaruh pada kepercayaan dan ketundukan pada apa yang telah ditetapkan oleh Allah.
Namun kepercayaan tersebut bukan tanpa upaya dan usaha, melainkan sikap tawakal setelah berusaha. Maka keimanan harus selalu didasarkan pada ilmu. Sebagaimana ayat kedua surat Al Baqarah yang juga berisi tentang ketaqwaan, bahwa ciri orang yang bertaqwa adalah mendapatkan pentunjuk (hudan lil muttaqin).
Artinya, orang-orang yang bertaqwa tersebut merupakan sosok yang berilmu dan termasuk orang-orang yang terpilih. Karena urusan petunjuk adalah hak Allah semata, sebagaimana yang Allah jelaskan dalam surat Al Qashshash ayat 56.
Ketaqwaan juga merupakan sosok pribadi yang tidak hanya baik secara individual, melainkan juga baik secara social.
Disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 133-135, bahwa orang yang bertaqwa memiliki ciri-ciri kedermawanan yang tinggi dan tidak terpaku pada situasi, pemaaf, gemar berbuat kebajikan, adil dan menjaga diri dari aniaya, entah pada dirinya apalagi kepada orang lain, dan bila ia berbuat aniaya dan kemudian sadar, ia bergegas untuk meminta ampunan kepada Allah dan tidak mengulanginya lagi.
Sosok kepribadian taqwa ini tidak bisa dicapai ketika hati seseorang masih meninggi. Meninggi karena menganggap dirinya bisa melakukan segala hal, sampai melupakan Allah sebagai Sang Pencipta.
Kondisi diri seperti ini yang menyebabkan krisis spiritual dan melahirkan ketidak adilan di mana-mana. Pada krisis ini manusia justru digiring pada kerusakan yang disebabkan oleh dirinya tanpa sadar.
Maka dari itu puasa menawarkan kondisi dan situasi serta amalan yang sangat pas kepada manusia untuk bisa melihat jauh ke dalam dirinya dan mengevaluasinya agar ia bisa memperbaiki dirinya dan menjadi pribadi yang bertaqwa.
Wallahu a’lam bi ashshowab.
merit casino【Malaysia】features
BalasHapusmerit casino【WG98.vip】⚡,features,mercari,sport bets【Malaysia】top online merit casino,mercari 바카라 sports betting app,best live dealer 제왕카지노 casino 메리트 카지노 주소