Oleh: Fuad Muhammad Zein
(IKPM Gontor Cab. Solo Raya)
Sudah umum diketahui bahwa bulan Ramadhan
adalah bulan yang mulia. Kemuliaan bulan ini berdasarkan banyak sumber,
terutama dari Al Qur’an maupun Hadits Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallam. Seperti yang disebutkan dalam Q.S. Al Baqarah ayat 185 yang dengan
jelas menyebutkan bahwa bulan ini adalah bulan diturunkannya Al Qur’an, dan
karena hal tersebut diperintahkan untuk berpuasa. Hasilnya bulan Ramadhan pun
identic dengan ibadah puasa Ramadhan. Keidentikan ini ternyata memang
dibenarkan oleh Rasul, ketika beliau menggambarkan bagaimana istimewanya bulan
Ramadhan yang memang dikhususkan untuk beribadah secara maksimal. Dalam penjelasannya,
Rasulullah menggambarkan bahwa di bulan ini semua pintu surga dibuka, semua
pintu neraka ditutup, semua jin dan syaithan serta iblis dibelenggu, dan
kemudian Allah memanggil para ahli ibadah untuk dipersilahkan dalam
memperbanyak amal ibadahnya, sedangkan memanggil para ahli keburukan untuk
berhenti dan mencukupkan perbuatannya agar ia sejenak bisa merasakan manisnya
ibadah. Bisa jadi karena kondisi inilah ibadah dan berpuasa di bulan Ramadhan
relative cenderung lebih mudah dibandingkan dengan bulan lainnya, dan
menjadikan bulan ini sebagai bulan yang istimewa.
Keistimewaan bulan Ramadhan tidak hanya
pada aspek luarannya saja, yaitu tentang bulan tersebut, melainkan
keistimewaanya juga berdampak pada pelaku ibadah selama bulan ini. Tentu dampak
tersebut tergantung sejauh mana mereka memaknai bulan ini dan memanfaatkan
bulan ini sehingga ketika sampai pada penghujung bulan ini, mereka bisa dengan
sadar merasakan adanya perubahan pada diri mereka menjadi yang lebih baik.
Paling tidak ada 3 hal yang bisa dijadikan bahan pelajaran yang penting dari
kesitimewaan bulan Ramadhan dalam rangka membentuk diri ini menjadi pribadi
yang lebih baik selepas bulan ini, dan lebih meningkatkan diri lagi ketika
bertemua kembali dengan bulan Ramadhan di tahun berikutnya. 3 hal tersebut
adalah ibadah puasa, Al Qur’an dan malam Lailatul Qadar.
Puasa: Menahan diri untuk mengembangkan
diri
Seorang filosof Bernama Socrates pernah
mengatakan, “The Secret of happiness, you see, is not found in seeking more,
but in developing the capacity to enjoy less”. Nasihat Socrates ini
mengingatkan kepada manusia agar ia bisa kembali mengingat kondisi awalnya agar
sadar bahwa segala kepemilikan yang dimiliki terkadang justru membawa pada
kesengsaraan. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah
memperingatkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa
jangan seseorang berputus asa dari rahmat dan karunia Allah sementara setiap
dari manusia lahir dalam keadaan bayi merah tanpa memiliki apapun, lantas
kemudian Allah memberinya karunia dan banyak hal. Artinya bahwa kondisi asli
manusia adalah tidak memiliki apa-apa sehingga Allah memberinya kemampuan untuk
memiliki banyak hal. Maka dari itu janganlah muncul dalam diri sifat tamak,
kikir, serakah lagi sombong karena sejatinya setiap orang tidak memiliki
apapun. Sehingga dengan demikian, kesederhanaan dan kemampuan untuk mensyukuri
apa yang ada adalah bentuk kebahagiaan sejati.
Allah mengistimewakan ibadah puasa karena ibadah
ini mampu melatih manusia untuk memiliki kembali sifat syukur dan sederhana
ini. Allah sangat menyukai orang yang puasa dikarenakan mereka mengerjakan
puasa karena Allah. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhori, Allah memuji
orang-orang yang berpuasa karena kesadaran akan keimanan yang menjadikan mereka
meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena Allah. Maka dari itu, tidak
salah bila Q. S. Al Baqarah ayat 183 dengan jelas menyebutkan orang beriman
sebagai predikat orang yang mendapatkan perintah tersebut. Ayat itu bisa
dimaknai demikian, yaitu perintah tersebut dibebankan kepada orang yang beriman
atau bisa pula bahwa puasa diperintahkan agar orang bisa masuk dalam ruang
keimanan dalam rangka menyempurnakan diri menjadi orang yang bertaqwa.
Aspek normatif inilah yang bisa menjadi
pelajaran pertama dari puasa Ramadhan bahwa puasa menjadi momentum bagi
seseorang dalam melatih dan mendidik dirinya untuk menjadi seseorang yang
berkarakter kuat. Friedrich Wilhelm Foerster menjelaskan bahwa ada 4 hal yang
menjadi pilar dalam Pendidikan karakter yang kesemuanya berangkat dari nilai
normative. Pertama adalah internalisasi nilai-nilai yang tersusun secara
hierarkis. Hal ini sangat jelas ditemukan dalam dalil ayat puasa Ramadhan,
yaitu dari keimanan menuju ketaqwaan. Kedua, penjelasan dan penyelarasan antara
nilai dan Tindakan. Bahwa dalam puasa, esensi puasa perlu dipahami dengan
jelas, seperi sabda Rasul yang menjelaskan bahwa puasa harus dilaksanakan
dengan penuh keimanan dan muhasabah, dan puasa seseorang yang tidak bisa
menjaga lisan, pikiran dan perbuatannya dari hal-hal yang sia-sia maka ia hanya
mendapatkan lapar dan dahaga saja. Ketiga, internalisasi fenomena dan aturan
dari luar diri untuk disesuaikan dengan nilai-nilai yang diyakini sehingga
menjadi dasar seseorang dalam menentukan sikap dan keputusan. Sebagaimana
hadits Nabi yang mengajarkan bahwa bila ada orang yang mengganggu keikhlasan
seseorang yang sedang berpuasa, hendaklah orang yang berpuasa itu mengatakan
“aku sedang berpuasa” dan menghiraukannya. Keempat, keteguhan dan kesetiaan
yang memantapkan posisi nilai-nilai normative tadi menjadi karakter yang
menghasilkan ketahanan diri dari segala macam perubahan social. Kematangan
terhadap keempat hal ini akan membentuk persona diri seseorang yang unik dan kharisma
tertentu dan persona itu akan memunculkan wibawa dari orang lain.
Puasa melatih seseorang untuk bersikap
sederhana. Menahan diri dari segala dorongan syahwat akan keinginan duniawi,
dan memaksa untuk lebih melihat ke dalam diri dalam bentuk instrospeksi diri. Seperti
yang telah disebutkan, dalam haditsnya Rasulullah menyabdakan bahwa barangsiapa
yang mengerjakan puasa dengan penuh keimanan dan muhasabah (ihtisaban),
maka akan diampuni dosa-dosanya. Proses muhasabah atau instropeksi diri ini
tidak bisa dilakukan bila seseorang masih disibukkan dengan keinginan-keinginan
syahwat dunia. Keinginan syahwat inilah yang biasanya ditunggangi oleh syaithan
untuk memainkan perannya dalam menjerumuskan manusia dalam kerugian. Akan
tetapi puasa menghalangi syahwat tersebut, karena seperti dalam penjelasan Imam
Al Ghazali, bahwa syahwat seringkali mengalir seiring dengan makanan dan
minuman. Sedangkan puasa menahan keinginan untuk makan dan minum, dan dengan
demikian dorongan syahwat akan berkurang. Lebih lagi dalam hadits lain,
Rasulullah menjelaskan bahwa syaithan biasanya bersemayam dalam aliran darah
manusia, dan dengan puasa, aliran darah itu bisa terkendalikan dengan baik,
seingga syaithan pun tidak bisa leluasa menggoda manusia sebagai mana mereka
berbuat kepada orang yang tidak berpuasa. Begitulah bagaimana puasa mengajari
manusia untuk kembali pada fitrahnya. Fitrah suci diri yang mementingkan
dimensi ruhani dari pada materi, sehingga bisa memahami kebahagiaan dengan
pemaknaan yang lebih baik dan mensyukurinya sebagai bagian dari bentuk penghambaan
yang mutlak.
Al Qur’an; Pedoman Hidup yang mengobati
dahaga jiwa
Awal surat Al Baqarah Allah dengan tegas
menyebutkan bahwa Al Qur’an adalah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya.
Artinya bahwa Allah menjamin bahwa isi Al Qur’an terbebas dari kesalahan. Oleh
karena itulah Al Qur’an layak untuk menjadi pedoman dan pentujuk bagi sekalian
manusia. Sebagai sebuah pentunjuk, tentu Al Qur’an mesti bisa dipahami oleh
semua lapisan manusia. Artinya fungsi pentunjuk itu harus bisa dialami oleh
semua orang, entah dari mereka yang awam, intelektual, ulama, maupun sufi.
Bahkan bagi mereka yang bukan Islam pun juga mesti bisa memahami Al Qur’an
karena bagaimana mungkin Al Qur’an bisa dikatakan sebagai pentunjuk sementara
yang seharusnya membutuhkan pentunjuk justru tidak bisa memahami. Sementara Al
Qur’an turun di kondisi masyarkat yang belum Islam. Al Qur’an hanya bisa
ditolak, akan tetapi tidak bisa diingkari kebenarannya. Seperti dalam sebuah
kisah yang dialami oleh Walid ibn Mughiroh, seorang pemuka kota Makkah dan ahli
syair yang mengakui keunggulan dan keindahan kata-kata dalam Al Qur’an, meski
tidak membawanya pada keimanan. Inilah kenapa Al Qur’an menyebut mereka ini
sebagai orang kafir, yaitu orang yang sejatinya mengakui kebenaran Al Qur’an,
akan tetapi menolaknya dan menyembunyikan kebenaran Al Qur’an dari orang lain.
Sebagai petunjuk, Al Qur’an pun memastikan
bahwa isi kandungannya penuh dengan pengetahuan. Karena petunjuk berarti
tuntunan, dan setiap tuntunan mesti mengandung pengetahuan. Maka tidak heran
bila kandungan Al Qur’an juga berisi ragama ilmu pengetahuan. Hal ini bisa
dilihat dari kisah umat Islam awal yang hanya memiliki Al Qur’an sebagai
pedoman hidup mereka. Sebagaimana diketahui bahwa masyarkat muslim di Makkah
adalah masyarakat yang terisolir dari segia geografis maupun politis. Terletak
di tengah padang pasir yang tandus, dan dikelilingi dua imperium dengan
kekaisaran besar dunia, yaitu Romawi dan Persia. Selain itu, secara sosiologis,
masyarakat Makkah didominasi oleh masyarkat yang buta huruf, termasuk
Rasulullah sendiri adalah pribadi yang tidak bisa membaca dan menulis. Akan
tetapi setelah turunnya Al Qur’an, kondisi mereka berubah total. Peradaban
Islam yang dimulai dari Makkah dengan pesat meluas hingga menaklukkan dua
kekaisaran dunia tadi yang memiliki rekam sejarah yang panjang. Wilayahnya pun
meluas hingga ke seluruh semenanjung Arabia yang kemudian setelah Nabi wafat
perluasan itu semakin jauh melewati batas daratan dan lautan. Belum lagi
kemudian pengetahuan-pengetahuan modern yang barus diketahui hari ini, namun
telah tertulis 14 abad yang lalu.
Sayyid Quthb pernah menjelaskan dalam
bukunya Ma’alim fi Ath Thariq tentang bagaimana Al Qur’an mengembangkan
masyarakat Islam awal di Makkah. Katanya Generasi Islam awal, menjadikan Al
Qur’an dan Hadits sebagai satu-satunya pedoman hidup dan berpengetahuan, meski
dikelilingi dua peradaban besar, Romawi dan Persia, mereka tetap yakin dan
semakin mendalami Al Qur’an dalam pembelajaran. Hingga akhirnya muncul ragam
pengetahuan Islam awal yang pada saatnya nanti menjadi pondasi utama dalam
pengetahuan Islam; Aqidah, Fiqh, Tasawuf, Tafsir, Hadits. Selain itu ada
seorang pendeta Kristen Amerika yang termotivasi untuk mencari kesalahan Al
Qur’an demi mempermalukan Islam dari sumbernya, namun justru ia tertarik dan
akhirnya masuk Islam. Ia adalah Dr. Gary Miller yang menuliskan kekagumannya
terhadap Al Qur’an dalam bukunya The
Amazing of Qur’an, bahwa, “Al-Quran dengan ayat-ayat yang sangat lugas
mengajak manusia untuk berpikir. Di dunia ini, tak ada seorang penulis pun yang
menulis sebuah buku, kemudian dengan penuh keyakinan meminta semua pihak untuk
membuktikan kesalahan-kesalahannya”.
Kepastian dan kandungan ilmu pengetahuan dalam Al Qur’an ini yang
menjadikan Al Qur’an bagai hujan yang menyegarkan gersangnya jiwa. Pasalnya,
pengetahuan yang dihadirkan Al Qur’an tidak sekedar pengetahuan saintifik yang
kering, melainkan pengetahuan Ilahi yang menghadirkan ketenangan pada jiwa. Ibn
Katsir menjelaskan tafsir surat Al Isra’ ayat 82, bahwa Al Qur’an diturunkan
untuk memberikan penyembuhan terhadap penyakit-penyakit hati seperti keraguan,
kemunafikan, kemusyrikan, dan penyimpangan dari perkara yang haq. Selain itu Al
Qur’an juga menyembutkan segala penyakit yang disebabkan karena kejahiliyahan
atau kebodohan serta kedzaliman. Setelah itu, jiwa-jiwa yang sembuh akan
mendapatkan rahmat dari Allah yang akan mengantarkan mereka pada manisnya
keimanan serta ketenangan hati. Mengenai hal ini Sunan Bonang sampai
menyebutkan dengan jelas dalam lagunya yang berjudul obat hati, bahwa obat hati
yang pertama adalah membaca Al Qur’an sekalian maknanya.
Artinya, dengan Al Qur’an, Allah memberikan fasilitas kepada
orang-orang yang beriman untuk melatih diri secara teoritis, tidak hanya
praktis. Selama berpuasa, mereka tidak hanya menjalani praktik ibadah puasa,
melainkan juga mendalami keimanan tersebut secara praktis dengan membaca Al
Qur’an. Selain menambah pahala, Al Qur’an akan memberikan ketenangan jiwa yang
ditimbulkan dari bertambahnya pemahaman dan akan sangat berdampak pada
meningkatnya iman menuju ketaqwaan. Sebagaimana garansi Allah di awal surat Al
Baqarah, bahwa kitab yang tiada keraguan itu adalah petunjuk bagi orang-orang
yang bertaqwa.
Lailatul Qadar; Muhasabah diri untu mengetahui posisi diri
Bulan Ramadhan tidak mungkin bisa dipisahkan dari kemuliaan malam
Lailatul Qadar. Dalam surat Al Qadar Allah telah menjelaskan dengan gamblang
bahwa malam tersebut merupakan malam diturunkannya Al Qur’an. Selain itu, malam
Lailatul Qadar adalah malam yang lebih mulia daripada seribu bulan. Kemuliaan
mala mini pun digambarkan dengan apik oleh surat Al Qadar dengan turunnya para
malaikat termasuk Malaikat Jibril untuk megantarkan rahmat dan keberkahan dari
Allah kepada orang-orang mukmin yang beribadah dan lagi menuntut ilmu. Surat
itu ditutup dengan penegasan bahwa orang-orang yang mendapatkan kemuliaan malam
Lailatul Qadar akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan hingga terbitnya
fajar.
Terkait kapan waktu dari malam Lailatul Qadar sendiri tidak ada
yang pasti merujuk pada satu malam tertentu. Namun justru disitulah istimewanya
malam ini, karena hanya dengan keimanan lah, malam itu bisa didapat. Maksudnya
adalah, bagi orang yang beriman, ibadah adalah esensi utamanya, sedangkan kapan
waktunya tidak lagi menjadi penting bagi mereka. Namun bagi orang yang terpaku
pada waktu, maka ia akan sibuk mengamati dan menandai waktu dan justru lalai
pada ibadah yang seharusnya lebih diutamakan karena menjadi syarat mutlak untuk
mendapatkan kemuliaan malam ini. Ada beberapa riwayat di mana Rasulullah
seakan-akan mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu berada di 10 malam
ganjil terakhir di bulan Ramadhan. Seperti dalam hadis Imam Bukhari carilah
malam Lailatul Qadar di 10 malam terakhir di malam ganjil terakhir di bulan
Ramadhan. Pada hadits yang lain di hadits riwayat Imam Bukhari yang lain bahkan
lebih spesifik Rasulullah mengisyaratkan di malam 29 atau di malam 27 atau di malam 25, tapi
sebenarnya esensinya lagi-lagi bukan tentang kapan tanggal spesifiknya melainkan
keimanan yang mendorong seseorang untuk menyempatkan diri di 10 malam terakhir,
paling tidak, dari sekian hari dan sekian malam yang kita miliki dalam satu
tahun dan juga sekian malam dan sekian hari yang kita miliki sepanjang hidup
kita, untuk khusus fokus bertafakur memperbanyak ibadah yang mana kita berusaha
untuk menjalin sebuah komunikasi dan hubungan yang sangat pribadi antara kita
dengan Allah subhanahu wa ta'ala. Hal ini merupakan lanjutan dari rangkaian
ideal dalam ibadah puasa Ramadhan.
Yang menarik kemudian adalah tentang waktu yang disebutkan dan
menjadi nama adalah waktu malam. Pertanyaannya kemudian adalah kenapa malam?
Selain itu banyak ditemukan juga di banyak ayat Al Quran yang mengatakan atau
yang berisi tentang ibadah-ibadah di malam hari. Ada keutamaan ibadah di malam
hari, yang mana dalam penjelasannya secara Ramadhan Al Buthy, bahwa beribadah
di malam hari bisa memfokuskan manusia untuk khusyuk dan fokus beribadah kepada
Allah serta menjalin hubungannya hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Karena kalau di siang hari seringkali ada gangguan dari urusan-urusan duniawi.
Selain itu pertemuan dengan orang banyak akan menghasilkan pikiran-pikiran yang
beragam pula, yang itu bisa menghadirkan gangguan dalam beribadah beribadah. Sedangkan
ibadah pada malam Lailatul Qadar ini dilaksanakan sejak terbenamnya matahari
hingga terbitnya fajar di sholat subuh.
Ibadah apa saja yang bisa dilakukan untuk menyemarakkan atau yang
bisa dijalankan sebagai sarana dalam memenuhi malam Lailatul Qadar. Paling
tidak ada 6 ibadah kongkret yang bisa dilakukan, pertama, tentu sholat karena satu ibadah yang
paling utama adalah sholat. Kedua, adalah membaca Al Qur’an karena memang Al Qur’an
turun di bulan ini sehingga membacanya akan menambah kemuliaan malam tersebut,
lebih lagi bila tidak hanya dibaca melainkan ditadabburi. Ketiga, adalah berdzikir
kepada Allah, sehingga menenangkan jiwa dan mendekatkan diri untuk lebih
memperkenalkan diri kita kepada Allah subanahu wa ta’ala. Keempat
adalah beristighfar satu hal yang bisa jadi sering dilupakan dengan kelapangan
dan kemudahan urusan yang dimiliki. Kelima, adalah berdoa. Allah sangat
menyukai orang yang berdo’an, bahkan dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa
Allah sangat suka mendengarkan keluhan dan do’a-do’a hamba-Nya yang ditujukan
kepada-Nya. Apalagi Allah menjamin dikabulkannya do’a seperti yang Allah
firmankan dalam Q. S Al Baqarah ayat 186. maka memperbanyak do’a adalah amalan yang harus dilakukan pada mala
mini. Do’a yang dipanjatkan pun harus didasarkan pada keimanan dan keikhlasan
sehingga bisa mendo’akan bagi diri sendiri, keluarga, kolega, bangsa dan untuk
umat Islam pada umumnya. Keenam adalah bersedekah, sebagai bukti nyata
munculnya keimanan dalam diri. Karena salah satu tanda orang yang beriman dan
bertaqwa, atau juga mereka yang ingin sampai pada derajat iman dan taqwa,
adalah mengerjakan sholat serta senantiasa menginfakkan sebagian hartanya untuk
Allah.
Setidaknya 3 kemuliaan inilah yang bisa diambil dari bulan
Ramadhan. 3 kemuliaan yang hanya terangkum dalam 30 hari di satu bulan dari 12
bulan lainnya dalam satu tahun. Tidak mungkin untuk disia-siakan saja, terutama
bagi orang yang merindukan ridho Tuhannya. Keimanannya menyadarkan dirinya akan
dosa dan kekurangannya. Oleh sebab itu Rasulullah menekankan muhasabah diri
selama bulan ini agar seseorang bisa sampai pada musyahadah dirinya yang
nantinya akan mengatarkan pada musyahadah Rabbnya. Sehingga dengan
demikian, muhasabah menjadi kata kunci yang harus selalu ada pada ibadah di 3
kemuliaan bulan Ramadhan tadi. seperti yang disampaikan dalam Al Hikam, Ibnu
‘Athaillah menyampaikan pada hikmah ke-12, bahwa tidak ada yang lebih
bermanfaat untuk kalbu kecuali beruzlah dan kemudian bertafakur tentang diri
sendiri. Dengan demikian qolbu menjadi tenang, pikiran menjadi jernih, dan
hidup terasa menjadi lebih ringan karena adanya hubungan diri dan jiwa kepada
Allah, dan dengannya jiwa seakan-akan kembali kepada Fitrahnya. Wallahu
a’lam bi ash showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar