Breaking

Rabu, 19 April 2023

Edisi 56 : Belajar Dari 3 Kemuliaan Bulan Ramadhan

 

Oleh: Fuad Muhammad Zein

(IKPM Gontor Cab. Solo Raya)

Sudah umum diketahui bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia. Kemuliaan bulan ini berdasarkan banyak sumber, terutama dari Al Qur’an maupun Hadits Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti yang disebutkan dalam Q.S. Al Baqarah ayat 185 yang dengan jelas menyebutkan bahwa bulan ini adalah bulan diturunkannya Al Qur’an, dan karena hal tersebut diperintahkan untuk berpuasa. Hasilnya bulan Ramadhan pun identic dengan ibadah puasa Ramadhan. Keidentikan ini ternyata memang dibenarkan oleh Rasul, ketika beliau menggambarkan bagaimana istimewanya bulan Ramadhan yang memang dikhususkan untuk beribadah secara maksimal. Dalam penjelasannya, Rasulullah menggambarkan bahwa di bulan ini semua pintu surga dibuka, semua pintu neraka ditutup, semua jin dan syaithan serta iblis dibelenggu, dan kemudian Allah memanggil para ahli ibadah untuk dipersilahkan dalam memperbanyak amal ibadahnya, sedangkan memanggil para ahli keburukan untuk berhenti dan mencukupkan perbuatannya agar ia sejenak bisa merasakan manisnya ibadah. Bisa jadi karena kondisi inilah ibadah dan berpuasa di bulan Ramadhan relative cenderung lebih mudah dibandingkan dengan bulan lainnya, dan menjadikan bulan ini sebagai bulan yang istimewa.

Keistimewaan bulan Ramadhan tidak hanya pada aspek luarannya saja, yaitu tentang bulan tersebut, melainkan keistimewaanya juga berdampak pada pelaku ibadah selama bulan ini. Tentu dampak tersebut tergantung sejauh mana mereka memaknai bulan ini dan memanfaatkan bulan ini sehingga ketika sampai pada penghujung bulan ini, mereka bisa dengan sadar merasakan adanya perubahan pada diri mereka menjadi yang lebih baik. Paling tidak ada 3 hal yang bisa dijadikan bahan pelajaran yang penting dari kesitimewaan bulan Ramadhan dalam rangka membentuk diri ini menjadi pribadi yang lebih baik selepas bulan ini, dan lebih meningkatkan diri lagi ketika bertemua kembali dengan bulan Ramadhan di tahun berikutnya. 3 hal tersebut adalah ibadah puasa, Al Qur’an dan malam Lailatul Qadar.

Puasa: Menahan diri untuk mengembangkan diri

Seorang filosof Bernama Socrates pernah mengatakan, “The Secret of happiness, you see, is not found in seeking more, but in developing the capacity to enjoy less”. Nasihat Socrates ini mengingatkan kepada manusia agar ia bisa kembali mengingat kondisi awalnya agar sadar bahwa segala kepemilikan yang dimiliki terkadang justru membawa pada kesengsaraan. Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah memperingatkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa jangan seseorang berputus asa dari rahmat dan karunia Allah sementara setiap dari manusia lahir dalam keadaan bayi merah tanpa memiliki apapun, lantas kemudian Allah memberinya karunia dan banyak hal. Artinya bahwa kondisi asli manusia adalah tidak memiliki apa-apa sehingga Allah memberinya kemampuan untuk memiliki banyak hal. Maka dari itu janganlah muncul dalam diri sifat tamak, kikir, serakah lagi sombong karena sejatinya setiap orang tidak memiliki apapun. Sehingga dengan demikian, kesederhanaan dan kemampuan untuk mensyukuri apa yang ada adalah bentuk kebahagiaan sejati.

Allah mengistimewakan ibadah puasa karena ibadah ini mampu melatih manusia untuk memiliki kembali sifat syukur dan sederhana ini. Allah sangat menyukai orang yang puasa dikarenakan mereka mengerjakan puasa karena Allah. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhori, Allah memuji orang-orang yang berpuasa karena kesadaran akan keimanan yang menjadikan mereka meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena Allah. Maka dari itu, tidak salah bila Q. S. Al Baqarah ayat 183 dengan jelas menyebutkan orang beriman sebagai predikat orang yang mendapatkan perintah tersebut. Ayat itu bisa dimaknai demikian, yaitu perintah tersebut dibebankan kepada orang yang beriman atau bisa pula bahwa puasa diperintahkan agar orang bisa masuk dalam ruang keimanan dalam rangka menyempurnakan diri menjadi orang yang bertaqwa.

Aspek normatif inilah yang bisa menjadi pelajaran pertama dari puasa Ramadhan bahwa puasa menjadi momentum bagi seseorang dalam melatih dan mendidik dirinya untuk menjadi seseorang yang berkarakter kuat. Friedrich Wilhelm Foerster menjelaskan bahwa ada 4 hal yang menjadi pilar dalam Pendidikan karakter yang kesemuanya berangkat dari nilai normative. Pertama adalah internalisasi nilai-nilai yang tersusun secara hierarkis. Hal ini sangat jelas ditemukan dalam dalil ayat puasa Ramadhan, yaitu dari keimanan menuju ketaqwaan. Kedua, penjelasan dan penyelarasan antara nilai dan Tindakan. Bahwa dalam puasa, esensi puasa perlu dipahami dengan jelas, seperi sabda Rasul yang menjelaskan bahwa puasa harus dilaksanakan dengan penuh keimanan dan muhasabah, dan puasa seseorang yang tidak bisa menjaga lisan, pikiran dan perbuatannya dari hal-hal yang sia-sia maka ia hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. Ketiga, internalisasi fenomena dan aturan dari luar diri untuk disesuaikan dengan nilai-nilai yang diyakini sehingga menjadi dasar seseorang dalam menentukan sikap dan keputusan. Sebagaimana hadits Nabi yang mengajarkan bahwa bila ada orang yang mengganggu keikhlasan seseorang yang sedang berpuasa, hendaklah orang yang berpuasa itu mengatakan “aku sedang berpuasa” dan menghiraukannya. Keempat, keteguhan dan kesetiaan yang memantapkan posisi nilai-nilai normative tadi menjadi karakter yang menghasilkan ketahanan diri dari segala macam perubahan social. Kematangan terhadap keempat hal ini akan membentuk persona diri seseorang yang unik dan kharisma tertentu dan persona itu akan memunculkan wibawa dari orang lain.

Puasa melatih seseorang untuk bersikap sederhana. Menahan diri dari segala dorongan syahwat akan keinginan duniawi, dan memaksa untuk lebih melihat ke dalam diri dalam bentuk instrospeksi diri. Seperti yang telah disebutkan, dalam haditsnya Rasulullah menyabdakan bahwa barangsiapa yang mengerjakan puasa dengan penuh keimanan dan muhasabah (ihtisaban), maka akan diampuni dosa-dosanya. Proses muhasabah atau instropeksi diri ini tidak bisa dilakukan bila seseorang masih disibukkan dengan keinginan-keinginan syahwat dunia. Keinginan syahwat inilah yang biasanya ditunggangi oleh syaithan untuk memainkan perannya dalam menjerumuskan manusia dalam kerugian. Akan tetapi puasa menghalangi syahwat tersebut, karena seperti dalam penjelasan Imam Al Ghazali, bahwa syahwat seringkali mengalir seiring dengan makanan dan minuman. Sedangkan puasa menahan keinginan untuk makan dan minum, dan dengan demikian dorongan syahwat akan berkurang. Lebih lagi dalam hadits lain, Rasulullah menjelaskan bahwa syaithan biasanya bersemayam dalam aliran darah manusia, dan dengan puasa, aliran darah itu bisa terkendalikan dengan baik, seingga syaithan pun tidak bisa leluasa menggoda manusia sebagai mana mereka berbuat kepada orang yang tidak berpuasa. Begitulah bagaimana puasa mengajari manusia untuk kembali pada fitrahnya. Fitrah suci diri yang mementingkan dimensi ruhani dari pada materi, sehingga bisa memahami kebahagiaan dengan pemaknaan yang lebih baik dan mensyukurinya sebagai bagian dari bentuk penghambaan yang mutlak.

Al Qur’an; Pedoman Hidup yang mengobati dahaga jiwa

Awal surat Al Baqarah Allah dengan tegas menyebutkan bahwa Al Qur’an adalah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya. Artinya bahwa Allah menjamin bahwa isi Al Qur’an terbebas dari kesalahan. Oleh karena itulah Al Qur’an layak untuk menjadi pedoman dan pentujuk bagi sekalian manusia. Sebagai sebuah pentunjuk, tentu Al Qur’an mesti bisa dipahami oleh semua lapisan manusia. Artinya fungsi pentunjuk itu harus bisa dialami oleh semua orang, entah dari mereka yang awam, intelektual, ulama, maupun sufi. Bahkan bagi mereka yang bukan Islam pun juga mesti bisa memahami Al Qur’an karena bagaimana mungkin Al Qur’an bisa dikatakan sebagai pentunjuk sementara yang seharusnya membutuhkan pentunjuk justru tidak bisa memahami. Sementara Al Qur’an turun di kondisi masyarkat yang belum Islam. Al Qur’an hanya bisa ditolak, akan tetapi tidak bisa diingkari kebenarannya. Seperti dalam sebuah kisah yang dialami oleh Walid ibn Mughiroh, seorang pemuka kota Makkah dan ahli syair yang mengakui keunggulan dan keindahan kata-kata dalam Al Qur’an, meski tidak membawanya pada keimanan. Inilah kenapa Al Qur’an menyebut mereka ini sebagai orang kafir, yaitu orang yang sejatinya mengakui kebenaran Al Qur’an, akan tetapi menolaknya dan menyembunyikan kebenaran Al Qur’an dari orang lain.

Sebagai petunjuk, Al Qur’an pun memastikan bahwa isi kandungannya penuh dengan pengetahuan. Karena petunjuk berarti tuntunan, dan setiap tuntunan mesti mengandung pengetahuan. Maka tidak heran bila kandungan Al Qur’an juga berisi ragama ilmu pengetahuan. Hal ini bisa dilihat dari kisah umat Islam awal yang hanya memiliki Al Qur’an sebagai pedoman hidup mereka. Sebagaimana diketahui bahwa masyarkat muslim di Makkah adalah masyarakat yang terisolir dari segia geografis maupun politis. Terletak di tengah padang pasir yang tandus, dan dikelilingi dua imperium dengan kekaisaran besar dunia, yaitu Romawi dan Persia. Selain itu, secara sosiologis, masyarakat Makkah didominasi oleh masyarkat yang buta huruf, termasuk Rasulullah sendiri adalah pribadi yang tidak bisa membaca dan menulis. Akan tetapi setelah turunnya Al Qur’an, kondisi mereka berubah total. Peradaban Islam yang dimulai dari Makkah dengan pesat meluas hingga menaklukkan dua kekaisaran dunia tadi yang memiliki rekam sejarah yang panjang. Wilayahnya pun meluas hingga ke seluruh semenanjung Arabia yang kemudian setelah Nabi wafat perluasan itu semakin jauh melewati batas daratan dan lautan. Belum lagi kemudian pengetahuan-pengetahuan modern yang barus diketahui hari ini, namun telah tertulis 14 abad yang lalu.

Sayyid Quthb pernah menjelaskan dalam bukunya Ma’alim fi Ath Thariq tentang bagaimana Al Qur’an mengembangkan masyarakat Islam awal di Makkah. Katanya Generasi Islam awal, menjadikan Al Qur’an dan Hadits sebagai satu-satunya pedoman hidup dan berpengetahuan, meski dikelilingi dua peradaban besar, Romawi dan Persia, mereka tetap yakin dan semakin mendalami Al Qur’an dalam pembelajaran. Hingga akhirnya muncul ragam pengetahuan Islam awal yang pada saatnya nanti menjadi pondasi utama dalam pengetahuan Islam; Aqidah, Fiqh, Tasawuf, Tafsir, Hadits. Selain itu ada seorang pendeta Kristen Amerika yang termotivasi untuk mencari kesalahan Al Qur’an demi mempermalukan Islam dari sumbernya, namun justru ia tertarik dan akhirnya masuk Islam. Ia adalah Dr. Gary Miller yang menuliskan kekagumannya terhadap Al Qur’an dalam bukunya  The Amazing of Qur’an, bahwa, “Al-Quran dengan ayat-ayat yang sangat lugas mengajak manusia untuk berpikir. Di dunia ini, tak ada seorang penulis pun yang menulis sebuah buku, kemudian dengan penuh keyakinan meminta semua pihak untuk membuktikan kesalahan-kesalahannya”.

Kepastian dan kandungan ilmu pengetahuan dalam Al Qur’an ini yang menjadikan Al Qur’an bagai hujan yang menyegarkan gersangnya jiwa. Pasalnya, pengetahuan yang dihadirkan Al Qur’an tidak sekedar pengetahuan saintifik yang kering, melainkan pengetahuan Ilahi yang menghadirkan ketenangan pada jiwa. Ibn Katsir menjelaskan tafsir surat Al Isra’ ayat 82, bahwa Al Qur’an diturunkan untuk memberikan penyembuhan terhadap penyakit-penyakit hati seperti keraguan, kemunafikan, kemusyrikan, dan penyimpangan dari perkara yang haq. Selain itu Al Qur’an juga menyembutkan segala penyakit yang disebabkan karena kejahiliyahan atau kebodohan serta kedzaliman. Setelah itu, jiwa-jiwa yang sembuh akan mendapatkan rahmat dari Allah yang akan mengantarkan mereka pada manisnya keimanan serta ketenangan hati. Mengenai hal ini Sunan Bonang sampai menyebutkan dengan jelas dalam lagunya yang berjudul obat hati, bahwa obat hati yang pertama adalah membaca Al Qur’an sekalian maknanya.

Artinya, dengan Al Qur’an, Allah memberikan fasilitas kepada orang-orang yang beriman untuk melatih diri secara teoritis, tidak hanya praktis. Selama berpuasa, mereka tidak hanya menjalani praktik ibadah puasa, melainkan juga mendalami keimanan tersebut secara praktis dengan membaca Al Qur’an. Selain menambah pahala, Al Qur’an akan memberikan ketenangan jiwa yang ditimbulkan dari bertambahnya pemahaman dan akan sangat berdampak pada meningkatnya iman menuju ketaqwaan. Sebagaimana garansi Allah di awal surat Al Baqarah, bahwa kitab yang tiada keraguan itu adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.

Lailatul Qadar; Muhasabah diri untu mengetahui posisi diri

Bulan Ramadhan tidak mungkin bisa dipisahkan dari kemuliaan malam Lailatul Qadar. Dalam surat Al Qadar Allah telah menjelaskan dengan gamblang bahwa malam tersebut merupakan malam diturunkannya Al Qur’an. Selain itu, malam Lailatul Qadar adalah malam yang lebih mulia daripada seribu bulan. Kemuliaan mala mini pun digambarkan dengan apik oleh surat Al Qadar dengan turunnya para malaikat termasuk Malaikat Jibril untuk megantarkan rahmat dan keberkahan dari Allah kepada orang-orang mukmin yang beribadah dan lagi menuntut ilmu. Surat itu ditutup dengan penegasan bahwa orang-orang yang mendapatkan kemuliaan malam Lailatul Qadar akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan hingga terbitnya fajar.

Terkait kapan waktu dari malam Lailatul Qadar sendiri tidak ada yang pasti merujuk pada satu malam tertentu. Namun justru disitulah istimewanya malam ini, karena hanya dengan keimanan lah, malam itu bisa didapat. Maksudnya adalah, bagi orang yang beriman, ibadah adalah esensi utamanya, sedangkan kapan waktunya tidak lagi menjadi penting bagi mereka. Namun bagi orang yang terpaku pada waktu, maka ia akan sibuk mengamati dan menandai waktu dan justru lalai pada ibadah yang seharusnya lebih diutamakan karena menjadi syarat mutlak untuk mendapatkan kemuliaan malam ini. Ada beberapa riwayat di mana Rasulullah seakan-akan mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu berada di 10 malam ganjil terakhir di bulan Ramadhan. Seperti dalam hadis Imam Bukhari carilah malam Lailatul Qadar di 10 malam terakhir di malam ganjil terakhir di bulan Ramadhan. Pada hadits yang lain di hadits riwayat Imam Bukhari yang lain bahkan lebih spesifik Rasulullah mengisyaratkan di malam 29  atau di malam 27 atau di malam 25, tapi sebenarnya esensinya lagi-lagi bukan tentang kapan tanggal spesifiknya melainkan keimanan yang mendorong seseorang untuk menyempatkan diri di 10 malam terakhir, paling tidak, dari sekian hari dan sekian malam yang kita miliki dalam satu tahun dan juga sekian malam dan sekian hari yang kita miliki sepanjang hidup kita, untuk khusus fokus bertafakur memperbanyak ibadah yang mana kita berusaha untuk menjalin sebuah komunikasi dan hubungan yang sangat pribadi antara kita dengan Allah subhanahu wa ta'ala. Hal ini merupakan lanjutan dari rangkaian ideal dalam ibadah puasa Ramadhan.

Yang menarik kemudian adalah tentang waktu yang disebutkan dan menjadi nama adalah waktu malam. Pertanyaannya kemudian adalah kenapa malam? Selain itu banyak ditemukan juga di banyak ayat Al Quran yang mengatakan atau yang berisi tentang ibadah-ibadah di malam hari. Ada keutamaan ibadah di malam hari, yang mana dalam penjelasannya secara Ramadhan Al Buthy, bahwa beribadah di malam hari bisa memfokuskan manusia untuk khusyuk dan fokus beribadah kepada Allah serta menjalin hubungannya hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Karena kalau di siang hari seringkali ada gangguan dari urusan-urusan duniawi. Selain itu pertemuan dengan orang banyak akan menghasilkan pikiran-pikiran yang beragam pula, yang itu bisa menghadirkan gangguan dalam beribadah beribadah. Sedangkan ibadah pada malam Lailatul Qadar ini dilaksanakan sejak terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar di sholat subuh.

Ibadah apa saja yang bisa dilakukan untuk menyemarakkan atau yang bisa dijalankan sebagai sarana dalam memenuhi malam Lailatul Qadar. Paling tidak ada 6 ibadah kongkret yang bisa dilakukan,  pertama, tentu sholat karena satu ibadah yang paling utama adalah sholat. Kedua, adalah membaca Al Qur’an karena memang Al Qur’an turun di bulan ini sehingga membacanya akan menambah kemuliaan malam tersebut, lebih lagi bila tidak hanya dibaca melainkan ditadabburi. Ketiga, adalah berdzikir kepada Allah, sehingga menenangkan jiwa dan mendekatkan diri untuk lebih memperkenalkan diri kita kepada Allah subanahu wa ta’ala. Keempat adalah beristighfar satu hal yang bisa jadi sering dilupakan dengan kelapangan dan kemudahan urusan yang dimiliki. Kelima, adalah berdoa. Allah sangat menyukai orang yang berdo’an, bahkan dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa Allah sangat suka mendengarkan keluhan dan do’a-do’a hamba-Nya yang ditujukan kepada-Nya. Apalagi Allah menjamin dikabulkannya do’a seperti yang Allah firmankan dalam Q. S Al Baqarah ayat 186. maka memperbanyak do’a adalah amalan yang harus dilakukan pada mala mini. Do’a yang dipanjatkan pun harus didasarkan pada keimanan dan keikhlasan sehingga bisa mendo’akan bagi diri sendiri, keluarga, kolega, bangsa dan untuk umat Islam pada umumnya. Keenam adalah bersedekah, sebagai bukti nyata munculnya keimanan dalam diri. Karena salah satu tanda orang yang beriman dan bertaqwa, atau juga mereka yang ingin sampai pada derajat iman dan taqwa, adalah mengerjakan sholat serta senantiasa menginfakkan sebagian hartanya untuk Allah.

Setidaknya 3 kemuliaan inilah yang bisa diambil dari bulan Ramadhan. 3 kemuliaan yang hanya terangkum dalam 30 hari di satu bulan dari 12 bulan lainnya dalam satu tahun. Tidak mungkin untuk disia-siakan saja, terutama bagi orang yang merindukan ridho Tuhannya. Keimanannya menyadarkan dirinya akan dosa dan kekurangannya. Oleh sebab itu Rasulullah menekankan muhasabah diri selama bulan ini agar seseorang bisa sampai pada musyahadah dirinya yang nantinya akan mengatarkan pada musyahadah Rabbnya. Sehingga dengan demikian, muhasabah menjadi kata kunci yang harus selalu ada pada ibadah di 3 kemuliaan bulan Ramadhan tadi. seperti yang disampaikan dalam Al Hikam, Ibnu ‘Athaillah menyampaikan pada hikmah ke-12, bahwa tidak ada yang lebih bermanfaat untuk kalbu kecuali beruzlah dan kemudian bertafakur tentang diri sendiri. Dengan demikian qolbu menjadi tenang, pikiran menjadi jernih, dan hidup terasa menjadi lebih ringan karena adanya hubungan diri dan jiwa kepada Allah, dan dengannya jiwa seakan-akan kembali kepada Fitrahnya. Wallahu a’lam bi ash showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar