Oleh: Fuad Muhammad Zein
(IKPM Gontor Cab. Solo Raya)
Kepemimpinan
dalam Islam sangat penting. Sampai dalam satu hadits Rasulullah sallallahu
‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa bila ada tiga
orang yang berpergian secara bersamaan dalam suatu waktu, hendaklah mereka
mengangkat salah satu dari ketiganya menjadi pemimpin. Anjuran ini ditujukan
untuk menjaga ketertiban dan kepastian dari orientasi perjalanan. Di dalam
beberapa ayat Al-Qur’an pun disebutkan pentingnya pemimpin, sampai-sampai dalam
Q.S An Nisa ayat 59 disebutkan pentingnya menta’ati pemipin bersandingan dengan
perintah keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sehingga dengan demikian,
kepemimpinan dan sosok pemimpin ini sangat penting, dan Islam sebagai agama
yang diyakini sebagai jalan hidup (the way of life) memiliki panduan dan
ajaran tentang kepemimpinan ini, khususnya tentang kepemimpinan politik atau
social.
Dalam
khazanah Islam dikenal beberapa nama atau gelar untuk menyebut seorang
pemimpin. Diantaranya adalah Imam, Kholifah dan Amirul Mukminin. Setiap gelar
pastilah memiliki konotasi sendiri-sendiri yang meskipun berbeda namun bila
ditela’ah lebih lanjut mungkin saja memiliki satu hubungan yang membentuk satu
konsep tersendiri.
1.
Imamah
Kata
Imam dalam al Qur’an disebut sembilan kali. Secara etimologi kata Imamah
memiliki padanan kata dengan kata amma. Dalam Lisanul ‘Arab Ibnu
Manzhur menjelaskan jika dikatakan, ammahum atau amma bihim yang
memiliki makna ‘yang terdepan dari mereka’ dan berarti Imamah. Selanjutnya
beliau menuliskan bahwa Imam atau pemimpin adalah setiap yang diikuti oleh
suatu kaum, baik berada di jalan yang lurus mupun berada di atas kesesatan. Kata amma juga bisa diartikan sebagai
tujuan atau maksud, amma yaummu diartikan qoshodahu. Ibnu
Manzhur kemudian menambahkan bahwa, dikatakan pula jamalun miammun yang
diartikan dengan ‘pedoman’ atau ‘guide’yang member petunjuk, demikian
juga naaqotun miammatun atau ‘semuanya dari maksud’, karena pedoman yang
memberi petunjuk itu bermaksud. Bentuk pluralnya adalah aimmah.
Al Farahidi dalam karyanya al ‘Ain menyatakan bahwa Imam juga memiliki
akar kata amma, yaummu, ummun. Kata ummun memiliki arti, segala
sesuatu yang disandarkan atau dipedomankan kepadanya. Maka, dalam al Qur’an ada
ummul qura, adalah kota (madinah), karena kota merupakan pusat
desa, yang kepadanya segala kebutuhan desa bisa didapatkan. Ada juga ummul
kitab, karena didalamnya terdapat pokok-pokok bahasan mengenai
masalah-masalah yang ada dalam buku sehingga menjadi pedoman dalam pembahasan
sebuah masalah. Dalam hadits adalah surat al Fatihah yang dinamakan sebagai ummul
qur’an, karena di dalamnya terdapat pokok-pokok ayat-ayat mengenai syari’at
dan kewajiban dan juga hukum-hukum. Sehingga gelar Imam adalah gelar yang
diberikan kepada siapapun yang diikuti dan didahulukan dalam segala urusan.
Seperti halnya nabi SAW adalah Imamul Ummah, karena beliaulah yang
diteladani dan diikuti, dan didahulukan dalam hal penghormatan daripada
umatnya.
Dengan
melihat beberapa pengertian dari makna kata imamah di atas, bisa dimengerti
semacam rangkaian makna imamah. Ada beberapa makna kata imamah yang bisa
diambil, diantaranya adalah ‘yang terdepan’, ‘yang diikuti’, ‘yang dijadikan
pedoman’. Mengenai arti ‘yang dijadikan pedoman’ dalam surat al Hijr ayat 79
disebutkan bahwa makna imam dalam ayat tersebut adalah jalan yang terang. La
bi imaamin mubiin. Imam Thobari menjelaskan mengenai ayat ini bahwa kaum
Luth dan kaum Aikah berada pada jalan yang terang. Maksud kata ‘imam’
yang diartikan jalan di ayat ini, karena jalan merupakan sesuatu yang diikuti
dan di-pedoman-i untuk sampai pada suatu tujuan. Sehingga bisa diartikan bahwa
seorang imam adalah dia yang didahulukan atau yang dikedepankan dan yang
memberi pedoman sehingga ia diikuti. Imam sebuah prajurit adalah komandannya,
dan imam sebuah perusahaan adalah direkturnya, dan imam dalam sebuah Negara
adalah presidennya atau pemimpin pemerintahnya.
Secara
umum bila diperhatikan makna imam dalam ayat-ayat al Qur’an memiliki arti yang
berkonotasi dengan kebaikan. Namun ada dua ayat yang memiliki konotasi buruk,
yaitu pada surat al Qashash: 41 dan surat at Taubah: 12. Bila demikian, maka
penjelasan Ibnu Manzhur mengenai arti kata imam ada benarnya. Di mana beliau
menjelaskan bahwa imam adalah setiap yang diikuti oleh suatu kaum, baik berada
di jalan yang lurus mupun berada di atas kesesatan. Akan tetapi, Fahruddin ar
Razi dalam tafsirnya telah membedakan antara keduanya. Beliau mengatakan bahwa
kata tersebut, apabila kata tersebut secara sendiri, maka yang ditunjuk adalah
makna petunjuk kepada kebaikan. Jika menginginkan untuk menunjukkan makna
jahat, maka itu mesti dituliskan dengan menambahkan qarinah (konjungsi)
yang menunjukkan kepada makna tersebut. Dengan begini, maka bisa diambil
pemaknaan yang dilakukan oleh ar Razi ini sebagai makna yang benar. Karena al
Qur’an memakai metode tersebut, seperti yang Nampak pada ayat-ayat di al Qur’an
mengenai kata ini.
2.
Kholifah
Kholifah
menjadi kata kedua yang sering dijadikan penyebutan atau gelar bagi pemimpin
dalam politik Islam. Abu Bakar as Siddiq r.a yang pertama kali menggunakan
gelar tersebut dengan sebutan sebagai Kholifatu Rasulillah. Dalam mu’jam-nya,
Ibnu Manzhur menjelaskan bahwa kata ‘kholifah’ memiliki akar kata dengan kata kholafa
(خ ل ف).
Beliau menjelaskan bahwa kata kholfu memiliki makna lawan kata dari quddama
yang artinya depan. Berarti dalam hal ini ia bermakna belakang. Seperti halnya
dalam al Qur’an disebutkan ‘Allah
mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka’.
Laqab atau sebutan khalifah pada awalnya adalah kepada Abu Bakar
r.a ketika terpilih setelah bai’at As-Tsaqifah, untuk menggantikan Rasulullah
dalam memimpin umat Islamd an memelihara
kemasalahatan mereka. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa adapun penamaan
sebagai khalifah (penerus atau pengganti), karena Abu Bakar menggantikan Nabi
dalam mengurus umatnya. Maka dikatakan khalifah secara mutlak dan juga Khalifatu
Rasulillah.
Para ulama berbeda pendapatnya dalam penamaannya sebagai khalifah
Allah. Sebagian mereka membolehkannya, dengan mengutip dari khilafah amanah
(ke-khalifahan umum) yang menjadi hak bagi umat manusia dalam firman Allah subhanahu
wa ta’ala di surat Al-Baqarah ayat 30. Juga firman-Nya, “Dia
menjadikanmu khalifah-khalifah atau pewaris bumi”, namun jumhur tidak
membolehkan penamaan tersebut karena makna ayat bukan terhadap hal ini, dan Abu
Bakar telah melarang ketika dia dipanggil demikian, dan mengatakan bahwa Abu
Bakar bukan Khalifah Allah melainkan Khalifah Rasulullah.
3.
Amirul Mukminin
Gelar yang ketiga ini pertama kali diberikan
kepada khalifah yang kedua, yaitu Umar Ibnul Khaththab r.a. Ibnu Khaldun
menceritakan tentang penyebab penamaan ini. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa itu
adalah bagian dari ciri khas kekhalifahan, dan itu diciptakan sejak masa para
khalifah. Mereka telah menamakan para pemimpin delegasi dengan nama amir, yaitu
bentuk kata fa’il dari imarah. Para sahabat pun memanggil Sa’ad
bin Abi Waqqash dengan Amirul Mu’minin karena dia memimpin tentara Islam dalam
Perang Al-Qadisiyyah. Mereka merupakan sebagian besar umat Islam pada saat itu.
Hal itu bertepatan masanya ketika sebagian sahabat memanggil Umar r.a dengan
Amirul Mu’minin. Lantas orang-orang menganggapnya baik dan benar, dan
memanggilnya dengan gelar tersebut. Dikatakan bahwa seorang kurir datang dengan
berita kemenangan dari beberapa delegasi dan masuk ke Madinah menanyakan Umar,
“mana Amirul Mu’minin?” dan didengarkan oleh sahabat-sahabatnya. Mereka
menganggap itu baik, dan mengatakan, “Demi Allah kamu tepat sekali menyebutkan
namanya. Sungguh dia benar-benar Amirul Mu’minin”. Lantas umat Islam pun
memanggilnya dengan gelar tersebut dan gelar tersebut menjadi gelar yang
tersebar luas dalam pergaulan rakyat, serta diwarisi oleh khalifah-khalifah
setelahnya.
Demikianlah tiga sebutkan kepemipinan politik dan social dalam
Islam. Setiap sebutan mewakili konsep dan posisinya masing-masing. Meski
terkadang ketiganya dimaknai dengan makna yang sama, akan tetapi perbedaan
istilah tetap akan dipahami memiliki konsepsi yang berbeda. Ketiga sebutan
tersebut juga menunjukkan betapa detil dan rincinya konsepsi kepempimpinan
politik dalam Islam karena menunjukkan tingkat hierarki dan posisi setiap
pemimpin dari yang teratas hingaa yang terbawah, dari yang social hingga yang
politis. Meski masih banyak istilah lain seperti waliyul amri, malik
(Raja), sultan dan lainnya, ketiga sebutan diatas cukup mewakili isitilah
kepemimpinan politik di dalam Islam, karena yang sering disebutkan dalam
khazanah perpolitikan Islam. Wallahu a’lam bi ash showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar