(IKPM Gontor Cab. Solo Raya)
Kekuasaan adalah amanah. Dalam perspektif Islam amanah sesungguhnya datang dari Allah. Karena Allah mentakdirkan seseorang menjadi penguasa.
Pertanggungjawaban itu terutama di Akhirat kelak, ketika setiap manusia akan mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, meskipun secara sosiologis perlu juga dipahami bahwa amanah itu dari masyarakat yang dipimpin, yang memilih atau memberi kesempatan kepadanya untuk memimpin mengatur mereka agar terwujud kehidupan sosial yang teratur dan memenuhi harapan mereka untuk hidup makmur dan menikmati pelayanan yang baik dan adil.
Berbeda dengan konsep kekuasaan dalam perspektif sekuler, di mana kepercayaan itu semata mata dari masyarakat yang dipimpin. Maka kemudian anggapannya adalah pemimpin harus bertanggung jawab kepada rakyat tapi tidak kepada Tuhan.
Anggapan ini memiliki kelemahan yang nyata, bahwa self control sebagai unsur utama dalam kekuasaan dari rakyat sangat lemah karena hanya disandarkan pada diri semata, rasa malu yang semuanya bersifat humanistic.
Dasar keyakinan yang digunakan sebagai sistem nilai bersifat humanistic sehingga sangat rentan untuk dimanipulasi. Hasilnya, rakyat yang dianggap sebagai sumber kedaulatan sering dimanfaatkan oleh actor politik sebagai ladang suara saja dan sangat rentan untuk dibohongi dengan janji-janji politik.
Rasa malu akan kesalahan sewaktu memimpin pun sangat relative, karena selalu ada alasan yang membuatnya terlihat benar hingga dihadapan hukum sekalipun.
Sampai Goenawan Moehammad sempat menyampaikan bahwa Indonesia telah masuk pada era di mana wakil rakyat hanya mewakili rakyat yang memilihnya saja, dan tidak pernah berkomitmen untuk sepenuhnya mewakili seluruh rakyat.
Fanatisme Golongan dalam Islam
Sebenarnya, sikap wakil rakyat dalam mewakili sekelompok masyarakat itu tidak selalu salah. Biar bagaimana pun, seorang wakil rakyat adalah anak dari komunitas sosialnya.
Hanya saja, ketika di telah menjadi wakil rakyat, maka dirinya harus lebih memposisikan diri sebagai wakil rakyat seluruhnya, dan kebijakannya diarahkan untuk mensejahterakan seluruh rakyat.
Ibnu Kholdun menjelaskan sikap ini dalam teorinya tentang Ashobiyyah, di mana kemajuan suatu bangsa tergantung pada tingginya nilai ashobiyyah atau kebanggaan atas komunitasnya.
Maka nilai ashobiyyah ini harus dimaknai sebagai sikap kebangsaan. Menarikanya lagi, Ibnu Kholdun menambahkan bahwa nilai ashobiyyah ini bukan factor utama penentu kemajuan bangsa, karena nilai tersebut masih kalah dengan nilai agama.
Di sinilah letak paripurnanya, di mana seluruh identitas local dilebur dalam nilai persaudaraan atas dasar agama, yang mempengaruhi persepsi diri dan ideology kebangsaan.
Anthony Black, seorang professor asal Skotlandia, dalam bukunya Sejarah Pemikiran Politik Islam, menyatakan bahwa salah satu fenomena penting dalam sejarah politik Islam adalah hilangnya rasa kesukuan dan bergantinya rasa tersebut dengan keimanan.
Dalam catatannya Umat Islam diikat menjadi satu oleh iman dan keadilan, bukan oleh hubungan darah. Islam mengubah masyarakat kesukuan ini dengan cara menarik individu ke pusat tanggung jawab sosial.
Di hadapan Tuhan tidak ada seorang pun yang bisa berlindung di balik kekuatan kelompok. Beberapa ciri masyarakat kesukuan, dimasukkan ke dalam struktur umat sebagai satu keutuhan.
Agama dan hukum baru itu menanamkan identitas sosial yang mengikat semua anggotanya menjadi satu dan membentengi mereka dari orang luar.
Pola pikir bahwa pertanggunjawaban politik tidak hanya pada rakyat, namun lebih utama kepada Tuhan ini penting, karena untuk menghindari penyalahgunaan wewenang kekuasaan.
Masih menurut Ibnu Kholdun, bahwa naluri kelompok manusia bisa merupakan alat perjuangan, alat menyerang, dan bertahan. Naluri ini pun adalah alat penyelesaian dalam konflik antar golongan, yaitu bila akhirnya konflik ini harus diselesaikan secara kekerasan.
Karena tujuan terakhir dari ‘ashabiyah ialah mulk, kekuasaan-wibawa, yang pada akhirnya dapat mendesakkan kemauan agar diturut, kalau perlu dengan kekerasan.
Maka bila naluri ini tidak dihadapkan pada ketundukan pada ketetapan Tuhan, yang terjadi adalah konflik antar kelompok dalam masyarakat guna meraih kekuasaan dalam rangka mempertahankan eksistensi kelompoknya.
Kontrol Islam terhadap Fanatisme Golongan
Ketundukan pada ketetapan Tuhan ini penting agar standar kesejahteraan bisa dipahami secara baik dan benar. Keyakinannya adalah bahwa Tuhan tidak mungkin menjadikan manusia pada keterpurukan, kesengsaraan dengan ketetapan-Nya.
Terlebih dalam Islam segala ketetapan Allah jelas tertulis dan mampu dipahami oleh akal manusia. Maka seorang pemimpin harus memiliki mental dan tekad kuat untuk meyakini hal itu dan memberlakukannya dalam setiap kebijakannya. Nasihat Ibnu Kholdun kepada para pemimpin adalah:
“Seorang pemimpin tidak akan dicerca oleh agama jika dia memenangkan kebenaran dan memaksakan semua rakyat untuk taat beragama serta memperhatikan kemaslahatan bersama. Cercaan hanya akan datang jika dia berpihak pada kebatilan dan memobilisasi anak manusia untuk mengikuti kepentingan-kepentingan sepihak serta menuruti hawa nafsu hedonism.
Seandainya dalam tindakannya pemimpin memaksakan rakyatnya memang benar-benar ikhlas untuk mendapatkan ridho Allah, untuk memobilisasi mereka agar beribadah kepada Allah dan berjihad melawan segala bentuk musuh Allah, tindakan tersebut tidak termasuk perbuatan yang tercela.”
Maka, menurut ajaran Islam, wewenang seorang pemimpin hanya dipatuhi sepanjang konsisten pada kebenaran tidak menyalahi aturan Allah dan Rasul-Nya. Memberi pelayanan yang baik dan adil adalah sesuai dengan syari’at.
Sedangkan menghkhianati perjanjian, menzalimi rakyat, melakukan kolusi, korupsi dan nepotisme adalah bertentangan dengan syari’at. Apalagi membiarkan dan tidak mencegah perbuatan keji, kemungkaran dan maksiat.
Abu Bakar Ash Shiddiq, sang Khalifah pertama setelah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW menyampaikan pidato kenegaraannya tepat ketika setelah mendapatkan amanah.
Dalam pidato tersebut beliau menyampaikan: “Taatlah kamu sekalian kepadaku selama aku taat kepada Allah”.
Demikianlah sosok pemipin yang tidak hanya direstui oleh rakyat, namun juga direstui oleh Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana yang Allah firmankan dalam al Qur’an Surah Annisa’ ayat 59.
Wallahu a’lam bi ash showab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar