Oleh : Fuad Muhammad Zein
(Anggota IKPM Solo Raya)
Sudah menjadi fitrahnya, manusia selalu bergerak menuju
keinginan dalam hatinya. Bahkan sudah menjadi esensinya manusia untuk selalu
bergerak demi meraih cita-citanya.
Maka dari itu, bila manusia tanpa cita-cita
sama seperti tubuh yang mati, karena ia tidak berbuat apa apa sehingga tidak
ada karya yang menjadikan keberadaannya diakui.
Dalam pendidikan pun ada
nasihat masyhur yang telah banyak diketahui untuk selalu menggantungkan
cita-cita setinggi langit. Nasihat itu tidak hanya sekedar ungkapan tanpa makna,
namun sebuah pecutan semangat untuk selalu bergerak mewujudkan harapan dan
cita-cita.
Oleh karena itu, bila manusia tidak pernah punya cita-cita atau
harapan, dan tidak berusaha untuk mewujudkannya, untuk apa hidup yang ia
miliki?
Pasalnya Allah telah memberikan manusia ruh, akal dan indera adalah untuk selalu berkarya
mengejar prestasinya demi meraih posisi hamba yang bertaqwa di hadapan-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat Al Jum’ah
ayat 10:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا
فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ (١٠
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung”.
Dalam ayat tersebut, Imam Maturidi menjelaskan bahwa Allah
telah mempersilahkan kepada setiap manusia untuk menyebar ke seantero bumi demi
mencari rizqi yang telah Allah sediakan bagi manusia.
Baca Juga : Kembali Kepada Al-Qur'an Dan Sunnah; Doktrin Dan Ilmunya Di Era Sosial Media
Unikanya adalah bahwa ayat tersebut menggunakan kata “fa intasyiru” dengan bentuk kata perintah. Meski tidak selalu bermakna wajib, Imam Maturidi menjelaskan bahwa kata tersebut mengandung arti “boleh atau mempersilahkan”. Yang artinya bahwa usaha untuk mendapatkan rizqi tersebut dipersilahkan setelah kewajiban menegakkan sholat telah ditunaikan.
Unikanya adalah bahwa ayat tersebut menggunakan kata “fa intasyiru” dengan bentuk kata perintah. Meski tidak selalu bermakna wajib, Imam Maturidi menjelaskan bahwa kata tersebut mengandung arti “boleh atau mempersilahkan”. Yang artinya bahwa usaha untuk mendapatkan rizqi tersebut dipersilahkan setelah kewajiban menegakkan sholat telah ditunaikan.
Dengan kata lain, ketika kewajiban telah dilaksanakan,
maka hak silahkan diperoleh. Artinya, dalam Islam, perkara mencari rizqi adalah
hak setiap makhluk setelah kewajiban beribadah kepada Allah terpenuhi.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallama pernah bersabda
melalui hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya bahwa perihal
rizqi setiap hamba telah dituliskan semenjak ia masih berbentuk janin dalam
perut ibunya.
Rizqi setiap hamba telah ditentukan masing-masing, yang artinya
tidak ada yang tidak diberikan rizqi oleh-Nya. Namun seringkali seseorang tidak
puas dengan apa yang diperolehnya, yang akhirnya mencari cara untuk bisa mendapatkan harta
sebanyak-banyaknya.
Ia terjebak pada definisi rizqi sebagai materi, meski
sebenarnya rizqi Allah tidak selalu berbentuk harta
materi. Bukankah harta juga tidak selalu materi,
karena dalam sebuah lagu kita tahu bahwa harta yang paling berharga adalah keluarga?
Di sinilah pentingnya memahami hakikat harta yang sebenarnya
bukanlah hanya sekedar harta dalam bentuk nominal uang maupun materi. Karena
bila tidak demikian, maka tidak akan terbentuk dalam diri manusia sikap moral
yang akan memberikan rasa puas dalam dirinya.
Baca Juga : Menggugah Nilai-nilai Ilahiyah Yang Hampir Pudar Pada Karakteristik Ekonomi Keluarga Muslim
Dan bila demikian, maka seseorang
akan jatuh pada perangkap duniawi dengan menghalalkan segala cara demi
mendapatkan materi.
Dalam surat Al Jum’ah tadi disebutkan bahwa rizqi adalah
apa yang telah Allah persilahkan untuk manusia. Dengan rahman rahim-Nya Allah
telah menghamparkan rizqi di bumi untuk seluruh makhluk-Nya.
Manusia diberikan
keistimewaan berupa akal dan indera untuk dapat memperoleh rizqi yang lebih
banyak dari makhluk lainnya. Hal itu dikarenakan manusia telah tercipta dengan
kodrat asal sebagai khalifah. Yaitu mandat ilahiyah bagi seluruh manusia, dan dengannya
mereka memanfaatkan alam semesta dan melestarikannya.
Perkara menjadi khalifah bukanlah hal yang mudah. Hal ini
selaras dengan kompensasi yang akan didapat ketika melaksanakan mandat itu
dengan baik. Sebagai ganjaran setelah mendapatkan mandat tersebut, manusia
diberikan hak oleh Allah untuk memanfaatkan alam semesta demi keperluan mereka.
Allah pun telah menaklukan alam untuk manusia.
Sehingga bila demikian, tanpa kuasa Allah manusia tidak akan bisa mendapatkan
apa-apa dari alam semesta, atau bisa jadi tanpa mandat khalifah ini, manusia
tidak ada bedanya dengan makhluk lain yang harus melalui seleksi alam, di mana
kekuatan adalah segalanya, seperti yang diprediksikan oleh Charles Darwin dalam
teori evolusinya.
Maka oleh karena itu, keyakinan akan kuasa Allah adalah hal
pertama yang perlu untuk ditanamkan dalam diri sehingga seseorangbisa memiliki
sikap mental yang benar dan akan membuahkan produk perbuatan yang benar pula.
Keimanan akan mempengaruhi jiwa sehingga darinya muncul
semacam instruksi kepada fikiran dan jasad untuk memproduksi perbuatan.
Sejatinya proses ini adalah apa yang disebut sebagai basis moral dalam
perbuatan.
Tidak ada perbuatan yang tidak dilandasi dengan landasan moral.
Seseorang melakukan perbuatan karena menurutnya benar, dan juga sebaliknya.
Keimanan kepada Allah lah yang membantu jiwamanusia untuk mendefinisikan antara
baik dan buruk.
Karena manusia tidak bisa menentukan nilai baik dan buruk
sendiri, secara dia adalah makhluk yang ditempatkan di tempat di mana selain
dia telah ada, sehingga manusia berada pada medan yang telah terbentuk
dengansegala macam hukum yang teratur, dan dia pun terikat dengan hukum
tersebut.
Baca Juga : Islam dan Al-Qur’an Sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan dan Pemahaman Barat Yang Salah Terhadap Keduanya
Makanya, bisa jadi apa yang baik menurut manusia belum tentu
hakikatnya adalah baik, seperti yang telah dijelaskan Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat 216.
Memahami struktur kerja sebagai khalifah seperti ini akan
memberikan imaginary design tentang bagaimana seseorang seharusnya bersikap
dalam berbuat. Menghindari perbuatan yang buruk atau cara-cara yang tidak baik
meski hasil yang diinginkan baik adalah bentuk dari jihad yang sebenarnya.
Rasulullah bersabda bahwa bentuk jihad yang paling besaradalah jihad melawan
hawa nafsu.Nafsu yang selalu condong pada maksiat dan kerusakan. Ketika
seseorang berkerja dan berbuat bukan atas dasar nafsunya, namun atas dasar akal
dan hatinya, maka sejatinya ia telah menumbuhkan profesionalitas kerja.
Hal itu
terlihat dari optimalisasi dan kinerjanya yang sungguh-sungguh dan didasarkan
pada keikhlasan jiwanya. Ikhlas adalah dasar profesionalitas yang tanpanya
tidak mungkin seseorang mau berkerja secara maksimal.
Oleh sebab itu, keikhlasan
harus tumbuh dalam diri seseorang dalam proses jihadnya, dan itu tidak akan
terjadi tanpa hadirnya ilmu dan iman dalam jiwa.
Demikianlah pengaruh keimanan pada profesionalitas kerja. Ia
tidak hanya sekedar rumus keyakinan, namun lebih dari itu mempengeruhi fikiran
hingga kinerja fisik dalam berbuat.
Baca Juga : Beberapa Kesalahan Kebanyakan Orang Dalam Memandang Politik Dalam Islam
Ia seperti cara pandang manusia dalam menentukan aspek benar salah dari perbuatannya. Kebahagiaan atau kesengsaraan yang timbul adalah hasil dari persepsinya tentang dua hal tersebut.
Ia seperti cara pandang manusia dalam menentukan aspek benar salah dari perbuatannya. Kebahagiaan atau kesengsaraan yang timbul adalah hasil dari persepsinya tentang dua hal tersebut.
Maka bila
nilai baik buruk tadi hanya didasarkan pada persepsi rasio manusia, tentu akan
menimbulkan konflik, karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda.
Oleh
sebab itu, seharusnya nilai didefinisikan oleh iman sebagai informasi langsung
dari Allah subahanhu wata’ala, sehingga ia menjadi universal dan harmoni pun
tercipta.
.
BalasHapustop
BalasHapus