Breaking

Kamis, 28 Maret 2019

Edisi 24 : Spiritualitas Dalam Kerja


Oleh : Fuad Muhammad Zein
(Anggota IKPM Solo Raya)


Sudah menjadi fitrahnya, manusia selalu bergerak menuju keinginan dalam hatinya. Bahkan sudah menjadi esensinya manusia untuk selalu bergerak demi meraih cita-citanya. 

Maka dari itu, bila manusia tanpa cita-cita sama seperti tubuh yang mati, karena ia tidak berbuat apa apa sehingga tidak ada karya yang menjadikan keberadaannya diakui. 

Dalam pendidikan pun ada nasihat masyhur yang telah banyak diketahui untuk selalu menggantungkan cita-cita setinggi langit. Nasihat itu tidak hanya sekedar ungkapan tanpa makna, namun sebuah pecutan semangat untuk selalu bergerak mewujudkan harapan dan cita-cita. 
Oleh karena itu, bila manusia tidak pernah punya cita-cita atau harapan, dan tidak berusaha untuk mewujudkannya, untuk apa hidup yang ia miliki? 

Pasalnya Allah telah memberikan manusia ruh,  akal dan indera adalah untuk selalu berkarya mengejar prestasinya demi meraih posisi hamba yang bertaqwa di hadapan-Nya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surat Al Jum’ah ayat 10: 

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٠
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.

Dalam ayat tersebut, Imam Maturidi menjelaskan bahwa Allah telah mempersilahkan kepada setiap manusia untuk menyebar ke seantero bumi demi mencari rizqi yang telah Allah sediakan bagi manusia. 


Baca Juga : Kembali Kepada Al-Qur'an Dan Sunnah; Doktrin Dan Ilmunya Di Era Sosial Media

Unikanya adalah bahwa ayat tersebut menggunakan kata “fa intasyiru” dengan bentuk kata perintah. Meski tidak selalu bermakna wajib, Imam Maturidi menjelaskan bahwa kata tersebut mengandung arti “boleh atau mempersilahkan”. Yang artinya bahwa usaha untuk mendapatkan rizqi tersebut dipersilahkan setelah kewajiban menegakkan sholat telah ditunaikan. 

Dengan kata lain, ketika kewajiban telah dilaksanakan, maka hak silahkan diperoleh. Artinya, dalam Islam, perkara mencari rizqi adalah hak setiap makhluk setelah kewajiban beribadah kepada Allah terpenuhi.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallama pernah bersabda melalui hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya bahwa perihal rizqi setiap hamba telah dituliskan semenjak ia masih berbentuk janin dalam perut ibunya. 
Rizqi setiap hamba telah ditentukan masing-masing, yang artinya tidak ada yang tidak diberikan rizqi oleh-Nya. Namun seringkali seseorang tidak puas dengan apa yang diperolehnya, yang akhirnya  mencari cara untuk bisa mendapatkan harta sebanyak-banyaknya. 

Ia terjebak pada definisi rizqi sebagai materi, meski sebenarnya rizqi Allah tidak selalu berbentuk harta materi. Bukankah harta juga tidak selalu materi, karena dalam sebuah lagu kita tahu bahwa harta yang paling berharga adalah keluarga? 

Di sinilah pentingnya memahami hakikat harta yang sebenarnya bukanlah hanya sekedar harta dalam bentuk nominal uang maupun materi. Karena bila tidak demikian, maka tidak akan terbentuk dalam diri manusia sikap moral yang akan memberikan rasa puas dalam dirinya. 
Dan bila demikian, maka seseorang akan jatuh pada perangkap duniawi dengan menghalalkan segala cara demi mendapatkan materi. 

Dalam surat Al Jum’ah tadi disebutkan bahwa rizqi adalah apa yang telah Allah persilahkan untuk manusia. Dengan rahman rahim-Nya Allah telah menghamparkan rizqi di bumi untuk seluruh makhluk-Nya. 

Manusia diberikan keistimewaan berupa akal dan indera untuk dapat memperoleh rizqi yang lebih banyak dari makhluk lainnya. Hal itu dikarenakan manusia telah tercipta dengan kodrat asal sebagai khalifah. Yaitu mandat ilahiyah bagi seluruh manusia, dan dengannya mereka memanfaatkan alam semesta dan melestarikannya. 
Perkara menjadi khalifah bukanlah hal yang mudah. Hal ini selaras dengan kompensasi yang akan didapat ketika melaksanakan mandat itu dengan baik. Sebagai ganjaran setelah mendapatkan mandat tersebut, manusia diberikan hak oleh Allah untuk memanfaatkan alam semesta demi keperluan mereka. 

Allah pun telah menaklukan alam untuk manusia.  Sehingga bila demikian, tanpa kuasa Allah manusia tidak akan bisa mendapatkan apa-apa dari alam semesta, atau bisa jadi tanpa mandat khalifah ini, manusia tidak ada bedanya dengan makhluk lain yang harus melalui seleksi alam, di mana kekuatan adalah segalanya, seperti yang diprediksikan oleh Charles Darwin dalam teori evolusinya. 

Maka oleh karena itu, keyakinan akan kuasa Allah adalah hal pertama yang perlu untuk ditanamkan dalam diri sehingga seseorangbisa memiliki sikap mental yang benar dan akan membuahkan produk perbuatan yang benar pula.
Keimanan akan mempengaruhi jiwa sehingga darinya muncul semacam instruksi kepada fikiran dan jasad untuk memproduksi perbuatan. Sejatinya proses ini adalah apa yang disebut sebagai basis moral dalam perbuatan. 

Tidak ada perbuatan yang tidak dilandasi dengan landasan moral. Seseorang melakukan perbuatan karena menurutnya benar, dan juga sebaliknya. Keimanan kepada Allah lah yang membantu jiwamanusia untuk mendefinisikan antara baik dan buruk. 

Karena manusia tidak bisa menentukan nilai baik dan buruk sendiri, secara dia adalah makhluk yang ditempatkan di tempat di mana selain dia telah ada, sehingga manusia berada pada medan yang telah terbentuk dengansegala macam hukum yang teratur, dan dia pun terikat dengan hukum tersebut. 
Makanya, bisa jadi apa yang baik menurut manusia belum tentu hakikatnya adalah baik, seperti yang telah dijelaskan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 216.

Memahami struktur kerja sebagai khalifah seperti ini akan memberikan imaginary design tentang bagaimana seseorang seharusnya bersikap dalam berbuat. Menghindari perbuatan yang buruk atau cara-cara yang tidak baik meski hasil yang diinginkan baik adalah bentuk dari jihad yang sebenarnya. 

Rasulullah bersabda bahwa bentuk jihad yang paling besaradalah jihad melawan hawa nafsu.Nafsu yang selalu condong pada maksiat dan kerusakan. Ketika seseorang berkerja dan berbuat bukan atas dasar nafsunya, namun atas dasar akal dan hatinya, maka sejatinya ia telah menumbuhkan profesionalitas kerja. 
Hal itu terlihat dari optimalisasi dan kinerjanya yang sungguh-sungguh dan didasarkan pada keikhlasan jiwanya. Ikhlas adalah dasar profesionalitas yang tanpanya tidak mungkin seseorang mau berkerja secara maksimal.

Oleh sebab itu, keikhlasan harus tumbuh dalam diri seseorang dalam proses jihadnya, dan itu tidak akan terjadi tanpa hadirnya ilmu dan iman dalam jiwa.

Demikianlah pengaruh keimanan pada profesionalitas kerja. Ia tidak hanya sekedar rumus keyakinan, namun lebih dari itu mempengeruhi fikiran hingga kinerja fisik dalam berbuat. 

Baca Juga : Beberapa Kesalahan Kebanyakan Orang Dalam Memandang Politik Dalam Islam

Ia seperti cara pandang manusia dalam menentukan aspek benar salah dari perbuatannya. Kebahagiaan atau kesengsaraan yang timbul adalah hasil dari persepsinya tentang dua hal tersebut. 

Maka bila nilai baik buruk tadi hanya didasarkan pada persepsi rasio manusia, tentu akan menimbulkan konflik, karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda. 

Oleh sebab itu, seharusnya nilai didefinisikan oleh iman sebagai informasi langsung dari Allah subahanhu wata’ala, sehingga ia menjadi universal dan harmoni pun tercipta.   

Wallahua’lam bi ash showab.

 Baca Juga : Cara dan Syarat Masuk Gontor


2 komentar: