Breaking

Kamis, 14 April 2022

Edisi 53 : Ramadhan dan Hidayah


Oleh: Fuad Muhammad Zein
(IKPM Gontor Cab. Solo Raya)

Dalam surat Al Baqarah ayat 185 disebutkan bahwa ciri bulan Ramadhan adalah bulan di mana di dalamnya diturunkannya Al Qur’an yang merupakan hidayah atau petunjuk bagi seluruh manusia. 

Bahkan dalam hadits riwayat Imam Ahmad bin Hanbal bahwa seluruh kitab suci yang diturunkan sebelum Al Qur’an pun diwahyukan di bulan Ramadhan.

Fakta data ini seperti mengatakan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang tepat untuk diturunkannya wahyu yang merupakan sumber hidayah. Lantas apa hubungan antara turunnya wahyu dan bulan Ramadhan yang didalamnya disyari’atkan Ibadan puasa?

Al Qur’an sebagai Sumber Hidayah

Pertama, seperti yang telah umum diketahui bahwa kebenaran Al Qur’an telah teruji selama berabad-abad. Pada awal masanya Al Qur’an memberikan jawaban bagi Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wa sallama untuk menjawab segala macam pertanyaan, kritik dan keraguan yang diberikan oleh kaum kafir. Hingga hari ini pun semua informasi yang diberikan Al Qur’an telah terbukti kebenarannya.

Christian Cherfils dalam karyanya Napoleon and Islam mengutip pernyataan Napoleon Bonaparte yang mengatakan bahwa ia ingin membangun sebuah peradaban dan sistem social yang berdiri di atas prinsip-prinsip Al Qur’an karena menurutnya telah terbukti membawa kepada kebahagiaan dan kesejahteraan.

Dr. Ahmad Al Qadhi, seorang pakar kedokteraan asal Amerika telah melakukan sebuah eksperimen dengan memperdengarkan bacaan ayat-ayat Al Qur’an kepada lima orang sukarelawan non-muslim. Hasil eksperimen tersebut menunjukkan bahwa Al Qur’an terbukti mampu mereduksi ketegangan saraf dan mendatangkan ketenangan.

Kebenaran Al Qur’an juga tak terbantahkan ketika seorang mantan missionary bernama Dr. Gary Miller berambisi mempermalukan Islam dengan menemukan kesalahan dalam Al Qur’an, tapi justru tersungkur dan semakin menemukan kebenaran-kebenaran dalam Al Qur’an yang kemudian membawanya pada Islam.

Maka tidaklah salah ketika Al Qur’an menyebutkan Al Qur’an sebagai bayyinaat atau bukti, penjelas dengan penjelasan yang paling jelas dalam banyak hal. Fungsinya sebagai penjelas dan bukti ini sekaligus juga berperan dalam memberikan pembedaan dari keburukan, kebathilan dan kesengsaraan.

Secara logika setiap yang jelas kebenarannya pasti jelas pula kesalahannya. Artinya bahwa ketika Al Qur’an menjelaskan kebenaran suatu perkara, maka dalam ayat itu pula dijelaskan letak kesalahannya. 

Sebagai contoh, ketika Al Qur’an menyampaikan kepada manusia untuk beribadah kepada Allah, maka sejatinya tanpa disebutkan keuntungan dari perintah tersebut, bisa dipahami bahwa beribadah kepada Allah itu benar dan tidak beribadah kepada Allah adalah salah. 

Kemudian, karena perintah dan penjelasan itu dari Allah Yang Maha Benar, maka dipahami pula kebenaran menghasilkan kebahagiaan dan kesejahteraan, dan keburukan menghasilkan kesedihan dan kesengsaraan.

Demikianlah Al Qur’an sebagai petunjuk yang jelas bagi manusia. Sebagai petunjuk Al Qur’an pun bisa dipahami oleh seluruh manusia dari seluruh lapisan masyarakat. Bahkan yang non-muslim pun bisa memahami Al Qur’an, dengan syarat harus jujur dalam mengkajinya. 

Allah telah berfirman dalam surat Al Qamar ayat 17, “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Alquran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”. Ayat tersebut menegaskan bahwa Al Qur’an mudah untuk dibaca dan dipahami. 

Dalam Tafsirnya Ibn Katsir mengutip perkataan Ibn Abbas bahwa bila Allah tidak memudahkan Al Qur’an, maka tidaklah ada orang yang mampu berbicara dengan menggunakan kalamullah. 

Selain itu, Ibn Katsir juga menambahkan keistimewaan Al Qur’an dalam ayat ini dengan surat Shad ayat 29, di mana ayat tersebut menjelaskan bahwa Al Qur’an penuh dengan keberkahan dan ilmu pengetahuan bagi orang yang mau berfikir.

Puasa dan Kesiapan Jiwa menerima Hidayah

Al Qur’an sebagai petunjuk tidak lagi diragukan kebenarannya. Dalam pembukaan surat Al Baqarah dengan jelas Allah menjamin bahwa tidak terdapat keraguan dalam Al Qur’an. Jaminan ini menunjukkan bahwa Al Qur’an berisi ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. 

Kepentingan ilmu dalam Al Qur’an adalah memberi petunjuk bagaimana mengelola kehidupan ini agar tidak menimbulkan kerusakan dan kerugian. Namun untuk bisa menangkap petunjuk dalam Al Qur’an ini membutuhkan sikap batin yang jernih serta keimanan mutlak yang terbebas dari keraguan kepada Allah.

Namun perlu dipahami, bahwa petunjuk berbeda dengan ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan merupakan wasilah menuju petunjuk atau hidayah. Ilmu pengetahuan bisa dicapai oleh semua orang, namun petunjuk hanya bisa diraih oleh orang yang beriman, atau seseorang yang memiliki kecenderungan mencari kebenaran dalam Islam. 

Bisa saja seorang non-muslim menemukan kebenaran dalam Al Qur’an, namun belum tentu membawanya kepada keimanan Islam meski ia mengaku bahwa apa yang ada dalam Al Qur’an tidaklah ada keraguan ataupun kesalahan. Namun bisa juga seorang muslim yang kurang bisa menangkap petunjuk dalam Al Qur’an karena keislamannya belum seutuhnya.

Imam Al Ghozali mengatakan bahwa untuk bisa mendapatkan petunjuk dan pengetahuan dari Allah, seseorang harus memiliki jiwa yang bersih lagi jernih. Keimanannya menghiasi hati, pikiran dan lisannya. Ia tidak suka ghibah, menghindari pembicaraan yang syubhat dan selalu memelihara dirinya dari hal-hal yang buruk. 

Intinya bahwa seseorang yang ingin mendapatkan pengetahuan dari Allah, ia harus pandai dalam menahan diri dari hal-hal yang membuatnya terjerumus pada kemaksiatan. Seperti nasihat Guru Imam Syafi’i bahwa syarat mendapatkan ilmu adalah meninggalkan kemaksiatan. Sikap ini bisa diperoleh dalam ibadah puasa.

Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda, bahwa barangsiapa yang melaksanakan puasa dengan penuh keimanan dan penuh pengharapan untuk mendapatkan pahala, maka ia akan diampuni dosa-dosanya. 

Kalimat ihtisaban dalam hadits tersebut juga bisa dipahami sebagai introspeksi diri atau muhasabah diri. Sikap yang selalu berusaha untuk mengevaluasi dirinya dengan menyadari kesalahan-kesalahannya dan diiringi dengan taubat untuk tidak mengulanginya lagi agar Allah berkenan mengampuninya. 

Hasilnya adalah kemurnian diri selepas bulan Ramadhan. Bahkan dalam hadits Imam Ahmad nomor 1596 dipermisalkan seperti layaknya bayi yang baru lahir. Kebersihan jiwa ini akan menjadikannya pribadi yang baru. Siap untuk mendapatkan pengajaran dan pengetahuan, dan bisa akan cepat menangkap segala macam bentuk informasi dari ayat-ayat Allah. 

Pengetahuan itu tidak hanya akan meningkatkan pengetahuannya, namun juga meningkatkan kepribadiannya. Karena segala macam ego dan kesombongan hilang sehingga tidak ada potensi untuk menolak segala yang ia dapat dari kebenaran Al Qur’an.

Dalam hal ini kualitas puasa seseorang menentukan hasil penangkapan hidayah. Bagi mereka yang menjalankan puasa hanya sekedar rutinitas tahunan tanpa ada dimensi ruhani, maka ia hanya akan mendapatkan lapar dan dahaga saja, seperti yang dijelaskan dalam hadits Nabi yang dikutip dalam tafsir At Thobrony. 

Tapi mereka yang berpuasa dengan penuh ketundukan, menyiapkan ruh dan jasadnya untuk menghamba pada Allah dengan berpuasa, maka ia bisa menangkap hidayah tersebut. 

Bila hidayah ini dimaksudkan dengan pengetahuan akan tuntunan menjalani hidup, maka bisa disimpulkan bahwa mereka yang mendapatkan hidayah ditandai dengan meningkatnya kecerdasan spiritualnya. 

Menurut Ary Ginanjar, dengan mengutip perkataan Danah Johar dan Ian Marshal, bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan dan jalan hidup seseorang lebih bermakna dari yang lain.

Sehingga dengan demikian, mereka yang sampai pada kecerdasan spiritual yang bagus memiliki kualitas pribadi yang sama dengan mereka yang mendapatkan hidayah. Meski dalam beberapa aspek berbeda karena hidayah harus didahului dengan keimanan. 

Namun sikap seperti profesionalitas dalam berkerja, menghilangkan ego diri, tidak mengedepankan kepentingan pribadi, menjauhi perbuatan zalim, dan hidupnya penuh dengan motivasi yang mendorongnya terus maju dan berkembang. Ia juga lebih memahami hidupnya dari pada orang yang tidak mencapai kecerdasan ini. 

Ciri-ciri tersebut juga terdapat pada orang-orang beriman yang berhasil menjalankan puasa dengan kualitas tinggi, atau puasa pada tingkat khowashul khowash dalam bahasanya Imam Al Ghazali, atau puasa pada tingkat kekhususan yang tinggi karena menyertakan kehadiran hati dan jiwa dalam puasa.

Demikianlah bagaimana korelasi antara puasa dan hidayah. Bagaimana memahami hubungan antara diturunkannya wahyu atau Al Qur’an di bulan yang disyari’atkan puasa. 

Al Qur’an sebagai sumber hidayah adalah materi pengajaran, dan puasa adalah proses pembelajarannya dalam mempelajari Al Qur’an. Hasilnya adalah ketaqwaan yang termanifestasikan dalam kualitas pribadi yang lebih baik. 

Wallahu a’lam bi ash showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar