Breaking

Kamis, 11 Maret 2021

Edisi 44 : Islam: Keimanan dan Ibadah


Oleh: Fuad Muhammad Zein

(IKPM Solo Raya)

Islam adalah sebuah agama, yang tidak hanya berfokus dalam hal-hal yang berkaitan dengan ritual keagamaan saja, melainkan lebih luas mencakup pada segala segi kehidupan manusia. Ia menjanjikan sebuah imbalan terhadap siapa saja yang meyakininya dan menjadikannya pedoman dalam kehidupan, dengan memberikan sebuah keadilan mutlak yang akan didapatkan dalam kehidupan kekal yang akan datang. 

Namun hal tersebut menuntut adanya pengembangan daya spiritual dari setiap individu yang diperlihatkan dan tercermin dalam setiap perilaku individu dan dalam hubungan sosial masyarakat. 

Hal ini untuk membuktikan bahwa adanya perubahan dalam diri individu tersebut kepada yang lebih baik, dan juga untuk mendapatkan keselamatan yang akan ia dapatkan dalam pembalasan yang kekal nantinya. 

Baca Juga : Prasangka Baik Terhadap Allah SWT

Oleh karena itu, Islam tidak hanya memiliki visi masyarakat yang adil, tetapi juga menyajikan prinsip-prinsip dari cara hidup bagi individu, keluarga, masyarakat, Negara dan hubungan kehidupan dunia untuk menjamin keamanan, keseimbagan dan juga keadilan dalam segala bidang kehidupan manusia.

Islam menawarkan adanya basis moral dan peraturan-peraturan yang terorganisir untuk mengatur hubungan antara pria dan wanita, yang tua dan yang muda dalam keluarga besar maupun kecil, dalam masyarakat, dan juga antara kaya dan miskin, pemerintah dan rakyat, dan antara muslim dan lainnya dalam masyarakat lokal dan internasional. 

Seperti halnya ideologi-ideologi lainnya, Islam tidak menyediakan peraturan-peraturan dan program-program tersebut secara detail, karena hal-hal yang terperinci akan selalu berubah dengan adanya perubahan tempat dan waktu di mana manusia tinggal. 

Baca Juga : Mengemas Cara Pandang Islam Dengan Media Ala Generasi Millenial

Dan karena inilah justru keistimewaan Islam terlihat. Islam memberikan ruang yang luas untuk kreativitas akal manusia untuk menanggulangi perubahan-perubahan yang muncul. 

Hal ini karena akal manusia adalah pemberian dan anugerah Tuhan yang seharusnya digunakan dan dikembangkan sepenuhnya, dan tidak seharusnya terbatasi dan cacat oleh karunia dan pemberian Tuhan yang lainnya, karena semuanya adalah dalam bimbingan-Nya.

Bimbingan Allah dalam kehidupan manusia mutlak adanya. Dia-lah Yang Maha Esa yang telah menciptakan manusia dan memberikannya segala daya spiritual, moralitas, dan juga kemampuan intelektual, serta menurunkan pesan-pesan-Nya sebagai pembimbing manusia. Keduanya tercipta selaras dengan kebenaran. 

Demikian ini tidak ada kontradiksi antara keduanya, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. 

Baca Juga : Senjata Seorang Mukmin Dalam Menghadapi Gangguan Syaitan

Pesan-pesan tuhan bertujuan untuk mengembangkan manusia dalam totalitasnya: spiritualnya, moralitasnya, intelektualnya, fisiknya, individu dan kehidupan sosialnya, dan juga menjaganya melawan egoism tanpa menekan dan membatasi kemampuan individunya dan kreativitasnya. 

Bimbingan Ilahi ini mengembangkan dan memperbaiki individu melalui potensi spiritual penuh mereka dari kerusakan yang desebabkan cacat oleh keserakahan egoism dalam masyarakat materialistis, seperti yang diungkapkan oleh  filosof Amerika John Dewey.

Oleh karena itu, Islam bisa dipresentasikan dan diperuntukkan bagi kalangan non-muslim sebagai sebuah ideologi, dengan beberapa fleksibilitas dalam penggunaan istilah selama hal tersebut masih dalam ranah pemikiran manusia, atau juga bisa dijadikan prinsip-prinsip umum sebagai sebuah cara hidup yang komprehensif. 

Baca Juga : Time Is Learning: Mengajar Sebagian Dari Ketaqwaan Kepada Sang Kholiq

Secara alami, bagaimanapun, keyakinan para intelektual tidak mampu memberikan ukuran moral yang sama dalamnya, keluasannya dan juga keteguhannya sebagaimana komitmen agama terhadap hal ini, dengan melihat kepada penerimaan atas Penguasa Mutlak dan ganjaran yang datang dari-Nya. 

Kebebasan dan kesetaraan adalah bagi seluruh umat manusia, bagi mereka yang percaya dan beriman kepada Allah SWT, hasil yang nyata dari keimanan kepada Yang Maha Esa yang satu-satunya berdiri sendiri dan Maha Kuasa, “Dia-lah Yang Maha memiliki Keagungan”, “dan tiada satu pun yang mampu menyerupain-Nya”, dan “tiada satupun yang menyekutukan-Nya”. 

Semua manusia sama-sama ciptaan Allah SWT, dan mereka semuanya bebas selama dalam ketundukan atas hokum-hukum Allah SWT, dan juga setiap manusia setara derajatnya dengan manusia lainnya, tidak ada yang boleh merasa dirinya lebih mulia dari yang lainnya karena Allah telah menciptakan mereka sama. 

Seperti yang telah dinyatakan khalifah Umar bin Khattab r. a, ketika menegur pejabatnya yang ada di Mesir, yatu Amru bin ‘Ash, kerena anaknya telah menganiaya pemuda Mesir, “sejak kapan kau berhak memaksa seseorang menjadi budak, padahal mereka terlahir dari ibunya dalam keadaan bebas!”.

Baca Juga : Dikotomi Ilmu Dalam Islam

Pondasi aqidah yang disebutkan sebelumnya ini juga mengindikasikan bahwa keta’atan hanya kepada Allah. Artinya bahwa keta’atan selalu diiringi dengan ketentuan yang dengannya manusia ta’at dan patuh. Keta’atan itu adalah aturan atau hukum yang berisi perintah dan larangan. 

Dalam istilah Islam adalah hukum-hukum syari’ah. Dengan begini, bisa dikatakan bahwa tidak ada yang berhak membuat hukum selain Allah, atau dengan kata lain bahwa hak kedaulatan hanya milik Allah. 

Manusia hanya diberikan hak untuk mengembangkannya sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang sebagai tugas kreatif akalnya. Meski demikian perlu diperhatikan bahwa hasil pengembangan tersebut tidak boleh keluar atau melanggar ketentuan-ketentuan baku dan universal dari yang telah Allah tetapkan dalam Al Qur’an dan yang telah dijelaskan Rasul-Nya. 

Baca Juga : Al-Qur’an dan Embriologi

Maka dengan demikian, untuk bisa konsisten dengan ketentuan tersebut, dan terjaga dari hawa nafsu akal yang bebas, sesungguhnya seluruh manusia haruslah beriman dan menta’ati hukum-hukum Allah dan menghindari hukum-hukum selain dari-Nya.

Sehingga dengan demikian, dimensi religious dalam ideology Islam tidak berarti sebuah wujud system teokrasi. Tidak ada system kependetaan, setiap muslim yang mengetahui dan memahami kaidah bahasa dan hal-hal yang berkaitan dengan interpretasi ayat Allah, bisa dan berhak untuk menjelaskan maksud dan hokum-hukum dalam agama. 

Dan tidak ada klaim atas kuasa supra natural yang melegetemasi hal ini, kecuali atas kemampuan dan keimanan yang dimiliki oleh individu tersebut. Ia juga bukan sebuah system totalitarian. 

Baca Juga : Fitrah Politik dalam Islam

Karena Islam tidak mendikte setiap detail dalam kehidupan manusia. Islam memberikan panduan yang esensial yang membolehkan kreativitas akal manusia untuk memahami, menyimpulkan darinya, dan kemudian membangun teori di atasnya. 

Pemerintah yang berkuasa tidak bisa memonopoli dalam memberikan interpretasi bimbingan ilahi atau menawarkan solusi baru untuk masalah yang muncul dari atas tanpa melibatkan masyarakat, dan setiap orang dewasa yang waras dan memiliki kemampuan memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses tersebut.

Setiap individu berhak untuk melakukan koreksi atas ijtihad atau proses kreasi pengembangan hokum tersebut, selama memenuhi syarat dan ketentuan agar ia berhak untuk itu. 

Baca Juga : Menimbang Konsep Zuhud Dalam Menjalani New Normal

Jadi, meski semua orang berhak, tidak semuanya pun mampun dan bisa. Yang berhak dan bisa hanya mereka yang memenuhi kriteria keilmuan dan akhlaq. Selain itu hanya berhak untuk mengikuti. 

Seperti yang dijelaskan Al Farabi dalam karyanya Ara’ Ahlu Al Madinah Al Fadhilah, bahwa bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan masyarakat ke arah yang lebih baik, maka tidak berhak untuk memimpin, namun berhak untuk dipimpin. 

Maksud dari Al Farabi adalah bahwa mereka yang memimpin dengan kualifikasi keilmuan dan akhlaq memiliki tugas yang berat, yaitu menjaga kemaslahatan dengan berbekal hokum dan ketentuan Allah, sekaligus juga mereka bertugas untuk mengembangkan kompetensi dan kualitas dari mereka yang dipimpin.

Baca Juga : Tasawwuf Para Millenialis Sebagai Penyeimbang Tatanan Kehidupan

Demikianlah bagaimana Islam memadukan dimesi Iman dan Islam, antara keimanan dan ibadah. Keduanya tidak berdiri sendiri, melainkan satu kesatuan yang saling memadu sebagai panduan yang telah Allah berikan bagi umat manusia seluruhnya, dan bagi umat muslim khususnya. 

Maka bagi yang mampu untuk menjalankan keduanya, seperti yang dijanjikan Allah dalam Q.S Al Kahfi ayat 107, bahwa bagi mereka yang beriman dan beramal shalih, maka bagi mereka surga firdaus sebagai tempat tinggal. 

Wallahu a’lam bi ash shawab


Tidak ada komentar:

Posting Komentar