Oleh: Fuad Muhammad Zein
Politik pada awalnya dibentuk dengan tujuan untuk membawa segenap masyarakat pada kesejahteraan. Begitulah yang juga dipahami dalam Islam. Islam sebagai agama dengan doktrin rahmatan lil ‘alamin memberikan jaminan tersebut dalam setiap segi ajarannya. Maka bila berbicara politik dalam Islam, maka sejatinya fitrah setiap sistem politik seharusnya membawa pada kesejahteraan.
Apa yang salah pada fenomena politik saat ini adalah gambaran paradok dari fitrah politik. Pasalnya, apa yang didapati pada politik saat ini adalah kekacauan sosial. Isunya tetap sama, yaitu problem keadilan dan persamaan hak dalam kehidupan sosial.
Hal ini disebabkan karena kesalahan dalam orientasi politik, dan itu berawal dari kesalahan dalam memahami awal tujuan terbentuknya sistem politik yang berakhir pada penyalah gunaan fungsi politisi.
Baca juga : Menimbang Konsep Zuhud Dalam Menjalani New Normal
Bila dilihat dalam Al-Qur’an memang tidak akan ditemukan istilah politik. Namun meski demikian bukan berarti politik tidak ditemukan dalam ajaran Al-Qur’an. Al-Qur’an memberikan penjelasan global yang terkait dengan prinsip utama dalam proses politik. Ajaran-ajaran yang berkaitan dengan keadilan, persamaan hak, proses kehidupan sosial hingga fitrah alami manusia sangat jelas disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Dan nilai dari konsep-konsep tersebut adalah nilai utama dalam setiap proses politik, terutama yang berkaitan dengan konsep manusia.
Demikian itu karena secanggih apapun sebuah sistem politik, tetap saja subjek utamanya adalah manusia. Maka fitrah manusia merupakan representasi dari fitrah politik. Fitrah tersebut berawal dari pemahaman bahwa manusia merupakan ciptaan, dan setiap ciptaan diciptakan dengan sebuah tujuan.
Tujuan itu dengan sendirinya memunculkan hukum dan sistem cara bagaimana proses kemanusiaan berjalan menuju realisasi tujuan penciptaan manusia tersebut. Inilah apa yang disebut dengan khalifatun fil ardh.
Baca Juga : Tasawuf Para Milenialis Sebagai Penyeimbang Tatanan Kehidupan
Khalifah bukanlah sebuah jabatan yang memiliki kekuasaan absolut di bawah Allah seperti yang berlaku dalam pandangan Kristen dengan sistem theocracy nya. Melainkan kewajiban makhluk bernama manusia yang diciptakan istimewa dengan karunia akalnya untuk melestarikan alam semesta. Lagipula dalam konsep khalifah ini ada pertanggungjawaban yang harus dilakukan kelak dihari pengadilan nanti.
Demi pertanggungjawaban ini manusia dituntut untuk tidak berlaku curang dalam proses pengembanan misi khilafah. Ia harus melaksanakannya dengan sebaik mungkin, dan itu tidak akan mungkin terlaksana bila tidak menggunakan hukum yang telah ditetapkan Allah sebagai satu-satunya Pencipta alam semesta termasuk manusia.
Hukum Allah sebagai acuan dalam proses politik
Sebagai ciptaan, manusia sejatinya tidak perlu susah-susah untuk mengkonsepsi teori-teori yang berkaitan dengan proses kehidupan mereka. Sejalan dengan cara berfikir yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa sebenarnya bila manusia mau kembali pada pemahaman hukum-hukum
Penciptanya, maka akan muncul sebuah persamaan persepsi dalam mengatur kehidupan sosial. Bukan untuk mengatakan bahwa manusia cukup ikut hukum Allah, lantas meninggalkan potensi rasionalnya, melainkan potensi tersebut digunakan untuk proses kreatif dalam menghadapi fakta perbedaan kondisi yang muncul karena fakta perbedaan bangsa dan letak geografis. Oleh sebab itu, dalam surat Al-Hujurat ayat 13 ada kata li ta’arafu atau saling mengenal.
Baca Juga : Bahagianya Hidup Iman Yang Tentukan
Kata ta’aruf ini bila dilihat dari persepktif ilmu bahasa memiliki turunan kata dengan kata ma’ruf maupun ‘urfun. Kedua kata itu meski memiliki arti yang berbeda namun memiliki kesinambungan makna. Ma’ruf yang artinya kebaikan dan ‘urfun yang berarti adat atau kebiasaan adalah sesuatu yang biasa dilakukan demi sebuah kebaikan atau dengan tata cara yang baik. Baik ini tentu harus sesuai dengan fitrah penciptaan bukan baik menurut perpektif masing-masing. Di sinilah posisi hukum Allah dalam penciptaan. Sehingga sederhanya, dalam kehidupan politik setiap orang harus mampu memahami tujuan penciptaan sebagai basis ideologi politiknya dan mengkreasikan cara untuk mewujudkannya dengan memaksimalkan potensi rasionalnya.
Abul A’la Al Maududi menyebut konsep ini dengan hak kedaulatan manusia atas hak ke-Khalifahannya. Atau dalam bahasa lain ia menyebutkan dengan viceregency. Yaitu hak kreatif sebagai optimalisasi potensi akal dan inderanya untuk mengamalkan hukum Allah dalam kehidupan. Itu mengapa para ulama Islam, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, mendefinisikan politik sebagai jalan untuk melaksanakan dan mengaplikasikan hukum syari’ah.
Baca Juga : Doa Ramadhan Untuk Corona
Hukum syari’ah dipahami sebagai hukum alam yang telah Allah tetapkan sebagai hukum dasar penciptaan. Missal seperti kodrat laki-laki dan perempuan yang berbeda, adanya siang dan malam, siklus hidup dan mati bahkan hingga hukum-hukum alam yang terangkum dalam disiplin-disiplin ilmu eksakta juga merupakan manifestasi dari syari’ah.
Hukum syari’ah ini dibebankan terutama pada manusia, meski juga terikat pada makhluk lain. Hukum ini tidak bisa dirubah meski sejenius apapun manusia menggunakan potensi kreatifnya. Hukum ini hanya bisa dikembangkan dan dikreatifkan dalam rangka menyesuaikan perbedaan kondisi manusia yang sudah disebutkan tadi.
Dalam aspek-aspek mu’amalah dan ibadah hukum ini dirumuskan dalam fiqh. Jadi bisa disederhanakan bahwa hukum syari’ah tidak hanya sebatas halal haram, qisas dan lain sebagainya. Tapi lebih dari itu karena mencakup hukum yang ada di seantero jagat raya ini. Maka dengan memahami syari’ah, dan mengaplikasikannya, manusia mampu menjaga kelestarian jenisnya dan juga alam di sekitarnya. Hanya saja, tanpa institusi kekuasaan hukum ini tidak akan bisa dilaksanakan dengan baik. \
Baca Juga : Keteladanan Adalah Kunci Kemaslahatan
Oleh sebab itu pulalah Imam Al Ghazali menyebut bahwa agama dan kekuasaan bagai pondasi atau pokok dan penjaganya. Setiap yang tidak memiliki pondasi atau pokok akan tumbang, dan setiap yang tidak berpenjaga akan hilang. Demikianlah hubungan harmonis antara politik dan syari’ah. Keduanya diperlukan untuk mensukseskan misi manusia menjadi khalifatun fil ardh.
Maka dari sini dipahami bahwa fitrah politik dalam Islam adalah harmonisasi kehidupan manusia dalam naungan keimanan. Politik bukanlah tujuan semata tentang kekuasaan, melainkan penegakan hukum Allah demi terlaksananya tujuan penciptaan manusia sebagai khalifah. Al Farabi menyatakan bahwa setiap system politik akan gagal bila tidak memahami makna kebahagiaan yang hakiki, dan pengetahuan akan makna tersebut sangat vital bagi seseorang yang mengemban mandate kekuasaan. Dan ilmu tentang kebahagiaan yang hakiki ini hanya ada pada pengatahuan akan ketuhanan, yang dalam pandangan Al Farabi tentu tentang ‘aqidah Islam. Wallahu a’lam bi ash showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar