Breaking

Jumat, 26 Juni 2020

Edisi 36 : Menimbang Konsep Zuhud Dalam Menjalani New Normal


Oleh : Ghulam Falach L.c.,M.Ag.
Anggota IKPM Blitar

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ أَتَى النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِى عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِىَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِىَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم  ازْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِى أَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوكَ

Segala puji bagi Allah SWT, rabbunnas Maha pemberi kasih sayang dan nikmat kepada seluruh makhluknya. Sholawat serta salam tidak lupa disematkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan petunjuk kepada jalan yang terbaik bagi seluruh umatnya.

Tontonan berupa perubahan kebiasaan hidup masyarakat telah tersaji di masa pandemi Covid-19. Perubahan ini semakin lengkap dengan mulusnya agenda percepatan era modernitas yang ditandai dengan makin jelasnya ketergantungan hidup pada kemajuan teknologi.

Baca Juga :  Tasawuf Para Milenilalis Sebagai Penyeimbang Tatanan Kehidupan

Dimensi sosial semakin terkikis dengan adanya himbauan social distancing pada seluruh daerah yang terpapar demi mencegah penyebaran wabah. Istilah “di rumah saja” menjadi  salah satu konsekuensi dari penerapan social distancing ternyata mengharuskan penyediaan teknologi agar kenyamanan ketika berada di rumah terlengkapi. Pada dasarnya, ketergantungan akan teknologi menjadi semakin kuat selama berlangsungnya pandemi COVID-19.

Massifnya penggunaan teknologi pada masa pandemi dirasa dapat membuat segala sesuatu menjadi serba mudah dan praktis. Meski di lain sisi hal ini dapat mengakibatkan potensi sikap dan perilaku hidup yang serba instan dan pragmatis.

Bahkan dengan kecanggihan teknologi ini seakan ramalan para intelektualis akan ganasnya percepatan teknologi yang menjadikan pola hidup individualis, materialis, dan konsumeris semakin terealisasi.

Baca Juga : Bahagianya Hidup Iman Yang Tentukan

Dilansir dari laman website bps.go.id bahwa prosentase pengeluaran dari segi konsumsi di masa pandemi terjadi peningkatan mencapai 25% hingga 50% dibandingkan sebelum adanya pandemi.

Ganasnya percepatan teknologi yang berakibat perubahan pola hidup ini didukung dengan adanya peraturan pemerintah untuk melakukan aktifitas di rumah saja dengan harapan dapat memutus rantai perkembangan wabah.

Perubahan keadaan saat ini kemudian terus berlangsung dengan munculnya  kebijakan baru atau disebut dengan new normal. Meski pada dasarnya new normal dilakukan untuk menormalkan kembali keberlangsungan hidup seperti sedia kala yang disesuaikan dengan protokoler kesehatan yang berlaku, akan tetapi masih banyak pihak yang mengkritisi akan ketidak siapan seluruh lini masyarakat dalam menyambut kebijakan ini.

Tidak bisa dipungkiri bila ada sebagian pihak berpendapat bahwa new normal merupakan tawaran lain dari produk modernitas untuk melancarkan kepentinganya.

Baca Juga : Do'a Ramadhan Untuk Corona

Dikatakan demikian karena potensi pemberdaya gunaan teknologi akan semakin berkelanjutan, mengingat setiap lini kehidupan belum merasa siap menjalani new normal kecuali dengan bantuan teknologi. 

Terlepas dari fenomena yang terlalu menduniawi ini, alangkah lebih baik sebagai manusia yang hidup dengan keyakinan agama hendaklah menyeimbangkan ranah keduniawian ini dengan hal-hal yang berhubungan pada kepentingan akhirat.

Mungkin tawaran untuk ber new normal menggunakan anjuran dokter sufi bisa kita terapkan melalui salah satu metode ajaran Islam.

Dalam hal ini konsep zuhud dirasa cukup sesuai sebagai obat penawar keadaan ini agar tercipta keseimbangan antara  keduniawian dengan kepentingan akhirat.

Baca Juga : Keteladanan Adalah Kunci Kemaslahatan

Tidak bisa dipungkiri bila pemandangan pro dan kontra akan persepi berzuhud telah lama terjadi. Konsep zuhud dijadikan sebagai salah satu indikator dari kemunduran Islam, terutama bila dibenturkan dengan tatanan perekonomian kehidupan.

Stigma yang banyak bermunculan berupa wujud konsep zuhud yang diartikulasikan dalam kehidupan tanpa ketergantungan harta dan terkesan miskin telah menjadi polemik yang berkepanjangan seiring berkembangnya zaman.

Zuhud banyak dimaknai sebagai sikap menjauh dari dunia, terasing dari keramaian, terbelakang, dan tak selaras dengan gaya hidup modern. Padahal pada dasarnya Rasulullah Muhammad SAW telah jelas mengajarkan para umatnya untuk hidup secara zuhud, hal ini sesuai dengan hadits Nabi:

“Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang hasan)

Baca Juga : Makna Keadilan Dalam Islam 

Bila menelaah kembali makna hadits tersebut, tentunya zuhud bukanlah hal yang perlu dikompromikan lagi, karena hal itu sesuai dengan sunnah Nabi. Akan tetapi bila melihat adanya polemik seputar zuhud, besar kemungkinan hal ini disebabkan oleh perbedaan sudut pandang dalam memaknai istilah zuhud itu sendiri.

Menelisik kembali makna zuhud secara bahasa, dimana zuhud itu berarti raghaba ‘an syaiin wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Bila dikatakan, Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Orang-orang yang melakukan zuhud disebut zahid atau zuhhad.

Poin penting yang perlu digarisbawahi adalah bahwa zuhud dalam pengertian yang sebenarnya bukanlah anjuran untuk lepas dari aktivitas duniawi, meski zuhud lebih berkaitan dengan hati. Zuhud dalam pengartianya bukan mengharuskan untuk meninggalkan pekerjaan duniawi, akan tetapi zuhud lebih memfokuskan diri pada bagaimana sikap batin kita terhadap pekerjaan duniawi yang bersifat fana dan sementara.

Baca Juga : Kesatuan Antara Ilmu Dan Iman

Rasulullah SAW telah memberikan contoh berzuhud kepada umatnya, dimana ketika batin umatnya ketika melakukan kegiatan duniawi membuat ikatan dengan Allah SWT nisacaya akan dianugerahi keberkahan sesuai dengan hadis yang berbunyi:

Dikatakan oleh Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah SAW berdo’a, “Ya Allah, anugerahkan kepada kami rasa takut kepada-Mu yang membatasi antara kami dengan perbuatan maksiat kepadamu dan berikan ketaatan kepada-Mu yang mengantarkan kami ke surga-Mu dan anugerahkan pula keyakinan yang akan menyebabkan ringan bagi kami segala musibah di dunia ini.” (HR.Tirmidzi, An Nasa’i, Al Hakim dan Al Baghawi).

Melihat kondisi new normal yang diiringi dengan semakin mewabahnya pandemi ini dibutuhkan hadirnya sikap zuhud pada setiap diri individu. Sikap individualisme, serakah, dan cinta dunia sudah selayaknya ditekan dan diganti dengan sikap zuhud.

Baca Juga : Ontologi Persatuan Umat Dalam Sholat

Zuhud dalam hal ini bisa direalisasikan melaui bentuk sikap saling berbagi dan saling menyantuni. Banyaknya lapangan pekerjaan dan sumber nafkah keluarga yang hilang akibat pandemi COVID-19 bisa bersama ditanggulangi melalui sikap zuhud tersebut.

Dari sini bisa kita ambil hikmah bahwa sesungguhnya konsep zuhud sangat kontekstual untuk diterapkan sebagai fungsi norma baru dalam menjalani kebijakan new normal di masa pandemi COVID-19.

Wallahu muwafiq ila aqwami thoriq!!

Baca Juga : Memaknai Lagi Arti Kembali Kepada Fitri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar