Oleh: Ghulam Falach L.c, M.Ag.
(Anggota IKPM Blitar)
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَهَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ باِلعِلْمِ (رواه البخار و المسلم )
Teknologi berkembang karena semakin cerdasnya manusia mengatasi problematika hidupnya sendiri, bahkan kemalasan, pengangguran, dan kekerasan pun nampak memiliki landasan teoritis yang tak kalah intelektualnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia telah berevolusi mulai dari tingkat kecerdasan pemikiran hingga tindakanya. Akan tetapi apakah kemajuan itu sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang semakin terjamin atau justru sebaliknya?
Branding millennial telah melekat dan menggaung lebih jauh dari suara kolonial yang jadul dan usang, dimana dalam gaungan ini banyak terjadi percepatan dalam perubahan tatanan kehidupan. Kekhawatiran terjadi ketika percepatan ini mengandung unsur pelepasan diri dengan Sang Pencipta dan malah lebih banyak memfokuskan tatanan percepatan melalui manusia itu sendiri.
Sadar ataupun tidak sadar manusia mulai menyematkan diri mereka sebagai tuan atas dirinya sendiri. Keadaan yang demikian cenderung memposisikan manusia sebagai budak alam bawah sadar mereka sendiri dimana segala sesuatunya hanya menginginkan kenikmatan tanpa adanya batasan.
Mungkin sekilas semuanya terlihat baik-baik saja, akan tetapi apakah manusia menyadari akan terkikisnya dimensi spiritual dan moral? Bisa dikatakan bahwa generasi milenial telah menjadi korban revo¬lutif, hedonistik, dan budaya yang serba instan, namun mereka gagal dalam menempatkan etika, moral, serta agama yang notabene merupakan pegangan untuk selalu dipegang dan diaplikasikan ke seluruh tatanan kehidupan.
Melihat kondisi dimana visi ke-ilahian dan kemanusian mulai hilang, apakah ilmu dan agama dapat memberikan formula dalam menghadapi hal yang demikian?
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an:
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ “
Refleksi ayat tersebut dengan jelas menegaskan bahwa Islam sebagai agama telah memerintahkan seseorang untuk mencurahkan segala pikiran dan tenaga demi kesuksesan tatanan kehidupan akhirat.
Akan tetapi Islam juga tidak menganjurkan para pemeluknya untuk melupakan segala sesuatu dalam urusan duniawi. Segala sesuatu dan beragam nilai yang Islam ajarkan tentang dunia dan akhirat telah menunjukkan bahwa Islam begitu memperhatikan pentingnya keseimbangan dalam seluruh tatanan kehidupan.
Sebagai seorang hamba dengan sematan julukan khalifatullah maka harus senantiasa bertafakkur dan bertadabbur untuk mewujudkan keseimbangan alam semesta.
Generasi millennial merupakan komunal hamba yang harus mendasari dan mengekspresikan model tatanan kehidupan dengan sekitar dan ajaran agama, bukan hanya mengekspresikan diri sendiri sesuka hati tanpa batasan.
Pada kondisi ini bagaimana model ajaran keagamaan dapat menjembatani pemikiran dan pengekspresian diri para millenialis?.
Ketertarikan untuk mengulik lebih lanjut akan keresahan ini dimulai saat menemukan beberapa literasi yang salah satunya dikemukakan oleh Ibnu Attha’illah dalam kitabnya Miftakhu al Falakh wa Misbakhu al Arwah yang memaparkan :
تطهير النفس من كل خلق دنىء - المجاهدات البدنية من الجوع والعطش و العرى - ترك الكونين من قلوبهم, و الايثار بما في ايديهم الى اخوتهم من خلق الله تعالى , والاعتماد على الله تعالى في جميع امورهم و الرضى - القناعة
Dapat diambil hikmah dari literasi tersebut, dimana sebagai hamba Allah SWT yang kekinian, hendaknya untuk membersihkan jiwa dari segala kekotoran percepatan zaman.
Hal ini bisa ditempuh salah satunya dengan melatih diri dari ketergantungan akan makanan, minuman, dan kesenangan yang notabene kesemua itu merupakan kebutuhan dan sudah mendarah daging dalam kehidupan manusia.
Pembersihan jiwa tersebut secara tidak langsung juga merupakan bentuk sikap untuk menghilangkan ketergantungan pada selain Allah SWT, maka akan tumbuh rasa qana’ah. Tumbuhnya rasa untuk merasa cukup akan mewujudkan keseimbangan diri sebagai hamba yang berkaitan dengan sekitar dan berhubungan juga dengan Sang Pencipta.
Keseimbangan bisa kita lihat ciri-cirinya:
أَنْ لَا تَفْرَحَ بِالْمَوْجُوْدِ وَلَا يَحْزَنَ عَلَى اْلمَفْقُوْدِ وَلَا يُسْغِلُهُ طَلَبُهُ وَالتَّمَتُّعُ بِهَا عَمَّا هُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ
Mengapa seseorang cenderung dilarang untuk terlalu fokus kepada perihal keduniawian? Karena hakikat dunia merupakan bentuk sarana (washilah), bukan malah difungsikan sebagai tujuan (ghayah).
Atas nama keseimbangan maka kita harus menjadikan sarana ini dengan baik agar predikat hamba lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai Sang Pencipta bisa lebih dirasakan realisasinya.
Sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Qur’an:
هُوَ الَّذِی خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَ الْاَرْضَ فِی سِتَّةِ اَیَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰی عَلَی الۡعَرْشِ یَعْلَمُ مَا یَلِجُ فِی الْاَرْضِ وَ مَا یَخْرُجُ مِنْها وَ مَا یَنْزِلُ مِنَ السَّمَآءِ وَ مَا یَعْرُجُ فِیْها ؕ وَ هُوَ مَعَکُمْ اَیْنَ مَا کُنْتُمْ وَ اللّٰہُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِیْرٌ
Artinya: “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Hadid: 57)
Dampak percepatan modernitas dari beberapa pemikir tentang islam bisa semakin terbantahkan dengan kemunculan wujud dan wajah reprentasi kebangkitan agama.
Para millenialis bisa menjadi salah satu bagian dari entitas penting dalam upaya keseimbangan tatanan kehidupan dan penjagaan terhadap nilai-nilai keislaman yang sangat penting sebagai pedoman.
Sebuah kecenderungan perubahan baru dimana wajah dan pola pemasaran agama lebih ditentukan oleh situasi objektif lingkungan dimana para millenialis berada merupakan wadah latihan untuk pengembangan dan pengekspresian diri.
Maka seyogyanya para millenialis sebagai umat Islam untuk selalu menjaga dan mendukung perkembangan entitas ini sesuai pedoman agama dan sekitar agar dapat menciptakan keseimbangan sesuai dengan hakikat manusia sebagai khalifatullah fi al ardhi.
Wallahu a’lamu bissowab!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar