Breaking

Kamis, 29 Agustus 2019

Edisi 30 : Kesatuan antara Ilmu dan Iman


Oleh: Fuad Muhammad Zein
(Anggota IKPM Solo Raya)

Sudah jamak diketahui bahwa rukun Iman dan rukun Islam merupakan bagian penting dalam ajaran agama Islam. keduanya bahkan menjadi syarat kesempurnaan seorang muslim. Rukun Iman merupakan sisi bathiniyah yang berkaitan dengan keyakinan seseorang dan menjadi basis psikologis seorang muslim hingga ia bersedia melakukan sebuah perbuatan. Sedangkan Rukun Islam merupakan bukti kongkrit dari aspek bathiniyyah tersebut dalam bentuk perbuatan lahiriyah. Sehingga dengan demikian, dipahami bahwa seharusnya seorang muslim yang mampu melakukan rukun Islam mendasarkan perbuatannya tersebut atas dasar keimanannya. Tapi seringkali ditemui bahwa banyak dari kaum muslimin yang tidak demikian, sehingga menjadikan ke-Islamannya tidak utuh. Ia sholat tapi masih korupsi, berhaji namun tidak meningkat kualitas ibadahnya, berpuasa tapi juga sering berghibah dan lain sebagainya.

Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya tentang surat Al Hujurat ayat 14 bahwa antara Iman dan Islam memiliki perbedaan. Keduanya merupakan sebuah tingkatan dari yang umum ke yang khusus. Seperti dalam hadits tentang Islam, Iman, dan Ihsan, juga berisi tentang tingkatan religiusitas seseorang. Sehingga bisa jadi seorang muslim tapi belum tentu mukmin apalagi muhsin, dan belum tentu seseorang yang sudah mukmin berarti muhsin. Tingkatan ini juga dinyatakan oleh seorang filusuf Muslim Abu Nashr Al Farabi bahwa pada hakikatnya manusia tidaklah sama, melainkan bertingkat sesuai dengan kualitas keimanan dan ketaqwaannya. Tingkatan ini pula yang kemudian menjadi parameter atau ukuran tentang pahala dan dosa. Apalagi bila hal ini dikaitkan dengan keilmuan seseorang. Artinya, bila semakin tinggi keilmuan seseorang, maka semakin besar pula pahala yang didapat apabila ia mengerjakan kebaikan. Namun bila ia justru melakukan maksiat, maka besar pula dosanya dibandingkan mereka yang tidak berilmu.

Ayat tentang hubungan ilmu dan iman juga menarik untuk diperhatikan. Karena, seorang yang beriman memang seharusnya berilmu, meski seseorang yang berilmu belum tentu beriman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama  bersabda:

مَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ مِنَ الهُدَى وَالعِلْمِ، كَمَثَلِ الغَيْثِ الكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا، فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ، قَبِلَتِ المَاءَ، فَأَنْبَتَتِ الكَلَأَ وَالعُشْبَ الكَثِيرَ، وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ، أَمْسَكَتِ المَاءَ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً أُخْرَى، إِنَّمَا هِيَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَلَأً، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِينِ اللَّهِ، وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا، وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ (رواه البخاري)

Artinya: “Permisalan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah. Maka ada tanah yang baik, yang bisa menyerap air sehingga menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah yang ajadib (tanah yang bisa menampung air, namun tidak bisa menyerap ke dalamnya), maka dengan genangan air tersebut Allah memberi manfaat untuk banyak orang, sehingga manusia dapat mengambil air minum dari tanah ini. Lalu manusia dapat memberi minum untuk hewan ternaknya, dan manusia dapat mengairi tanah pertaniannya. Jenis tanah ketiga adalah  tanah qi’an (tanah yang tidak bisa menampung dan tidak bisa menyerap air). Inilah permisalan orang yang memahami agama Allah, bermanfaat baginya ajaran yang Allah mengutusku untuk membawanya. Dia mengetahui ajaran Allah dan dia mengajarkan kepada orang lain. Dan demikianlah orang yang tidak mengangkat kepalanya terhadap wahyu, dia tidak mau menerima petunjuk yang Allah mengutusku untuk membawanya” (H.R. Imam Bukhori: No. 79)

Ibnu Qoyyim Al Jauziyah menjelaskan bahwa dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpamakan ilmu dan petunjuk bagaikan hujan. Hujan tersebut diturunkan oleh Allah kepada seluruh alam sehingga tidak ada seseuatu pun yang tidak dikenai oleh hujan. Hujan tersebut pun pada hakikatnya membawa manfaat bagi tanah dan juga manusia. Setiap sesuatu mengambil manfaat dari hujan. Sehingga sampai di sini dipahami bahwa ilmu dan hidayah merupakan satu kesatuan yang bermanfaat, sehingga sejatinya keduanya tidak bisa dipisahkan.
Kesadaran akan hubungan ilmu dan hidayah ini pun erat kaitannya dengan kualitas keimanan seseorang. Penjelasannya adalah bila keimanan dipahami sebagai sebuah bentuk keyakinan yang mengantarkan seseorang pada realitas mutlak sebagai asal mula segala sesuatu, maka seorang mukmin akan menyadari bahwa ilmu adalah sarana dalam mengenal Allah. Seperti inilah ilmu dibersamai oleh hidayah. Akan tetapi bagi seorang yang tidak beriman, keilmuannya akan berhenti pada realitas empiris atau hanya berhenti pada aspek fisik yang hakikatnya pasif. Dengan demikian, ia akan mengorientasikan pada aspek pragmatis dari ilmu yang ia dapat. Sehingga tidak mengherankan bila ada seseorang yang sama-sama menguasai keilmuan yang sama, berasal dari lembaga pendidikan yang sama, pengajar dan bukunya pun sama, namun terdapat perbedaan yang mencolok dalam aspek produk keilmuannya antara orang yang beriman dan yang kurang atau tidak beriman.

Demikanlah sejatinya ikatan antara ilmu dengan iman sangatlah erat. Keduanya saling melengkapi dan tidak bisa dipisahkan. Memisahkan keduanya akan berakibat pada kecelakaan. Demikianlah juga orang yang ber-Islam tanpa ilmu. Ia pun bisa sangat berpotensi untuk melakukan ibadah yang justru tidak sesuai dengan tuntunan Rasul. Orang yang beriman akan mampu meningkatkan keimanannya dengan ilmu. Oleh sebab itu, syarat peningkatan derajat seseorang adalah keimanan dahulu baru kemudian ilmu. Seperti yang difirmankan Allah dalam surat Al Mujadalah ayat ke 11:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa keilmuan orang mukmin akan membawa pada tahap etika yang tandanya adalah menghormati orang lain. Dengan demikian maka keilmuan orang yang beriman akan membawa perdamaian dan mengajak orang-orang disekitarnya untuk berkembang bersama. Tepat seperti perumpamaan hadits tentang hubungan ilmu dan hidayah bagaikan hujan yang menyburkan tanah. Sedangkan ilmu tanpa iman akan menjadikan penggunanya jauh dari sosok manusia ideal yang justru akan membawa pada kekacauan karena gagal dalam memahami ilmu yang ia punyai.
Keilmuan seorang muslim juga akan sangat penting dalam memberikan pemahaman yang lengkap tentang aspek ibadayah yang ia miliki. Saking pentingnya hal ini, sampai sampai Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallama pernah menyabdakan bahwa seorang yang ahli ilmu itu lebih tinggi derajatnya daripada ahli ibadah. Seperti yang diriwayatkan Imam Turmidzi dalam Sunannya:

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ»

“Kemudian Rasulullah SAW bersabda, "Keutamaan ahli ilmu atas ahli ibadah adalah seperti keutamaanku atas orang yang paling rendah di antara kalian."
Hadits di atas jelas mengatakan bahwa keilmuan seseorang lebih mulia daripada ibadahnya. Bukan berarti ibadah tidak penting, melainkan ilmu akan memberikan pemahaman yang jelas tentang bagaimana seharusnya ibadah itu diyakini dan diamalkan. Bahkan saking utamnya ilmu, sebuah riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah suatu hari melihat setan berada di salah satu sisi masjid, lalu Rasulullah mendatanginya dan bertanya perihal kehadirannya di masjid. Lantas setan pun menjawab bahwa ia takut kepada orang yang tidur di masjid tersebut daripada orang yang lagi sholat, disebabkan karena orang yang lagi sholat tersebut bodoh sehingga mudah untuk merusak sholatnya, akan tetapi berbeda dengan orang yang tidur itu karena ia adalah seorang ahli ilmu yang karenaya ia tidak mudah dibodohi dan dirusak sholat dan ibadahnya.

Demikianlah hubungan ilmu dan keimanan seseorang. Ilmu akan membangkitkan keimanan seseorang, sehingga ia mengenali hakikat dirinya di depan Allah subhanahu wa ta’ala. Hanya saja tidak berarti bahwa ilmu harus lebih dahulu ada daripada iman, melainkan keduanya bisa berjalan beriringan bagi dua sisi koin yang tidak saling mendahului. Semoga kita menjadi ahli ibadah yang berilmu. Wallahu a’lam bi ash showab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar