Oleh: Fuad Muhammad Zein
(Anggota IKPM Solo Raya)
“Trough prayer, fasting, and studying, God will answer”
(Monica Johnson)
Pandemi virus corona yang menjadi bencana global tahun ini memang membawa banyak hal.
Ada yang positif maupun negative. Semuanya tergantung perspektif masing-masing.
Lantas bagaimana seorang muslim melihat pandemic virus ini. Apakah juga positif atau negative? Untuk bisa menjawab pertanyaan itu perlu untuk mendefinisikan virus ini terlebih dahulu.
Corona adalah sejenis virus yang saat ini menyerang manusia dan telah mengakibatkan kematian. Tercatat hingga tanggal 22 April 2020 angkat kematian di seluruh dunia mencapai 177.293 jiwa.
Bila fakta ini kita pahami melalui firman Allah dalam surat Al Anbiya’ ayat 35 bahwa setiap jiwa pasti merasakan kematian, dan sebelum itu ia diuji dengan kebaikan dan keburukan, maka virus corona ini pun bisa dipahami sebagai sebuah bentuk ujian yang Allah berikan.
Hasil ujian itu hanya bermuara pada dua hal yaitu semakin beriman atau malah mendekati kekafiran dan kemurtadan.
Setiap muslim yang hatinya jernih akan memahami bahwa pandemi ini merupakan ujian keimanan yang diberikan Allah subahanahu wa ta’ala. Hal ini dipahami demikian karena tidak ada hal yang terjadi di dunia ini kecuali merupakan kehendak Allah subahanahu wa ta’ala.
Oleh karena itu, dimulainya dan berakhirnya pandemic ini pun tergantung kehendak Allah. Maka solusi utama untuk pandemi ini pun adalah berdo’a kepada Allah agar berkenan untuk mengangkat bencana ini.
Untuk itu, sebagai seorang yang beriman kepada Allah, umat muslim seyogyanya berbondong-bondong untuk mendekatkan dirinya kepada Allah agar diberikan segala keberkahan dan keamanan hingga bencana ini diangkat sebagai bentuk pengampunan Allah dan nikmat-Nya.
Seperti yang dijelaskan dalam surat Al Ma’arij ayat 19 sampai 24:
۞إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ خُلِقَ هَلُوعًا إِذَا مَسَّهُ ٱلشَّرُّ جَزُوعٗا وَإِذَا مَسَّهُ ٱلۡخَيۡرُ مَنُوعًا إِلَّا ٱلۡمُصَلِّينَ ٱلَّذِينَ هُمۡ عَلَىٰ صَلَاتِهِمۡ دَآئِمُونَ وَٱلَّذِينَ فِيٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ مَّعۡلُومٞ لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ وَٱلَّذِينَ يُصَدِّقُونَ بِيَوۡمِ ٱلدِّينِ وَٱلَّذِينَ هُم مِّنۡ عَذَابِ رَبِّهِم مُّشۡفِقُونَ إِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمۡ غَيۡرُ مَأۡمُونٖ وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِفُرُوجِهِمۡ حَٰفِظُونَ إِلَّا عَلَىٰٓ أَزۡوَٰجِهِمۡ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُمۡ فَإِنَّهُمۡ غَيۡرُ مَلُومِينَ فَمَنِ ٱبۡتَغَىٰ وَرَآءَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡعَادُونَ
Ayat di atas setidaknya memberikan gambaran bagaimana kondisi manusia pada umumnya dan bedanya orang beriman ketika menghadapi ujian dan cobaan.
Orang yang beriman dalam menghadapi ujian ini akan senantiasa meningkatkan ibadah, memperkhusyuk sholat, memeriahkan dengan cara bersedekah dan sebagainya. Intinya berikhtiar semaksimal mungkin sambil berdo’a agar diluluskan dalam ujian ini.
Karena sudah jelas bahwa Allah berfirman dalam surat Al Anfal ayat 53 bahwa tidaklah Allah merubah sebuah nikmat yang telah Dia berikan menjadi bencana kecuali manusia sendirilah yang merubahnya.
Maka langkah pertamanya adalah bermuhasabah diri untuk mengenali kesalahan dan kekhilafan yang pernah dilakukan untuk kemudian melakukan perbaikan diri dalam bentuk perbuatan yang kongkrit yaitu ibadah.
Kemudian, bahwa peningkatan ibadah tidak hanya yang bersifat ritualistik. Ibadah adalah rangkaian perbuatan manusia yang dilakukan atas dasar kesadaran akan kebesaran Allah. Maka ibadah memiliki banyak bentuk.
Setiap yang dikatakan, difikirkan dan diperbuat manusia bisa dianggap sebagai ibadah asal diniatkan untuk menggapai ridho Allah.
Saling berbagi antar sesama, saling memperingatkan agar selalu menjaga kesehatan, bersama menjaga kebersihan karena kebersihan adalah sebagian dari iman, bahkan setiap aktifitas dan pekerjaan seorang muslim dianggap sebagai jihad bila menyangkut dengan maslahat orang banyak.
Peningkatan keimanan ini akan menghasilkan kesucian hati. Kesucian hati ini akan berakibat pada kebersihan jasmani karena setiap orang yang suci hatinya akan senantiasa menjaga kesucian jasmaninya, sebagai pengamalan akan ajaran Islam.
Orang yang suci hatinya pun tidak akan berprasangka buruk terhadap bencana sehingga bisa lebih bijak dan cermat dalam mensikapi bencana ini. Dengan demikian, tidak hanya kesehatan, tapi ketertiban pun terjaga karena semuanya berusaha untuk selalu bersih dalam pikiran maupun perbuatan.
Ramadhan sebagai momentum peningkatan keimanan diri
Peningkatan ibadah umat muslim di musim pandemic ini semakin mendapatkan momentumnya di bulan Ramadhan. Sebagaimana yang telah jama’ dipahami, bahwa bulan Ramadhan adalah bulan suci yang memiliki banyak keutamaan, salah satunya adalah dilipatgandakannya pahala dari segala macam amal perbuatan baik.
Maka setiap pekerjaan yang mulia agar lebih ditingkatkan manfaatnya meski dengan kondisi yang terbatas. Saling berbagi bantuan kesehatan untuk merealisasikan kesehatan harus lebih banyak digalakkan. Memperbanyak sedekah demi membantu kebutuhan saudara atau tentangga yang terganggu penghasilannya karena bencana.
Itu semua merupakan ibadah yang dihitung pahalanya dan akan sangat berpengaruh pada kesehatan individu maupun sosial. Selain itu, bahwa peningkatan ini bukan hanya untuk mengakhiri drama pandemic corona, melainkan juga untuk mengasah diri menjadi pribadi yang baik, ta’at dan bertaqwa.
Seorang muslim yang berpuasa tanpa ada peningkatan keimanannya termasuk orang yang merugi. Pasalnya ia hanya mendapatkan lapar dan dahaga tanpa mendapatkan keutamaan lainnya. Puasanya tetap sah, akan tetapi kesempurnaan puasanya tidak tergapai. Bisa jadi ia puasa penuh selama 30 hari, namun kembali sifat buruknya setelah Ramadhan. Puasa seperti itu bukanlah puasa yang diharapkan.
Seperti yang disabdakan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallama dalam shahih Bukhori:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ»
Dari Abu Hurairoh r.a, bahwa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda: Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan selalu mengamalkannya, maka Allah Ta’ala tidak butuh kepada puasanya. (H.R. Imam Bukhori)
Berdasarkan hadits di antas, Imam Al Ghazali membagi tiga tipe orang yang menjalankan puasanya.
Pertama, puasa orang awam atau umum adalah menahan nafsu makan dan minum serta nafsu syahwat di siang hari.
Kedua, puasa orang khusus adalah puasa dalam rangka menahan nafsu makan, minum, syahwat dan mampu menahan segala potensi kemaksiatan dari mata, telinga, tangan dan lainnya.
Sedangkan yang ketiga adalah puasa orang yang istimewa yaitu puasa fisik dan batin dalam rangka menahan segala macam nafsu dunia dan hanya menghadirkan Allah dalam hatinya dan mencukupkan Allah sebagai pemeliharanya.
Maka bila derajat awam saja harus menahan nafsu makan, minum dan syahwat, berarti yang hanya menahan nafsu makan dan minum lebih rendah dari awam.
Golongan muslim yang seperti ini tentu tidak diharapkan karena antara dirinya sebelum dan sesudah Ramadhan tidak berbeda. Bisa jadi ia mengulangi kesalahannya dan mengakibatkan Allah menghukumnya.
Oleh sebab itu setiap dari kita harus berusaha sekuat mungkin untuk menjadi golongan yang istimewa dalam menjalankan puasa Ramadhan.
Muslim yang bertaqwa kemudian dia berpuasa dengan penuh kekhusyukan serta dalam kondisi sulit merupakan golongan orang-orang yang dikabulkan do’anya.
Seperti firman Allah dalam surat An Naml ayat 62 tentang dikabulkannya do’a seseorang dalam kondisi sulit, dan hadit Rasul dalam riwayat Sunan Abu Daud bahwa orang yang berpuasa termasuk dalam tiga golongan orang yang dikabulkan puasanya.
Maka benarlah apa yang dikatakan seorang penulis Amerika di awal tulisan ini, bahwa melalui berdo’a (ibadah), puasa, dan belajar (akan diri sendiri) Tuhan akan menjawab setiap do’a yang dilantunkan.
Semoga kita semua bisa meraih kesempurnaan Ramadhan tahun ini dan mendapatkan keutamaan puasa sehingga dunia dan bangsa ini kembali mendapatkan nikmat dan karunia Allah subhanahu wa ta’ala.
Wallahu a’lam bi ash showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar