Breaking

Kamis, 07 Mei 2020

Edisi 34 : Bahagianya Hidup Iman yang Tentukan


Oleh: Fuad Muhammad Zein

The virtuous man delights in this world and he delight in the next
(Budha)

Apa yang disampaikan Budha dalam perkataan di atas mengungkapkan bahwa dalam agama tersebut diajarkan tentang sosok manusia yang utama atau manusia yang baik. Sosok tersebut adalah ia yang selalu bahagia dan juga membahagiakan, gemar menebar dharma di kehidupan dunia saat ini, bahkan hingga ia berada dalam kehidupan nirwana.

Ajaran ini begitu baik untuk direnungkan dalam kondisi sosial masyarakat kita saat ini, terutama ketika seluruh dunia sedang menghadapi cobaan yang tidak tahu kapan akan berakhir.

Ajaran tentang manusia utama di atas juga ada dalam Islam.
Bahwa manusia yang utama dalam perspektif Islam adalah ia yang selalu memelihara keimanannya.

Keimanan yang selalu teraktualisasi dalam pikiran, perkataan dan perbuatan hingga membentuk dirinya sebagai hamba Allah dan juga dirinya sebagai bagian dari kehidupan sosial yang baik.
Puncaknya adalah ketaqwaan. \

Taqwa adalah memelihara diri dari segala macam yang mengakibatkan murka Allah. Seseorang yang sudah sampai pada tahap ini adalah yang selalu terbiasa menghindari hal-hal buruk sekecil mungkin.

Bagaikan orang yang sudah terbiasa hidup bersih, maka setiap kali ia datang dari luar rumahnya, ia tidak akan merasa keberatan untuk selalu mencuci badannya dahulu, walau hanya membasuh muka, mencuci tangan dan kaki.

Orang beriman pun selalu merasa dirinya harus senantiasa menjaga kebersihan pikiran, perkataan dan perbuatannya, agar ia bisa layak di hadapan Allah dan layak pula di antara sesama manusia.
Kemudian, bahwa keimanan seseorang merupakan syarat diterimanya amal perbuatan.

Setiap orang selalu mengorientasikan perbuatannya entah untuk dirinya, orang yang ia cintai dan hormati atau lainnya. Orang yang beriman selalu mengorientasikan segala perbuatannya hanya untuk Allah.

Kenapa demikian?
Karena keimanan mendefinsikan segala perbuatan manusia sebagai wujud penghambaannya dan manifestasi dari keyakinannya.

Bahwa setiap perbuatan telah ditentukan aturannya oleh Allah dan oleh karena itu hasilnya pun sesuai dengan ketentuan tersebut. Keimanan menjadikan orang yakin bahwa segala ujung solusi adalah kehendak Allah. Manusia hanya bisa berupaya dan selebihnya adalah kehendak Allah untuk menyelesaikannya:

….ۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَيۡءٖ قَدۡرٗا 

“….. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (Q.S. Ath Thalaq : 3)

Ayat tersebut menggambarkan bagaimana Allah menjamin setiap hasil dari usaha manusia bila dilandaskan pada keimanan. Maka barangsiapa yang tidak beriman berarti ia telah meletakkan jaminan tersebut kepada selain Allah.

Sejauh ia berusaha dan sekeras ia berkerja keras, ia hanya akan mendapatkan sebanyak apa yang telah ditentukan oleh Allah dan tidak lebih, bahkan itupun bila sesuai dengan ketentuan Allah.

Maka tidak salah bila Syaikh Sya’rawi Al Mutawalli pernah mengutip sebuah hadits qudsi dan menyampaikan bila seseorang yang tidak bertawakkal kepada Allah, ia bagaikan seseorang yang berlarian ke sana kemari di hutan ketika malam gelap hanya untuk lari dari kejaran binatang buas. Apa yang ia dapatkan hanyalah lelah dan kerugian karena tidak setimpal dengan apa yang ia telah kelurakan dalam usahanya.

Keimanan juga yang membebaskan manusia dari kerugian. Kerugian yang dimaksud adalah kerugian ketika ia berada di akhirat kelak. Kerugian yang ia derita karena segala perbuatan baik yang ia jalankan tidak didasarkan pada keimanan kepada Allah, melainkan didasarkan pada pengakuan diri bahwa ia baik, dan sebagainya.

Oleh sebab itu ia bahagia di akhirat, namun merugi di akhirat karena perbuatan baiknya tidak sedikitpun yang ia bawa menghadap Allah. Dalam surat Al ‘Ashr menyebutkan bahwa orang yang beriman juga selalu beramal sholeh dan senantiasa saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.

Amal sholeh merupakan bukti dari keimanan. Ia bisa berbentuk perbuatan baik, saling menolong, bertetangga yang baik, berusaha menghilangkan kesusahan orang lain dan sebagainya. Ia juga senantiasa menjaga lisannya untuk selalu saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.

Menjaga lisannya untuk tidak berbohong, menyampaikan fitnah atau mencelakai orang lain dengan lisannya. Orang yang beriman adalah yang menyelamatkan saudaranya dari kecelakaan lisannya dan tangannya.

Yang demikian itu agar ia meningkatkan keimannanya juga orang-orang disekitarnya.
Peningkatan keimanan ini sangat berperan penting ketika seseorang menemui kebuntuan dari usahanya atau mendapati bahwa usahanya tidak menghasilkan hasil seperti yang ia perkirakan.

Dalam kondisi tersebut, kesabaran adalah solusi paling utama. Namun ia tidak akan bisa sabar bila tidak didahului oleh iman.

Menurut perspektif psikologi, kesabaran memberikan efek positif dalam diri seseorang. Orang yang sabar akan mampu mengontrol emosinya sehingga ia bisa berfikir panjang dalam rangka mengevaluasi kesalahan-kesalahannya selama proses yang ia lakukan.

Selain itu, kesabaran juga menjadikan seseorang lebih berfikir matang dalam menentukan langkah ketika menyusun rencana usaha. Dengan demikian, ia akan bisa menghasilkan road plan yang baik dan matang untuk merealisasikan rencananya tersebut.

Maka tidak salah bila Al Qur’an pun selalu mengingatkan orang-orang yang beriman untuk selalu bersabar dan bertawakal dalam hidup.

Dalam sunan Tirmidzi, diriwayatkan bahwa bila Allah menyukai seseorang atau sebuah kaum, maka diberikannya ujian untuk menguji sejauh mana keimanannya:

إِنَّ عِظَمَ الجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ البَلَاءِ، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

Hadits tersebut jelas menyebutkan jenis manusia yang diuji oleh Allah. Mereka yang sabar dalam ujian, maka akan mendapatkan ridho-Nya, sedangkan mereka yang murka atau marah karena ujian tersebut, maka ia pun mendapatkan amarah-Nya.

Ridho Allah mendatangkan kemudahan, kelapangan hati dan kebahagiaan. Tentu tidak hanya kebahagiaan di dunia, melainkan juga di akhirat.

Kebahagiaan seorang mukmin adalah ketika ia bertemu Tuhannya. Ia bahagia karena bisa bertemu dengan yang dirinduinya selama hidup di dunia.

Ciri mereka yang rindu akan Tuhannya adalah bila dibacakan ayat-Nya bergetarlah hatinya diliputi keinginan yang kuat untuk bisa bertemu.

Bagaikan seseorang yang telah dimabuk cinta, ketika mendengar nama sang kekasih ia melayang dan tidak sabar ingin segera bertemu. Yang ada dalam pikirannya hanyalah Allah dan bagaimana caranya mempersiapkan dirinya untuk bisa bertemu Allah.

Demikianlah istimewanya orang yang beriman kepada Allah. Seperti yang diajarkan Budha di atas, bahwa orang yang penuh dengan keutamaan adalah yang bahagia di dunia dan juga bahagia di akhirat.

Demikian juga orang yang disampaikan Imam Al Ghazali bahwa kebahagiaan puncak bagi manusia adalah ketika ia telah bertemu dengan Tuhannya. Dalam rangka merealisasikan itu, ia melewati ragam kebahagiaan-kebahagiaan yang tidak sempurna di dunia.

Mensyukuri dan menikmati lezatnya menghamba kepada Allah, dan ketika waktu menghadap tiba, ia tenang dalam keimanannya, dan bahagia karena akan segera bertemu dengan Dzat yang telah ia rindukan sepanjang hidupnya.

Wallahu a’lam bi ash showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar