Oleh: Fuad Muhammad Zein
(IKPM Solo Raya)
Dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 111 Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (١١١)
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya terkait dengan orang yang beriman adalah mereka yang sangat mencintai Allah dan menikmati cintanya kepada Allah dengan segala yang ia punya, dalam ayat ini sebenarnya adalah bahwa orang munafiq bukanlah orang yang beriman.
Maksudnya adalah orang yang beriman tidak akan pernah berfikir untung rugi secara materi ketika ia beribadah. Berbeda dengan orang munafiq yang selalu melakukan sesuatu atas dasar perhitungan untung rugi.
Seperti yang dijelaskan dalam sebab turunnya ayat ini yaitu ketika perang Tabuk. Ketika itu banyak dari golongan orang munafiq yang mengundurkan diri dari peperangan. Mereka tidak merelakan harta dan jiwanya untuk berjuang di jalan Allah.
Lain halnya dengan orang mukmin yang menyambut hal ini dengan sangat gembira. Semangat untuk mempersembahkan pengorbanan mereka demi cintanya kepada Allah tidak bisa dibeli oleh apapun.
Sifat munafiq ini sangat berbahaya dalam menumbuhkan budaya disiplin demi kemajuan sebuah tatanan sosial yang baik secara mikro maupun makro. Sifat munafiq yang dimaksud dengan kepura-puraan bisa jadi merupakan sebuah produk dari suatu proses budaya di mana ia tinggal. Meski tidak selalu benar bahwa lingkungan bisa menjadikan seseorang menjadi munafiq, tapi faktor ini bisa menjadi salah satu faktor utama.
Lingkungan sosial maupun perusahaan yang diliputi oleh cara berfikir pragmatis akan sangat rentan diwarnai dengan sifat munafiq atau hipokrit ini. Pasalnya bisa jadi tidak ada budaya jujur yang kondusif untuk membentuk suatu sistem pendidikan yang baik di sana. Akhirnya dari pimpinan sampai pegawai semuanya hanya berorientasi pada keuntungan materi saja.
Maka benar saja apa yang diajarkan oleh Machiavelli bahwa moral yang baik tidak menguntungkan. Akhirnya semuanya berkerja dengan prinsip “asal bos senang”.
Menumbuhkan sikap bangga dengan lingkungan yang ditinggali memang tidaklah mudah. Keteladanan sangat penting dalam hal ini. Pimpinan yang mampu menjadi contoh teladan akan memiliki wibawa di hadapan pegawainya. Ia tidak hanya sebagai bos tapi dalam perusahannya ia juga berperan sebagai manajer.
Secara psikologis, setiap manusia membutuhkan sosok yang bisa menjadi teladan. Hal ini disebabkan karena secara naluri setiap manusia memiliki hasrat untuk meniru orang yang lebih tua darinya atau seseorang yang memiliki pengaruh besar.
Keinginan untuk meniru tersebut sangat dipengaruhi oleh nilai dan tujuan kenapa seseorang ingin meniru. Bila nilai dan tujuannya sama dan sejalan dengan yang ingin meniru, maka akan terjadi kerjasama yang baik dan system kerja yang kondusif, karena yang ditiru akan sangat dijaga kehormatannya.
Sebaliknya, bila yang ditiru tidak sejalan dengan nilai dan tujuan yang meniru, maka akan muncul bibit-bibit pemberontakan karena ketidak cocokan antar mereka. Tentu yang disebutkan terakhir tidak diinginkan dalam sebuah kelompok sosial, maupun dalam lingkungan kerja.
Oleh karena itu, Allah memperingatkan akan bahaya krisis keteladanan ini dalam surat Ash Shaaff ayat 3:
كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili menjelaskan dalam tafsirnya bahwa kata maqtan dalam ayat tersebut melukiskan kebencian yang sangat besar, sehingga Allah memperingatkan akan sebuah amalan perkataan yang tidak disertai dengan bukti perbuatan. Atau pengakuan yang berlainan dengan apa yang ada dalam hatinya. Karena sebuah amanah yang diberikan kepada manusia yang lain adalah petunjuk bagi kejujuran dan kemulian atas tabiat manusia dan baiknya kebiasaan yang mengatakan.
Kemudian, setiap penugasan yang ia berikan diiringi dengan pengawalan dan pendampingan sehingga setiap pegawai bisa memahami betul tentang hasil dari perkerjaan yang harus ia hasilkan.
Kemudian evaluasi yang humanis juga sangat berpengaruh pada pertumbuhan psikologi pegawai. Mereka tidak akan merasa seperti robot yang berkerja seperti mesin hanya karena tuntutan memenuhi target produksi. Untuk itu seorang pimpinan harus memahami betul kondisi pegawainya, hingga latar belakang mereka.
Kepercayaan yang diberikan dibarengi dengan pengawalan yang baik akan memunculkan rasa nyaman dan mengembangkan kualitas pegawai dalam perusahaan tersebut.
Seperti yang dikutip oleh Steven Drizin dari sebuah survey tentang manajemen perusahaan, bahwa salah satu pendorong munculnya loyalitas adalah fairness. Hal ini mencakup pada fair dalam penggajian, penilaian kinerja, dan fair dalam perumusan dan pengimplementasian kebijakan.
Selain itu Mc Quiness juga mengemukakan bahwa faktor munculnya loyalitas dalam diri setiap individu dalam perusahaan adalah komunikasi yang efektif. Yang dimaksud dengan komunikasi yang efektif ini adalah pertukaran informasi, ide, dan perasaan yang mampu memberikan perubahan sikap atara pemberi pesan dengan yang mendengarkan.
Oleh sebab itu, sebagai seorang pimpinan perusahaan, seorang bos harus memiliki kemampuan menyampaikan pesan yang jelas. Allah telah menjelaskan urgensi komunikasi yang efektif ini di banyak ayat dalam Al-Qur’an. misalnya dalam surat Ibrahim ayat 4 Allah berfirman bahwa para Rasul diutus kepada umat dari masing-masing mereka dengan menggunakan bahasa umatnya.
Hal ini bertujuan agar mereka bisa memahami maksud dari misi kerasulan mereka. Selain itu juga dalam surat Al-Isra’ ayat 28 Allah menggunakan kalimat qoulan maisuron atau perkataan yang pantas atau mudah dimengerti, sehingga tidak mengundang penolakan dikarenakan kondisi psikologis yang tidak menerima disebabkan perkataan yang terlalu berbelit-belit atau tidak sopan.
Sistem inilah yang kemudian akan menumbuhkan sikap loyal dalam diri setiap individu dalam perusahaan tersebut. Tidak hanya pimpinan yang merasa memiliki perusahaan, melainkan setiap insan yang ada di sana juga merasa demikian. Maka bila loyalitas telah tumbuh, setiap orang akan berkerja dengan sunguh-sungguh demi kemajuan perusahaan tersebut.
Menurut seorang konsultan manajemen Amerika Frederick F Reichheld, bahwa semakin tinggi loyalitas setiap individu dalam organisasi, maka semakin cepat organisasi tersebut mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan para pimpinan organisasi. Hal ini karena setiap individu dalam organisasi tersebut akan berfikir bahwa kemajuan organisasi adalah cerminan dari meningkatnya kualitas diri mereka.
Demikianlah seharusnya manajemen pribadi seorang muslim dalam dunia sosialnya. Entah dalam masyarakat mapun dalam tempat kerjanya. Tidak peduli sebagai apa dia, keteladanan yang tulus adalah kunci dari kemaslahatan dan kesejahteraan bagi semua kalangan.
Rasulullah pernah bersabda bahwa setiap dari kita adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggung jawaban dari kepemimpinannya. Maka bila kepemipinan seseorang diisi dengan ambisi menguasai dan disertai dengan kekikiran, maka penyesalan akan dia dapat. Ketamakan dan kekikiran tidak akan mendatangkan kenikmatan.
Seperti nasihat dari AA Gym, bahwa orang tamak tidak akan pernah merasakan kenikmatan, karena sebanyak apapun harta yang dia miliki, atau sebesar apapun kekuasaan yang ia dapatkan, tidak akan membuat hidupnya puas, dan tidak akan mengenyangkan perutnya.
Wallahu a’lam bi ash shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar