Oleh: Fuad Muhammad Zein
(Anggota IKPM Solo Raya)
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah,
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (QS. Ar-Rum : 30)
Ayat di atas menjelaskan bahwa sejatinya semua manusia
diciptakan di atas pondasi fitrah yang sama. Fitrah tersebut tidak akan pernah
berganti. Dan apa yang dimaksud dengan fitrah tersebut adalah ad diin atau
agama.
Dalam penjelasan megnenai makna kalimat ad diin, Syed Naquib Al Attas
mengatakan bahwa ad diin adalah sikap ketundukan manusia atas rasa
keberhutangan atas kehidupan yang telah diberikan dan menuntut kepatuhan mutlak
sebagai wujud pembayaran atas nikmat tersebut, dan akan dipertanggung jawabkan
kelak di akhirat.
Kata ad diin pun juga bermakna ikatan, sebagaimana dijelaskan
dalam surat Al A’raf ayat 172 bahwa seluruh manusia terikat kontrak hidup
setelah pernyataannya akan ke-Esa-an Allah subhanahu wa ta’ala.
Oleh sebab itu,
Imam At Thobari menjelaskan bahwa atas dasar keterangan ini, maka agama Islam
adalah fitrah penciptaan bagi seluruh manusia, sejak diciptakannya Nabi Adam
a.s hingga manusia terakhir kelak.
Penjelasan di atas memberikan sedikit pencerahan bagaimana
memaknai ‘Idul Fitri. ‘Idul Fitri sebagai kalimat yang bermakna kembali pada
yang fitri tidak bisa dilepaskan dari kesadaran manusia atas kondisi alami
dirinya. Sesuai dengan sabda Nabi, fitrah manusia adalah suci.
Selama menjalani
kehidupannya, banyak dari manusia yang telah melenceng jauh dari fitrahnya
sehingga Allah dengan kasih sayang-Nya menurunkan kitab suci agar manusia
berpegang padanya dan kembali pada fitrahnya.
Di sinilah dipahami hubungan
‘Idul Fitri dengan bulan Ramadhan.Hadirnya Ramadhan adalah untuk menyadarkan
kembali akan kekeliruan-kekeliruan yang telah diperbuat, dan dengan petunjuk Al
Qur’an, semestinya manusia dengan segala kemampuannya bersegera kembali untuk
memohon ampunan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena sebaik-baiknya hamba
yang bersalah adalah yang segera bertaubat.
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa
sallama bersabda:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“(Bahwa) setiap anak Adam pasti melakukan kesalahan,
dan sebaik-baiknya yang bersalah adalah yang segera bertaubat” (H. R Tirmidzi)
Dalam bahasaArab, kalimat taaba atau taubat memiliki makna
“kembali” (‘aada). Yaitu kembali dari kesalahan menuju perbaikan dalam rahmat
Allah. Sejatinya manusia semua memiliki asal yang baik.
Setiap bayi yang lahir
dilahirkan dalam kondisi suci. Suci dari dosa karena hanya tauhid yang
bersamayam dalam dirinya. Ada potensi Ilahi yang menuntun dirinya untuk selalu
condong pada kebaikan. Hanya saja kealpaan dan kelengahan dari kehidupan
duniawi yang membuatnya berdosa dan mengingkari keta’atan.
Oleh karena itu Al
Qur’an hadir sebagai mundzirun atau pemberi peringatan kepada manusia akan
kekeliruannya dan menyuruhnya untuk segera kembali pada pengampuanan Allah
semata. Kembalinya manusia pada ampunan Allah inilah yang menjadi tujuan utama
Ramadhan. Kembali kepada asal mula keberadaan, yaitu Allah subahanahu wa
ta’ala.
Peringatan Al Qur’an ini hanya bisa dipahami dalam proses
muhasabah. Manusia dengan segala potensi intelektualnya, seharunya lebih banyak
merenungi dirinya agar nampak kekurangannya dan menurunkan potensi
kesombongannya.
Dalam menjalankan puasa Ramadhan, gejala lapar dan dahaga,
kemudian kebutuhan untuk makan dan minum seharusnya semakin menyadarkan manusia
bahwa ia adalah makhluk serba kekurangan. Segala kelebihan dirinya adalah
pemberian Allah subahanahu wa ta’ala. Bukan semata-mata usahanya sendiri.
Maka
dengan bermuhasabah diri, akan muncul perasaan malu, dan akhirnya rasa
kesyukuran kepada Allah akan semakin membuncah memenuhi dada. Mensyukuri nikmat Allah akan menjauhkan diri dari perbuatan
angkara murka. Terjaganya diri dari perbuatan maksiat dikarenakan syukur akan
selalu mengajak pelakunya untuk selalu mengingat Allah.
Dengan demikian, ia
akan memaksa dirinya untuk selalu bersikap dan berlaku baik, dan akhirnya
terbiasa dengan kebaikan dan memandang keburukan sebagai sesuatu yang
semestinya dihindari. Menghindari kemaksiatan merupakan keniscayaan manusia,
karena fitrahnya adalah keta’atan. Seperti orang yang haus akan pasti
memikirkan minuman dan tidak akan berfikir tentang makanan, meski keduanya
baik.
Di sinilah hakikat keimanan yang sebenarnya. Yaitu memahami posisi diri
sesuai dengan fitrahnya.
Fitrah manusia untuk menjadi khalifah di bumi, memiliki
tanggung jawab yang besar. Tanggung jawab yang bisa menjadikan seseorang lebih
mulia dari malaikat bila melaksanakannya dengan benar, dan juga bisa
menjadikannya lebih hina dari binatang bilamana melalaikannya.
Tanggung jawab
yang akan dipertanggung jawabkan kelak di akhirat. Atas dasar hasil dari
pertanggung jawaban inilah kelak manusia akan dikelompokkan apakah ia akan
menjadi ahli surga atau ahli neraka.
Segala macam potensi yang dimiliki manusia adalah demi
kesuksesannya dalam menjalankan misinya sebagai khalifah. Proses menjalani
amanat tersebut disebut dengan ibadah. Ibadah adalah rangkaian perbuatan yang
orientasinya adalah cinta dan ridho Allah subhanahu wa ta’ala.
Kenapa harus
demikian? Perlu diingat bahwa amanat khalifah adalah amanat menjalankan apa
yang telah Allah tetapkan bukan untuk membuat atau menciptakan sesuatu yang baru,
sehingga manusia tidak memiliki kuasa apapun atas bumi dan alam semesta.
Namun
pada kenyataannya, banyak dari manusia yang kemudian melupakan hakikat dirinya.
Merasa bahwa potensi intelektualnya telah cukup untuk menghantarkan dirinya
menuju kebahagiaan. Mereka mulai melupakan Allah dan menggantinya dengan
dirinya. Membuat kerusakan dan merugikan orang lain. Kesombongan mulai muncul
dalam diri mereka, sebagaimana Iblis menyombongkan diri ketika diuji oleh Allah
dengan kehadiran Adam a.s. Walhasil Iblis pun dilaknat dan diazab ke dalam
neraka.
Demi menghindari itulah, manusia perlu petunjuk untuk
menjalankan proses ibadah tersebut, dan dengannya manusia tidak menyalahi
ketentuan Allah yang akan berakibat pada mengkhianati amanat Allah tadi.
Di
sinilah kembali Al Qur’an berperan penting sebagai petunjuk tersebut. Karena
sebagai petunjuk dalam menjalani kehidupan, Al Qur’an tidak hanya berisi
tentang bentuk-bentuk ibadah yang sifatnya ritualistik seperti sholat, zakat,
puasa, dan haji, melainkan seluruh ilmu pengetahuan yang bisa dicapai oleh
manusia, bahkan melebihi itu.
Dengan demikian, hubungan amanat khalifah dan Al Qur’an
seperti ini tidak bisa dipisahkan. Khalifah sebagai amanat jabatan manusia, dan
Al Qur’an sebagai petunjuk pelaksanaannya. Sehingga bila demikian, bila manusia
melaksanakan tugas tanpa menghiraukan petunjuk pelaksanaannya, bisa dipastikan
apa yang ia perbuat pasti salah dan berakibat pada bencana dan kerusakan di
bumi.
Demikianlah sejatinya proses bencana dan kekacauan yang berakibat pada penderitaan.
Itu semua merupakan akibat dari manusia, dan bukan kesengajaan Allah untuk
menimpakannya kepada manusia. Karena seperti yang Allah firmankan dalam Al
Qur’an:
.....وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ
يَظْلِمُونَ
“.....dan Kami tidak menganiaya mereka, akan tetapi mereka
lah yang menganiaya diri mereka sendiri” ( Q.S An Nahl : 118)
Fungsi
dari Al Qur’an juga untuk mengatasi segala perbedaan yang terjadi di antara
manusia. Dengan kelebihan akalnya, dan juga kebebasan yang diberikan Allah
kepada mereka, tidak jarang terjadi perselisihan di antara manusia. Dalam surat
Al Baqarah ayat 213 disebutkan bahwa pada awalnya semua manusia adalah bagaikan satu umat,
kemudian mereka bercerai berai dan saling berselisih.
Oleh sebab itu diutuslah para Nabi dan Rasul yang disertai dengan kitab suci sebagai penengah dan
yang menghukumi dari apa yang mereka perselisihkan sehingga bisa kembali satu kembali,
saling bersaudara dan menghindari pertikaian.
Hal
ini juga bisa dimaknai bahwa bila sejatinya semua manusia lahir dalam kondisi fitrah yang
sama, maka sebanyak apapun perbedaan di antara mereka, selalu ada persamaan yang
bisa membawa kembali mereka bersatu dan bersaudara. Demikian konsep Tauhid itu bermakna.
Sedikit penjelasan
proses kembalinya manusia di atas adalah sedikit dari gambaran makna ‘IdulFitri yang
sebenarnya. Ketika manusia kembali menyadari kesalahannya lantas kemudian memohon ampun kepada
Allah subahanahuwata’ala, artinya manusia kembali fitrahnya sebagai hamba yang
masih terus belajar.
Ketika manusia kembali mengingat fitrahnya sebagai khalifah,
artinya ia kembali mengingat tanggung jawab yang harus ia pikul di akhirat kelak,
sehingga dengan begitu ia menjaga dirinya dari segala yang
bisa menkhianati amanat khalifah itu.
Kemudian,
ketika manusia menyadari fitrahnya sebagai hamba dan khalifah yang
masih harus terus belajar, maka ia membutuhkan petunjuk Ilahi berupa kitab suci yang
dengannya segala perbedaan bisa kembali disatukan dalam rahmat Allah
subhanahuwata’ala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar