Oleh : Fuad Muhammad Zein
(IKPM Solo Raya)
Problem sosial yang akhir-akhir ini sering ditemui masyarakat adalah anggapan akan krisis keadilan yang melanda fenomena sosial. Indonesia sendiri menempati peringkat ke 62 dari 126 negara menurut survey dari World Justice Project tahun 2019.
Tapi bila lebih ditelaah lagi melalui beberapa faktor penentu nilai keadilan seperti pemenuhan hak-hak dasar, Indonesia masih berada di peringkat 82, dan dari faktor ketiadaan korupsi berada di peringkat 97.
Ini artinya bahwa tingkat keadilan di Negara kita perlu untuk ditingkatkan. Belum lagi beberapa kasus yang telah terekspos dan menjadi konsumsi public, seperti isu ketimpangan perlakuan hukum yang menyangkut pada hampir seluruh lapisan masyarakat. Sehingga perlu untuk ditinjau kembali problem keadilan ini dan juga proses penanggulangannya.
Untuk kepentingan tersebut, Indonesia telah mencanangkan program Strategi Nasional Akses pada Keadilan (SNAK) melalui Bapenas pada tahun 2009.
Baca juga : Obat Bernama Al-Qur'an
Program ini bertujuan untuk memberikan pelayanan public terhadap akses keadilan dengan cara memberikan pemahaman terhadap makna keadilan dan hak-hak yang beradasarkan pada UUD 1945 dan juga kesadaran akan hak-hak tersebut yang kemudian digunakan dalam lembaga-lembaga formal maupun non formal.
Mekanisme yang diajalankan adalah merancang regulasi yang mampu untuk mencakup seluruh keluhan dan tindak solutif dari setiap permasalahan atas nama keadilan yang terjadi di masyarkat.
Hanya saja perlu untuk ditinjau kembali bagaimana program ini bisa diterima masyarakat Indonesia yang secara demografis sangat multikultural.
Secara bahwa keadilan adalah problem ideologis, di mana bisa jadi antar satu kelompok dengan kelompok yang lain tidak memiliki pemahaman yang sama.
Baca Juga : Spiritualitas Dalam Bekerja
Hal ini menjadi problem ketika terjadi sebuah kasus sosial yang melibatkan pada perlakuan hukum. Bisa jadi terjadi kecemburuan sosial dikarenakan adanya perlakuan hukum yang dinilai tidak adil.
Seperti misalnya dalam kasus kriminalisai ulama oleh beberapa kelompok terhadap beberapa kelompok yang lain, atau perlakuan hukum yang berbeda terhadap kasus penghinaan terhadap kepala Negara oleh beberapa oknum.
Maka sepertinya perlu untuk dipahamkan kembali pemaknaan keadilan tersebut secara lebih proporsional. Seperti di kalangan umat Islam juga perlu memahami kembali apa makna keadilan menurut cara pandang Islam.
Tujuannya adalah menyelematkan umat Islam dari kesalah pahaman akan makna keadilan bagi identitas keumatannya. Dengan demikian, umat Islam harus menjadi paham akan makna keadilan sesuai dengan ajaran agamanya.
Bila umat Islam sebagai mayoritas telah memahami makna keadilan sesuai dengan Islam, maka ini akan menjadi inspirasi bagi masyarakat umat agama lain untuk besikap adil.
Baca Juga : Bom Waktu Media Dalam Masyarakat
Islam dan Keadilan
Dalam Islam keadilan merupakan inti dari setiap konsep kehidupan manusia. Bahwa hilanganya nilai keadilan akan berimbas pada kecurangan yang akan membawa individu maupun masyarakat pada kesengsaraan.
Dalam kaidah fiqh disebutkan bahwa ‘Al ‘Adlu Wajibu fi Kulii Syai’in wa Al Fadhlu Masnuunun, yang artinya bahwa keadilan itu wajib di segala hal sedangakn fadhilah itu sunnah. Bahkan salah satu dari 99 nama Allah adalah Yang Maha Adil.
Dalam Al Qur’an disebutkan banyak sekali perintah untuk berlaku adil, sampai-sampai perintah untuk bermusyawarah pun adalah dalam rangka untuk berlaku adil. Sebegitu pentingnya adil dalam pandangan Islam, sampai Rasulullah SAW pernah bersabda dalam suatu khutbah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim bahwa salah satu faktor utama hancurnya bangsa-bangsa sebelum Islam adalah tidak berlakunya keadilan.
Baca Juga : Yang Seharusnya Ada Dalam Berita
Adil berarti tidak tebang pilih. Adil dalam hukum tidak bisa berpihak pada salah satu kelompok masyarakat. Adil hanya boleh berpihak pada objektifitas nilai.
Maka, bila ada orang yang derajat sosialnya tinggi mencuri tidak dijatuhi hukuman, namun bila pelaku itu adalah orang miskin akan langsung dijatuhi hukuman hal ini tidak boleh. Bahkan dalam hadits tersebut disebutkan, bahwa di akhir khutbah itu beliau sampai mengatakan, bila Fatimah binti Muhammad mencuri, maka beliau sendirilah yang akan memotong tangan putrinya tersebut.
Maka perlu utuk memahami makna keadilan ini sehingga kedzaliman tidak akan muncul.
Syed Naquib Al Attas pernah menyatakan bahwa problem utama yang terjadi pada fenomena modern saat ini adalah hilanganya nilai keadilan yang disebabkan pada kesalahan pemaknaan pada konsep Ilmu.
Baca Juga : Islam dan Al-Qur'an Sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan dan Pemahaman Barat Yang salah Terhadap Keduanya
Menurutnya bahwa hubungan antara adil dan ilmu sangat berkaitan. Imam Ghozali juga pernah mengatakan bahawa keadilan akan tegak bila ketiga faktor penentunya telah tegak secara benar, salah satunya adalah potensi keilmuan.
Hal ini dikarenakan bila keadilan dimaknai sebagai pemenuhan sesuatu sesuai pada tempatnya, maka sangat penting untuk memahami konsep dari setiap aspek dalam kehidupan manusia sehingga mampu memperlakukan aspek-aspek tersebut sesuai dengan porsinya.
Tujuan dari adanya keadilan adalah ketenangan bagi seluruh individu dari masyarakat. Tujuan ini pun sama dengan tujuan ilmu dalam pemikiran Imam Al Ghozali, bahwa ilmu yang sejati akan melahirkan ketenangan hati bagi pemiliknya.
Baca Juga : Cara Rasulullah Membangun Basis Politik
Berarti bahwa bila dilihat dari tujuan keduanya, maka hubungan antara ilmu dan keadilan sangat erat. Seseorang tidak akan bisa adil bila tidak dibarengi dengan ilmu, sebagaimana seseorang yang berilmu bila tidak adil maka ia mengkhianati keilmuannya. Cirinya adalah keresahan yang hadir dalam masyarakat.
Selain ilmu, keadilan tidak bisa dilepaskan dari kualitas moral atau akhlaq yang menjamin muncul dan aktualnya sikap adil dalam diri seseorang.
Tanpa hal ini, meski seseorang berilmu ia tidak akan bisa menghadirkan keadilan pada dirinya apalagi orang lain.
Baca Juga : Ontologi Persatuan Ummat Dalam Sholat
Maka akhlaq harus terbentuk membersamai ilmu, karena keadilan adalah produk dari kolaborasi dan integrasi keduanya.
Maka benar bila dalam buku “Bi ayyi qolbin nalqohu” seorang penyair berkata bahwa bila ilmu tanpa ketaqwaan adalah sebuah kemuliaan, maka iblis adalah makhluk Alla yang paling mulia.
Wallahu a’lam bi ash showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar