Oleh: Hakim Azizi, M. H. I
(Akademisi IKPM Solo Raya)
14 abad yang lalu seorang manusia mulia dan tersohor di seluruh dunia pernah mengatakan bahwa keimanan adalah sebagian dari iman.
Dia lah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, guru besar manusia yang telah memberikan teladan bagaimana seharusnya menjadi manusia yang benar.
Dalam sabdanya tersebut Rasullullah ingin mengajari manusia bahwa salah satu tanda keimanan adalah rasa malu. Malu juga termasuk sifat mulia bila ia menjadi penghalang seseorang untuk berbuat maksiat.
Baca Juga : Akuntansi Berotientasi Akhirat
Sebuah benteng psikologis yang sangat ampuh dalam membendung keinginan syahwati manusia. Rasa ini muncul bersamaan dengan kesadaran seseorang akan dampak yang akan menimpanya bila sebuah perbuatan yang ia akan lakukan ternyata buruk.
Michael Lewis dalam bukunya Shame: Exposed Self mengidentikkan malu dengan perasaan yang dialami oleh Hawa di Taman Eden ketika ia habis melanggar perintah Tuhan.
Dalam Islam pun demikian, bahwa rasa malu adalah perasaan tidak nyaman akan akibat yang muncul dari sebuah perbuatan tercela.
Oleh karena itulah kenapa Rasulullah dalam hadis tersebut di atas mengatakan bahwa rasa malu adalah sebagian dari iman.
Baca Juga : Cara Rasulullah Dalam Membangun Basis Sosial Politik
Namun bila melihat pada kondisi saat ini, rasa malu sepertinya sudah mulai hilang dari masyarakat atau paling tidak bergeser dalam pemaknaannya.
Bagaimana tidak, masyarakat tidak lagi menunjukkan hal-hal yang dulunya tabu. Anak-anak kecil sudah diperkenalkan berbagai macam yang seharusnya mereka tidak mengetahuinya.
Sudah tidak ada lagi lagu bintang kecil yang dinyanyikan, tapi berubah menjadi lagu semacam aku rapopo, lagu terima kasih guru telah berubah menjadi ‘terima kasih cinta’ dan sebagainya.
Wanita-wanita tidak lagi canggung membuka punggung-punggung mereka, bahkan semakin memendekkan celana mereka, menghina orang tua, meski hanya bercanda, sudah sangat dianggap biasa.
Baca Juga : Kembali Kepada Al-Qur'an Dan Sunnah; Doktrin Dan Ilmunya Di Era Sosial Media
Itu semua merupakan hasil dari serangan informasi yang berasal dari media saat ini. Media telah berhasil merubah perspeketif sosial dalam banyak hal. Segalanya seperti telah dirubah dalam pengertiannya sehingga cara pandang masyarakat dalam banyak hal pun berubah.
Apalagi yang tersisa dari gempuran media terhadap tembok malu manusia. Ketika malu telah hilang dari seseorang, maka ketika itu juga ia kehilangan kemanusiaannya, begitulah cakap Cak Nun dalam satu kesempatan.
Inilah salah satu efek buruk dari media yang zaman ini begitu menggairahkan. Era globalisasi Barat membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia.
Baca Juga : Yang Seharusnya Ada Dalam Berita
Perubahan tersebut bukanlah hanya dalam tahapan material saja, melainkan lebih dari itu, perubahan yang masuk hinggap ada taraf kemanusiaan.
Kebudayaan yang merupakan gambaran dari hasil proses interaksi social masyarakat dijadikan alat atau sarana dalam mewujudkan perubahan tersebut.
Peran media masa sangat besar dalam menyebarkan misi-misi westernisasi ke seluruh penjuru lapisan masyarakat.
Seperti yang disampaikan Mc Quail dalam bukunya Mass Communication Theories, menyimpulkan bahwa setidaknya peran media ini ada enam yang salah satunya adalah sebagai guide atau pembimbing dalam memberikan beragam contoh berbudaya.
Baca Juga : Santri, Jiwa Qur'ani, Dan Perjuangan Ummat
Sehingga dengan begini, masyarakat diajak untuk mengikuti kebudayaan Barat yang disebarkan media, dan manusia-manusia itu pun telah berubah sepenuhnya dan menta’ati segala ajaran dan panduan yang diberikan Barat mengenai bagaimana seharusnya berperilaku seperti orang Barat.
Peran media yang menawarkan segala hal yang asing oleh masyarakat tak pelak lagi semakin merubah pola piker mereka dalam cara berkehidupan.
Menurut Afdjani, bahwa Globalisasi pada hakikatnya ternyata telah membawa nuansa budaya dan nilai yang mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat.
Baca Juga : Amalan Hati
Mereka ditawarkan nilai-nilai yang belum pernah dikenal sebelumnya. Aneka ragam iming-iming kemajuan dipamerkan untuk menarik perhatian setiap individu dan kemudian mengikuti dan menirunya.
Padahal tidak semua lapisan masyarakat memiliki kemampuan untuk melakukan filterisasi ragam budaya tersebut. Yang pada akhirnya, pergeseran budayapun terjadi. Identitas nasional hilang, dan akibatnya terciptalah sebuah bentuk masyarakat dari sebuah bangsa namun memiliki identitas budaya bangsa lain.
Walhasil, jangan heran bila banyak yang sudah mulai kritis terhadap bangsa sendiri disebabkan karena melihat bangsanya dirasa kurang tanggap kemajuan zaman.
Baca Juga : Bukan Bacaan Biasa
Memang tidak bijak bila mengatakan bahwa segala yang datang dari Barat adalah merusak. Namun bila segala hal yang datang dari Barat sepenuhnya dianggap benar merupakan suatu hal yang sangat salah.
Media sebagai alat promosi kebudayaan Barat bisa digunakan oleh semua pihak dengan segala modus yang mereka inginkan. Ada yang menggunakan media sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan, dan sosialisasi pengembangan masyarakat.
Namun tidak dipungkiri ada hal lain yang lebih negatif dari itu. Para kapitalis menggunakan media untuk menjajakan produknya dengan segala semboyan dan ajakan yang menarik.
Baca Juga : KH. Hasan Abdullah Sahal : Penyakit Perusak Kebersamaan
Mereka tidak memperdulikan tingkat ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang diserbu, dalam pikiran mereka adalah keuntungan yang mereka dapat.
Produk yang dihasilkan oleh pekerja dengan upah yang rendah dijual dengan harga yang sangat mahal dengan keuntungan yang berlipat, hanya karena disebabkan oleh merk atau brand terkenal.
Maka kemudian dibuatlah mode atau gaya hidup baru yang membuat masyarakat selalu ingin membeli produk tersebut tanpa peduli harga, karena hanya mengejar eksistensi dalam pergaulan modern. Dengan begini, terciptalah masyarakat konsumtif.
Sebuah bentuk masyarakat yang lebih bangga ketika mereka mampu makan di restoran terkenal seperti Mc D, KFC, dan lainnya. Para pemuda berlomba memperbaharui ponselnya, ataupun gadgetnya, hanya karena tidak mau dikatakan kuno atau kurang pergaulan.
Baca Juga : Alasan Dari Pentingnya Makanan Halal Dan Thayyib
Serangan mode yang dilakukan media ini memiliki dampak yang tidak sedikit. Selain yang telah disebutkan diatas, dampak-dampak lain pun ikut menyertai.
Film-film Barat yang datang bagai banjir telah mengundang simpati masyarakat untuk menyaksikannya. Efek yang timbul setelah itu adalah mengidolakan tokoh atau paling tidak menirukan gaya hidup yang ada dalam film tersebut.
Sinema romantika percintaan menjadi primadona perfilman saat ini. Atribut-atribut percintaan ala Barat pun mulai diadopsi atau bahkan dipaksakan kedalam kebudayaan masyarakat.
Cerita Romeo dan Juliet dianggap sebagai kisah cinta paling dramatis dan romantis yang dielu-elukan para pemuda yang dimabuk cinta. Hari valentine seakan telah menjadi hari wajib internasional yang harus dirayakan oleh segenap orang bila ingin dianggap modern dalam kisah percintaanya.
Baca Juga : Akhlaq Mukmin Dan Tekad Perjuangan
Restu orang tua tidak lagi dianggap penting dalam hal ini, pilihan orang tua dalam jodoh dianggap sebagai sebuah pengekangan terhadap kebebasan pribadi dan dianggap kuno dengan disimbolkan kisah cinta Siti Nurbaya.
Akibatnya, banyak dari generasi muda yang melalui kisah cintanya dengan hal-hal yang negatif. Seperti pacaran tidak harus selalu berujung pernikahan. Perselingkuhan menjadi hal yang biasa karena alasan tidak ada lagi rasa saling cinta dan suka.
Artinya ikatan cinta dan pernikahan tidak lagi bersifat suci, telah berubah menjadi permainan syahwat yang terkadang labil dan tidak bertanggung jawab.
Baca Juga : Pesan Al-Qur'an Kepada Seluruh Calon Penguasa
Sebegitu dahsyatnya media berperan dalam perubahan social kebudayaan masyarakat. Setiap individu perlu menjaga dirinya dari serangan media yang hampir tanpa filter ini. Khususnya bagi para generasi muda, harus semakin pintar dan cerdas dalam memahami dan membaca fenomena ini.
Pendidikan menjadi hal yang penting guna mempersenjatai diri dari amukan liberalisasi kebudayaan yang ganas. Mengasah rasa malu dalam diri juga merupakan hal penting dalam membangun self defensedengan indikatornya adalah iman.
Sehingga ketika bangsa ini memerlukan tenaga para pemuda, mereka siap mengguncang dunia seperti harapan pendiri bangsa, bukan malah menjadi pesakitan karena selalu menjadi piaraan bangsa penjajah. Wallahua’lam bi ash showab
(Akademisi IKPM Solo Raya)
14 abad yang lalu seorang manusia mulia dan tersohor di seluruh dunia pernah mengatakan bahwa keimanan adalah sebagian dari iman.
Dia lah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam, guru besar manusia yang telah memberikan teladan bagaimana seharusnya menjadi manusia yang benar.
Dalam sabdanya tersebut Rasullullah ingin mengajari manusia bahwa salah satu tanda keimanan adalah rasa malu. Malu juga termasuk sifat mulia bila ia menjadi penghalang seseorang untuk berbuat maksiat.
Baca Juga : Akuntansi Berotientasi Akhirat
Sebuah benteng psikologis yang sangat ampuh dalam membendung keinginan syahwati manusia. Rasa ini muncul bersamaan dengan kesadaran seseorang akan dampak yang akan menimpanya bila sebuah perbuatan yang ia akan lakukan ternyata buruk.
Michael Lewis dalam bukunya Shame: Exposed Self mengidentikkan malu dengan perasaan yang dialami oleh Hawa di Taman Eden ketika ia habis melanggar perintah Tuhan.
Dalam Islam pun demikian, bahwa rasa malu adalah perasaan tidak nyaman akan akibat yang muncul dari sebuah perbuatan tercela.
Oleh karena itulah kenapa Rasulullah dalam hadis tersebut di atas mengatakan bahwa rasa malu adalah sebagian dari iman.
![]() |
Baca Juga : Cara Rasulullah Dalam Membangun Basis Sosial Politik
Namun bila melihat pada kondisi saat ini, rasa malu sepertinya sudah mulai hilang dari masyarakat atau paling tidak bergeser dalam pemaknaannya.
Bagaimana tidak, masyarakat tidak lagi menunjukkan hal-hal yang dulunya tabu. Anak-anak kecil sudah diperkenalkan berbagai macam yang seharusnya mereka tidak mengetahuinya.
Sudah tidak ada lagi lagu bintang kecil yang dinyanyikan, tapi berubah menjadi lagu semacam aku rapopo, lagu terima kasih guru telah berubah menjadi ‘terima kasih cinta’ dan sebagainya.
Wanita-wanita tidak lagi canggung membuka punggung-punggung mereka, bahkan semakin memendekkan celana mereka, menghina orang tua, meski hanya bercanda, sudah sangat dianggap biasa.
Baca Juga : Kembali Kepada Al-Qur'an Dan Sunnah; Doktrin Dan Ilmunya Di Era Sosial Media
Itu semua merupakan hasil dari serangan informasi yang berasal dari media saat ini. Media telah berhasil merubah perspeketif sosial dalam banyak hal. Segalanya seperti telah dirubah dalam pengertiannya sehingga cara pandang masyarakat dalam banyak hal pun berubah.
Apalagi yang tersisa dari gempuran media terhadap tembok malu manusia. Ketika malu telah hilang dari seseorang, maka ketika itu juga ia kehilangan kemanusiaannya, begitulah cakap Cak Nun dalam satu kesempatan.
Inilah salah satu efek buruk dari media yang zaman ini begitu menggairahkan. Era globalisasi Barat membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia.
Baca Juga : Yang Seharusnya Ada Dalam Berita
Perubahan tersebut bukanlah hanya dalam tahapan material saja, melainkan lebih dari itu, perubahan yang masuk hinggap ada taraf kemanusiaan.
Kebudayaan yang merupakan gambaran dari hasil proses interaksi social masyarakat dijadikan alat atau sarana dalam mewujudkan perubahan tersebut.
Peran media masa sangat besar dalam menyebarkan misi-misi westernisasi ke seluruh penjuru lapisan masyarakat.
Seperti yang disampaikan Mc Quail dalam bukunya Mass Communication Theories, menyimpulkan bahwa setidaknya peran media ini ada enam yang salah satunya adalah sebagai guide atau pembimbing dalam memberikan beragam contoh berbudaya.
Baca Juga : Santri, Jiwa Qur'ani, Dan Perjuangan Ummat
Sehingga dengan begini, masyarakat diajak untuk mengikuti kebudayaan Barat yang disebarkan media, dan manusia-manusia itu pun telah berubah sepenuhnya dan menta’ati segala ajaran dan panduan yang diberikan Barat mengenai bagaimana seharusnya berperilaku seperti orang Barat.
Peran media yang menawarkan segala hal yang asing oleh masyarakat tak pelak lagi semakin merubah pola piker mereka dalam cara berkehidupan.
Menurut Afdjani, bahwa Globalisasi pada hakikatnya ternyata telah membawa nuansa budaya dan nilai yang mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat.
Baca Juga : Amalan Hati
Mereka ditawarkan nilai-nilai yang belum pernah dikenal sebelumnya. Aneka ragam iming-iming kemajuan dipamerkan untuk menarik perhatian setiap individu dan kemudian mengikuti dan menirunya.
Padahal tidak semua lapisan masyarakat memiliki kemampuan untuk melakukan filterisasi ragam budaya tersebut. Yang pada akhirnya, pergeseran budayapun terjadi. Identitas nasional hilang, dan akibatnya terciptalah sebuah bentuk masyarakat dari sebuah bangsa namun memiliki identitas budaya bangsa lain.
Walhasil, jangan heran bila banyak yang sudah mulai kritis terhadap bangsa sendiri disebabkan karena melihat bangsanya dirasa kurang tanggap kemajuan zaman.
Baca Juga : Bukan Bacaan Biasa
Memang tidak bijak bila mengatakan bahwa segala yang datang dari Barat adalah merusak. Namun bila segala hal yang datang dari Barat sepenuhnya dianggap benar merupakan suatu hal yang sangat salah.
Media sebagai alat promosi kebudayaan Barat bisa digunakan oleh semua pihak dengan segala modus yang mereka inginkan. Ada yang menggunakan media sebagai sarana pengembangan ilmu pengetahuan, dan sosialisasi pengembangan masyarakat.
Namun tidak dipungkiri ada hal lain yang lebih negatif dari itu. Para kapitalis menggunakan media untuk menjajakan produknya dengan segala semboyan dan ajakan yang menarik.
Baca Juga : KH. Hasan Abdullah Sahal : Penyakit Perusak Kebersamaan
Mereka tidak memperdulikan tingkat ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang diserbu, dalam pikiran mereka adalah keuntungan yang mereka dapat.
Produk yang dihasilkan oleh pekerja dengan upah yang rendah dijual dengan harga yang sangat mahal dengan keuntungan yang berlipat, hanya karena disebabkan oleh merk atau brand terkenal.
Maka kemudian dibuatlah mode atau gaya hidup baru yang membuat masyarakat selalu ingin membeli produk tersebut tanpa peduli harga, karena hanya mengejar eksistensi dalam pergaulan modern. Dengan begini, terciptalah masyarakat konsumtif.
Sebuah bentuk masyarakat yang lebih bangga ketika mereka mampu makan di restoran terkenal seperti Mc D, KFC, dan lainnya. Para pemuda berlomba memperbaharui ponselnya, ataupun gadgetnya, hanya karena tidak mau dikatakan kuno atau kurang pergaulan.
Baca Juga : Alasan Dari Pentingnya Makanan Halal Dan Thayyib
Serangan mode yang dilakukan media ini memiliki dampak yang tidak sedikit. Selain yang telah disebutkan diatas, dampak-dampak lain pun ikut menyertai.
Film-film Barat yang datang bagai banjir telah mengundang simpati masyarakat untuk menyaksikannya. Efek yang timbul setelah itu adalah mengidolakan tokoh atau paling tidak menirukan gaya hidup yang ada dalam film tersebut.
Sinema romantika percintaan menjadi primadona perfilman saat ini. Atribut-atribut percintaan ala Barat pun mulai diadopsi atau bahkan dipaksakan kedalam kebudayaan masyarakat.
Cerita Romeo dan Juliet dianggap sebagai kisah cinta paling dramatis dan romantis yang dielu-elukan para pemuda yang dimabuk cinta. Hari valentine seakan telah menjadi hari wajib internasional yang harus dirayakan oleh segenap orang bila ingin dianggap modern dalam kisah percintaanya.
Baca Juga : Akhlaq Mukmin Dan Tekad Perjuangan
Restu orang tua tidak lagi dianggap penting dalam hal ini, pilihan orang tua dalam jodoh dianggap sebagai sebuah pengekangan terhadap kebebasan pribadi dan dianggap kuno dengan disimbolkan kisah cinta Siti Nurbaya.
Akibatnya, banyak dari generasi muda yang melalui kisah cintanya dengan hal-hal yang negatif. Seperti pacaran tidak harus selalu berujung pernikahan. Perselingkuhan menjadi hal yang biasa karena alasan tidak ada lagi rasa saling cinta dan suka.
Artinya ikatan cinta dan pernikahan tidak lagi bersifat suci, telah berubah menjadi permainan syahwat yang terkadang labil dan tidak bertanggung jawab.
Baca Juga : Pesan Al-Qur'an Kepada Seluruh Calon Penguasa
Sebegitu dahsyatnya media berperan dalam perubahan social kebudayaan masyarakat. Setiap individu perlu menjaga dirinya dari serangan media yang hampir tanpa filter ini. Khususnya bagi para generasi muda, harus semakin pintar dan cerdas dalam memahami dan membaca fenomena ini.
Pendidikan menjadi hal yang penting guna mempersenjatai diri dari amukan liberalisasi kebudayaan yang ganas. Mengasah rasa malu dalam diri juga merupakan hal penting dalam membangun self defensedengan indikatornya adalah iman.
Sehingga ketika bangsa ini memerlukan tenaga para pemuda, mereka siap mengguncang dunia seperti harapan pendiri bangsa, bukan malah menjadi pesakitan karena selalu menjadi piaraan bangsa penjajah. Wallahua’lam bi ash showab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar