Oleh: Fuad Muhammad Zein
(IKPM Solo Raya)
Kata Albert Camus dalam sebuah kesempatan, bahwa bencana adalah evil (kejahatan), karena ia membunuh siapa pun, tak peduli orang baik atau penjahat. Ada benarnya perkataan ini meski kita juga perlu kritis, bahwa bencana tidak memiliki sifat jahat atau baik. Ia berlangsung begitu saja secara mekanis sesuai dengan hukum fisika.
Tapi kita juga perlu membenarkan bahwa ketika bencana datang, dia tidak lagi memperdulikan siapa yang akan ia datangi. Tidak ada perbedaan status social dalam bencana, bahkan status manusia sebagai makhluk penguasa pun tumbang karena pada faktanya manusia tidak selalu bisa mengatasi bencana tersebut.
Bencana meruntuhkan antroposentrisme. Tidak ada yang mengganggap dirinya sebagai pusat atau yang terpenting. Seluruh ego dan keserakahan individu harus dihilangkan untuk memunculkan rasa persaudaraan yang akan menimbulkan sikap saling membantu dan saling mendukung.
Baca Juga : Larangan Untuk Meyebarkan Aib Orang Lain
Dalam kondisi menghadapi bencana, setiap orang perlu untuk menyadari bahwa dia tidak akan selamat bila ia berjuang sendiri. Kesediaan untuk menolong orang lain untuk memulai rangkaian saling tolong menolong akan meringankan beban bersama. Maka bila bencana tidak menghasilkan perasaan yang demikian, kesengsaraan tidak lagi hanya sekadar kesengsaraan fisik dan materi, namun jauh lebih dari itu, yaitu kesengsaraan kemanusiaan.
Krisis kemanusiaan yang ditandai dengan hilangnya fitrah manusia sebagai makhluk social dan saling mementingkan kepentingannya sendiri demi menyelematkan dirinya sendiri. Walhasil, saling curing dan saling berebut akan menghasilkan konflik social di tengah bencana alam yang terjadi.
Sepertinya penting untuk kembali kita merenungi firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surat An Nahl ayat 112 sampai 113. Dalam tafsirnya, Syeikh Wahbah Zuhaili menerangkan tentang ayat ini bahwa Allah memberikan gambaran tentang sebuah wilayah, negeri, kota yang tentram lagi aman, melimpah rezekinya dan datang dari segala penjuru sehingga masyarakatnya aman dan sejahtera.
Namun dengan kondisi tersebut mereka angkuh dan sombong bahkan sampai kufur nikmat, maka Allah timpakan kepada mereka bencana ketakutan dan kelaparan. Apa yang mereka nikmati sebelumnya dengan mudah Allah ambil sehingga kesengsaraan terjadi. Itu semua disebabkan karena perbuatan mereka sendiri.
Baca Juga : Islam : Keimanan dan Ibadah
Yang dimaksud dengan perbuatan mereka sendiri adalah bahwa kemaksiatan dalam ragam bentuknya lah yang menghasilkan bencana. Allah telah menciptakan hukum dan ketentuan yang berlaku di alam semesta. Ketentuan tersebut berlaku pada alam maupun social.
Seperti dalam rumus matematika, bahwa satu ditambah dua sama dengan tiga, dan bila bukan tiga akan menghasilkan bencana keilmuan, demikian pula hubungan yang terjadi antara kemaksiatan dengan stabilitas kehidupan.
Bila secara fisika air bersifat selalu menekan ke segala arah, dan karenanya ia mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah, maka aliran yang tersumbat karena sampah akan menghasilkan banjir. Atau menggenang dan menjadi sarang penyakit. Permisalan ini yang menggambarkan bahwa segala bencana yang terjadi sejatinya adalah karena perbuatan manusia itu sendiri yang lalai, sehingga keangkuhan dan kesombongan membawa pada kerusakan. Kesombongan akan kemampuan diri sampai pada tingkat menduakan Allah perlu diakhiri demi berakhirnya pula bencana.
Baca Juga : Amalan Hati
Allah mengajari kita dalam surat Ali Imran ayat 133 sampai 134, bahwa Allah menyeru untuk segera kembali kepada Allah dan memohon ampunan-Nya agar kita menjadi hamba yang bertaqwa.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Imam Muslim, Rasulullah pernah mengabarkan bahwa Allah sangat gembira dengan taubatnya seorang hamba, melebihi gembiranya seseorang ketika menemukan untanya di sebuah padang tandus. Membuat Allah gembira dengan memohon ampunan yang sangat ringan merupakan awal yang baik dalam rangka memperbaiki kondisi.
Yang menarik kemudian adalah di ayat 134, bahwa Allah memberikan ciri orang yang sudah memasuki tahapan proses ketaqwaan tidak cukup hanya bertaubat. Mereka juga perlu senantiasa menafkahkan sebagian hartanya untuk menolong orang lain ketika lapang apalagi ketika susah. Selalu menahan amarah dan gemar memaafkan kesalahan orang lain.
Sikap inilah yang kemudian perlahan-lahan akan menghakhiri bencana ini. Diawali dengan memperbaiki kualitas diri, kemudian gotong royong dalam meringankan kesusahan sesama, dan akhirnya bencana pun berakhir atas rahmat-Nya.
Peristiwa Hijrah Nabi sebagai pelajaran kebersamaan
Ada baiknya kita juga meneladani peristiwa Hijrah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallama. Sama-sama kita ketahui bahwa hijrahnya Rasulullah ke Madinah adalah untuk menghindari pertentangan kaum kafir Quraisy di Makkah yang menyengsarakan kaum muslim yang kala itu masih sedikit. Meski demikian, peristiwa hijrah ini didahului dengan hijrahnya sahabat Nabi ke Habasyah. Rasulullah tetap tinggal di Makkah menunggu Allah mengizinkan dirinya berhijrah. Sampai kemudian Allah memberikan izin dalam surat An Nisa ayat 97.
Pelajaran yang bisa kita ambil bahwa dalam hijrah sekalipun, meski telah menjadi Rasul, beliau tetap patuh dan hijrah asal mendapatkan izin dari Allah. Kemudian, Rasulullah juga menyadari bahwa perjalanan hijrah pun tidak bisa dilakukan secara individual.
Baca Juga : Hubungan Pemimpin dan Ulama
Maka dari itu beliau meminta bantuan kepada beberapa sahabat, seperti diantaranya Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abi Bakar, Amar bin Fuhairah, dan Asma binti Abi Bakar. Masing-masing tokoh itu memilki peran dan tugas masing-masing yang menunjang keberhasilan Rasulullah dalam berhijrah ke Madinah.
Setelah sampai di Madinah, Rasulullah disambut dengan suka cita disebabkan karena kerinduan dan kecemasan yang mendalam. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah telah berhasil menjadi sosok sentral yang menjadi panutan disebabkan karena kebaikan yang bahkan tidak dibantah oleh kaum kafir quraisy.
Seperti dalam suatu cerita ketika Abu Sufyan ditanya oleh pembesar Romawi tentang pribadi Rasul, Abu Sufyan pun tidak bisa mengelak bahwa Rasulullah memiliki kepribadian yang baik, adil dan luhur. Sosok Rasulullah ini kemudian menyatukan persepsi umat Islam yang waktu itu masih terdiri dari orang-orang Makkah dan Madinah.
Namun, meski demikian, perbedaan tersebut melebur dan menyatu dalam satu identitas muslim. Rasulullah pun mengganti panggilan orang-orang Makkah dan orang-orang Madinah dengan panggilan Muhajirin dan Anshor. Kemudian dipersaudarakan dalam satu naungan keimanan yang kuat.
Baca Juga : Membangun Koalisi Kebaikan
Dari sinilah kemudian kepedulian di antara umat Islam pun bergemuruh. Kaum Anshor berlomba-lomba untuk membantu kaum Muhajirin yang berhijrah di mana mereka hampir tidak memiliki harta benda.
Dikisahkan bahwa Abdurrahman bin Auf, salah satu sahabat Rasulullah yang kaya, namun setelah berhijrah ke Madinah ia tidak memiliki apa pun. Akhirya seorang sahabat dari Anshor bernama Sa’ad bin Rabi’ah menawarkan harta hingga istri. Namun ditolaknya dengan halus, karena Abdurrahman bin Auf ingin mendapatkan harta dengan kerja keras. Ini salah satu kisah dari puluhan peristiwa gotong royong yang muncul dari persaudaraan di antara umat Islam di awal-awal hijrah.
Mestinya demikian kita sebagai umat Islam dalam menghadapi bencana. Ikatan keimanan menjadi motivasi dalam mengatasi segala macam musibah. Menyadarkan akan pentingnya kebersamaan dalam menghadapi bencana. Memandang semua manusia sama di depan bencana, dan hanya keimanan dan ketaqwaan lah yang membedakan hasil akhirnya. Itu pun bersifat subjektif. Tidak berarti bahwa proses tolong-menolong dihalangi oleh identitas keimanan.
Namun justru seharusnya umat Islam menjadi agent of change, yang selalu terdepan dalam upaya mengakhiri segala problematika dengan didasarkan pada ilmu dan keimanan. Dengan begitu, Islam tersampaikan dengan baik dan terhindar dari distorsi yang mengatakan bahwa Islam indentik dengan kekerasan dan ketidakpedulian.
Baca Juga : Pesan dari Q. S Ibrahim ayat 28 - 31 kepada seluruh Calon Penguasa
Kita perlu mengulangi sejarah masa emas Islam, di mana penduduk Kristen Syam lebih tertarik untuk berkerjasama dengan umat Islam yang terkenal dengan keadilan dalam mengalahkan Romawi yang sangat zholim dan diskriminasi. Mereka lebih senang hidup di bawah pemerintahan Islam daripada Imperium Romawi.
Sosok Rasulullah dan pendidikan Rasul terhadap para sahabatnya pun menghasilkan hasil yang luar biasa. Bahwa masyarakat Madinah berhasil mencapai puncak kegemilangannya. Ekonomi stabil karena praktik riba kaum Yahudi berakhir. Kaderisasi umat Islam berjalan dengan sangat baik. Stabilitas politik terjamin dengan adanya piagam madinah yang juga sekaligus mengakhiri segala macam praktik diskriminasi atas nama apa pun.
Bahkan hingga menyebarkanya Islam ke penjuru wilayah. Abu Sufyan pernah mengatakan kepada sahabatnya Suhail bin Amr setelah penaklukan Syam, bahwa sebelum Islam mereka selalu dipandang rendah oleh penduduk Syam Romawi ketika berdagang ke sana. Namun karena Islam, sekarang mereka lah penguasanya. Sebuah kesyukuran yang tidak terhingga atas nikmat ini.
Baca Juga : Obat Bernama Al-Qur'an
Dari uraian ini, selayaknya kita meyadari bahwa Allah selalu memberikan kenikmatan dan kemudahan bagi manusia. Kenikmatan itu tersampaikan jelas dalam Al Qur’an bahwa kesempurnaan penciptaan manusia terlihat melalui fitrah manusia, alam semesta yang dihamparkan dan dimudahkan untuk manusia.
Kita hanya perlu bersyukur dan selalu beristighfar sebagai wujud penghambaan kepada-Nya, dan menghindari kemaksiatan yang akan menghasilkan perpecahan dan berakhir pada munculnya bencana.
Wallahu a’lam bi ash shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar