Breaking

Jumat, 03 Mei 2019

Edisi 25 : Pengaruh Spiritualitas dalam Membentuk Motivasi Diri


Oleh: Fuad Muhammad Zein
(Anggota IKPM Solo Raya)

Spiritualitas yang baik dalam berkerja akan menumbukan keyakinan yang kuat dalam berusaha. Hal ini disebabkan karena seseorang yakin bahwa ada yang menjamin hasil dari usahanya.

Selain itu, keyakinan juga akan menumbuhkan kepercayaan diri seseorang dalam menghadapi segala kesulitan yang ia dapati. Dalam diskusi ilmu psikologi keyakinan memiliki efek yang sangat besar dalam menunjang keberhasilan seseorang.

Keyakinan yang ia miliki akan menumbuhkan efikasi diri yang merupakan kepercayaan diri dalam menyelesaikan segala macam problem dengan mengandalkan kemampuan diri.

Menurut Albert Bandura, seorang psikolog Amerika, dalam bukunya Self Efficacy; The Exercise of Control ia menyebutkan bahwa efikasi diri terdiri dari beberapa aspek, yaitu tingkat kesulitan diri, kekuatan, luas bidang perilaku.

Baca : Menggugah Nilai-Nilai Ilahiah Yang Hampir Pudar Pada Karakteristik Ekonomi Keluarga Islam 

Artinya bahwa efek keyakinan yang kuat akan menghilangkan keraguan dalam diri dan menggantikannya dengan kepercayaan diri yang kuat sehingga ia merasa siap dalam menerima hasil dari usahanya.

Keyakinan seseorang yang beriman sangat penting bagi setiap usaha yang ia lakukan. Selain sebagai pembentuk karakter seseorang, spiritualitas juga berfungsi untuk mendefinisikan nilai moral dalam perbuatan.

Bagi seseorang yang beriman, setiap usaha dan perbuatan yang ia lakukan adalah manifestasi dari ibadah kepada Allah subahanahu wa ta’ala. Dengan begitu ia tidak akan sembarangan dalam melaksanakan usahanya.

Baca : Yang Seharusnya Ada Dalam Berita

Selain itu, karena iman harus berdasarkan cinta, maka seseorang yang beriman akan senantiasa totalitas dalam melaksanakan kewajiban-kewajibannya dan diiringi dengan kemauan yang kuat demi mempersembahkan persembahan yang terbaik bagi Tuhannya.

Allah telah memuliakan setiap orang yang beriman dalam kesungguhan ibadahnya. Dalam surat Al-Hajj ayat 78 Allah berfirman:

وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ (٧٨)

Abu Zahroh mengatakan dalam Tafsirnya bahwa ayat berisi perintah untuk selalu berjuang dan berbuat dengan sungguh-sungguh dan disertai dengan keimanan yang teguh.

Baca : Bukan Bacaan Biasa

Hal itu menurutnya adalah merupakan tradisi yang telah berlangsung sejak zaman Nabi Ibrahim a.s. Artinya bahwa ibadah yang diwarisi oleh nenek moyang manusia adalah beribadah kepada Allah.

Kesungguhan dalam beribadah ini juga merupakan salah satu bentuk ibadah yang utama, karena ibadahnya seorang muslim dalam setiap perbuatannya akan menjadi cerminan Islam bagi seluruh semesta. Oleh sebab itu Allah menggunakan kata syuhada’ yang artinya menjadi saksi bagi seluruh manusia.

Oleh sebab itu, seorang muslim tidak sepatutnya bermalas-malasan, tidak memiliki motivasi yang tinggi, lebih-lebih malah bermaksiat.Karena itu semua akan memperburuk wajah Islam.

Kemudian, sikap penghambaan kepada Allah adalah bentuk kemerdekaan yang sesungguhnya.

Baca : Cara Rasulullah Dalam Membangun Basis Politik

Sayyid Quthb dalam bukunya Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyyah fi Al-Islam menjelaskan bahwa membebaskan diri dari segala bentuk penghambaan kepada selain Allah adalah kemerdekaan hakiki yang seharusnya dipahami setiap manusia.

Kemerdekaan semacam ini akan menumbuhkan kreatifitas yang baik karena ia terbebas dari segala bentuk pengekangan. Asal tidak melanggar syari’at ia boleh berkarya dengan segala macam bentuk kreatifitas yang ia punya. Kesempatan inilah yang seharusnya digunakan oleh segenap umat Islam.

Allah telah memberikan potensi tersebut dalam diri setiap individu, dan Allah hanya meminta manusia agar tidak bermaksiat kepada-Nya saja tidak lebih.

Baca : Kembali Kepada Al-Qur'an dan Sunnah; Doktrin dan Ilmunya di Era Sosial Media
Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah; Doktrin dan Ilmunya di Era Sosial Media

Sumber :http://www.buletin-elittifaq.com/search/label/Buletin?updated-max=2018-10-04T10%3A13%3A00-07%3A00&max-results=5
Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah; Doktrin dan Ilmunya di Era Sosial Media

Sumber :http://www.buletin-elittifaq.com/search/label/Buletin?updated-max=2018-10-04T10%3A13%3A00-07%3A00&max-results=5

Sehingga semestinya, orang beriman harus bisa meningkatkan potensinya tersebut sebagai manifestasi kesyukurannya atas nikmat yang ia dapat. Kesyukuran itu nampak dari kesungguhan dalam menunjukkan tingginya kualitas ibadahanya hanya kepada Allah.

Sebagaimana rasa cinta yang selalu memunculkan keinginan kuat untuk selalu mempersembahkan sesuatu yang sempurna kepada yang dicintai, seseorang yang beriman pun demikian.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 165, Allah menjelaskan bahwa seseorang yang memiliki keimanan yang kuat kepada-Nya, adalah mereka yang lebih mencintai Allah daripada yang lainnya.

Bukan berarti bahwa ia tidak memperdulikan kehidupan duniawinya, melainkan mengerahkan seluruh kemampuan yang ia miliki demi kesempurnaan ibadah yang ia lakukan.

Baca : Pesan Dari QS. Ibrahim : 28-31 Kepada Seluruh Calon Penguasa

Keinginan kuat yang tumbuh dalam diri seorang mukmin memiliki sistem screening yang memilah dan memilih objek keinginan yang akan dicapai. Tidak semua hal yang diinginkan bisa direalisasikan.

Bahkan bisa jadi definisi keinginan mereka sangat menghindari hal-hal berbau maksiat. Hal tersebut disebabkan karena keinginan mereka memiliki landasan aqidah yang kuat.

Oleh karennya, kualitas aqidah sangat menentukan bentuk keinginan seseorang. Tentu siapa saja bisa memiliki tekad dan keinginannya masing-masing, bahkan semangatnya pun bisa sama-sama besar.

Seseorang yang ingin melakukan maksiat pun ada yang sangat bersemangat dalam melakukannya, tapi persoalannya apakah hal tersebut sesuai dengan kebaikan dan maslahat?

Baca : Membangun Koalisi Kebaikan

Melihat pentingnya kualitas tekad seseorang dalam berkerja, maka factor pembentuk kepribadian seseorang sangat penting untuk diperhatikan. Salah satu yang menjadi factor penentu utama dalam pembentukan tersebut adalah lingkungan tempat berkerja seseorang.

Peran Lingkungan dalam membentuk motivasi tiap individu

Bagaikan sebuah badan organisasi, setiap unit kerja maupun lingkungan di mana seseorang berbuat pasti memiliki visi misi yang menjadi acuan dalam setiap kinerja yang diharapkan.

Hal tersebut pun mempengaruhi setiap sistem seleksi dalam perekrutan anggota organisasi. Bagi mereka yang tidak mampu atau tidak memiliki kualifikasi kinerja yang diharapkan, tentu akan tertolak.

Baca : Akuntansi Berorientasi Akhirat

Abu Nashr Al Farabi dalam karyanya Assiyasah Al Madaniyah menyebutkan bahwa setiap orang yang tidak memiliki kualifikasi meningkatkan orang lain dalam mengembangkan orang lain atau apapun yang disekitarnya, tidak layak untuk memimpin dan hanya bisa dipimpin.

Artinya meski Al Farabi menyebutkannya lebih khusus dalam dimensi politik, namun bisa disimpulkan pula bahwa setiap individu harus mampu berkerja sama dalam mengembangkan siapa pun yang bersama di sekitar mereka.

Demikianlah proses pendidikan dalam kehidupan. Bila pendidikan adalah pembentukan manusia, maka tempat kerja, organisasi atau insititusi apapun, di mana orang-orang berbuat dan berkerja di dalamnya harus mampu menjelma menjadi sebuah insitusi pendidikan manusia untuk menjadi lebih baik.

Asset manusia adalah asset terpenting dalam sebuah perusahaan maupun organisasi. Tanpa asset ini, sebuah organisasi maupun perusahaan tidak akan ada artinya.

Baca : Akhlaq Mukmin Dan Tekad Perjuangan

Oleh sebab itu, tempat kerja harus memiliki landasan filosofis yang tepat agar ia tidak hanya menjadi tempat mencari penghasilan, namun juga menjadi tempat membentuk manusia yang mulia.

Karena lingkungan yang tepat akan mempengeruhi kepribadian tiap indvidu di dalamnya, dan dengan demikian juga akan menghasilkan orientasi kinerja dari masing-masing individu tersebut.

Lingkungan kerja yang hanya menekankan pada profit semata, akan menghasilkan individu-individu pragmatis, yang mana juga hanya akan mengorientasikan setiap kinerjanya pada hasil materi yang dadapat. Lambat laun, kondisi yang demikian akan memunculkan kecurigaan-kecurigaan terutama pada tataran pimpinan perusahaan.

Bila yang demikian terjadi, maka perusahaan bisa terancam hancur karena diisi manusia-manusia yang tidak memiliki kualitas moral yang baik, dan hanya berfikir tentang penghasilan mereka.

Baca : Spiritualitas Dalam Bekerja

Akhirnya bila penghasilan yang didapat dirasa tidak memuaskan, mereka mulai akan melakukan tindakan-tindakan anarkis seperti demo, mogok kerja, merusak fasilitas kerja, yang itu semuanya justru malah mencelakakan mereka.

Apalagi bila pihak pimpinan mengambil langkah praktis, yaitu memecat semua pekerjanya, maka yang demikian itu akan menjadi pemicu konflik dalam masyarakat.

Sejatinya kekhawatiran yang tersebut di atas tidak perlu terjadi bila memang setiap manusia memahami peran keimanan dalam membentuk keinginan seseorang. Kemudian miliu dan lingkungan yang baik juga sangat menentukan baik buruknya kondisi sosial.

Bila keimanan berefek pada tiap pribadi, maka tiap pribadi sangat berpengaruh pada terbentuknya komunitas sosialnya. Sehigga bila seseorang pribadi yang baik akan menghasilkan lingkungan yang baik, dan begitu pula sebaliknya.

Wallahu a’lam bi ash showab

1 komentar: